Yudhia: Politik Dinasti Menyandera Desa

Rabu, 18 Oktober 2017 - 13:38:57 wib | Dibaca: 3503 kali 
Yudhia: Politik Dinasti Menyandera Desa
Yudhia Perdana Sikumbang Advokat dan Ketua LBH RAM Indonesia Perwakilan Kab. Inhil

GAGASANRIAU.COM, TEMBILAHAN - Politik Dinasti yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. 
 
Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi Politik Dinasti ini adalah kekuasaan.
 
Politik dinasti secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota keluarga (sanak famili) diberi dan atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi dikalangan kerabat, keluarga sedarah. 
 
Secara umum, Politik Dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu Negara.
 
Politik dinasti juga dapat mengandung konotasi negative ketika sistem perpolitikan tersebut dipadupadankan pada pengambilan kekuasaan. Makna kepemimpinan bukan lagi menjadi hal krusial pada sistem dinasti dengan konotasi negative. Hal terpenting adalah bagaimana menjaga keutuhan kekuasaan pada generasi yang sama. 
 
Di Indonesia hal ini sudah banyak terjadi.
Yang menarik kemudian bagi penulis adalah dalam sistem jabatan di pedesaan, saat ini saja yang mana jabatan kepala desa dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, di sebutkan kepala desa yang menjabat selama 6 tahun dan tiga periode berturut-turut.  Yang artinya seorang kepala desa bisa menduduki jabatan selama 18 tahun ini berdampak dengan hadirnya Politik Dinasti di pedesaan yg mana kontrol penuh di pegang kepala desa, ini bisa kita lihat didalam pasal 39 uu nomor 6 tahun 2014 tentang desa  (1) kepala desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. (2) kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
 
Lamanya jabatan kepala desa yang kemudian menjadi perhatian, digaungkan dalam praktek-praktek nakal oknum,  yang mana sering terjadi penyelewengan dana desa, jika dilihat kasus-kasus penyelewengan dana desa sering terjadi dan sangat rentan untuk dimainkan, banyak pihak yang memanfaatkan dana segar desa untuk kepentingan pribadi, Selama 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 292 kasus korupsi di pemerintah kabupaten/kota dengan nilai korupsi Rp 478 miliar dan 62 kasus korupsi di pemerintah desa dengan nilai korupsi Rp 18 miliar. 
 
Angka yang fantastis memang. kita liat contoh beberapa waktu lalu yang terjadi di Kabupaten pamekasan OTT kepala desa beserta bupati dan Kajari, adalah bukti nyata bahwa dana desa masih menjadi serangan empuk oknum oknum yang tidak bertanggung jawab. 
 
Dari beberapa kasus yang ada, butuh pengawasan yang ekstra untuk kemudian mengawalnya, pentingnya sinergi antara  masyarakat, lembaga sosial, serta lembaga swadaya masyarakat serta aparat penegak hukum menjadi kunci keberhasilan dalam pengawasaan ini. 
 
Sebagai warga negara yang baik kita harus ikut andil dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan desa, apakah itu terkait penyeluran dana desa sampai kegiatan-kegiatan desa yang dianggap perlu untuk di cermati disetiap kegiatannya. Ada baiknya kita mengurai persoalan yang selama ini terjadi di pemerintahan desa. 
 
Pertama Ini semua tidak terlepas dari jabatan kepala desa yang bermuatan politis walaupun di tingkat pedesaan sendiri, dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, di sebutkan kepala desa yang menjabat selama 6 tahun dan tiga periode berturut-turut.  Yang artinya seorang kepala desa bisa menduduki jabatan selama 18 tahun ini berdampak dengan hadirnya Politik Dinasti di pedesaan yg mana kontrol penuh di pegang kepala desa, ini bisa kita lihat didalam pasal 39 uu nomor 6 tahun 2014 tentang desa  (1) kepala desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. (2) kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Karena politik dinasti akan melanggengkan budaya korupsi dalam penyelenggaraan birokrasi di Indonesia termasuk birokrasi pedesaan. 
 
Kedua tumpang tindih regulasi terkait dana desa sendiri menjadi salah satu potensi penyelewengan, dimana ada beberapa  instansi yaitu kemendes dan kemendagri dan kemenkeu yang mengatur tentang dana desa maupun tentang pedesaan yang menyebabkan kepala desa bingung, karena aturan tersebut saling tidak sejalan. Tapi itu tidak serta merta dapat dijadikan alasan sebab kepala desa dan pendamping desa kesemuanya diberikan bimtek terkait ini dalam mengemban tugasnya menjalankan pemerintahan desa;
 
Ketiga adalah bekal yang kurang cukup terhadap kepala desa itu sendiri maupun pendamping desanya, selain diharuskan mengikuti bimtek penyeleggaraan desa, kepalas desa harus juga belajar tidak serta merta menjadikan bimtek terkait ini hanya ceremonial saja, karena disetiap kebijakan-kebijakan kepala desa harus dipertanggung jawabkan semisal dalam pasal 4 angka (1) peraturan menteri dalam negeri republik indonesia  nomor 1 tahun 2016 yang menyebutkan kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan aset desa dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset desa  jadi sebenarnya tugas yang diemban kepala desa sangat lah berat,  perangkat-perangkat desa haruslah juga memadai SDM nya;
 
Keempat  keteledoran pemerintah desa dalam menjalankan adminitrasi pemerintah juga menjadi faktor kegagalan serta biang kerok masalah, dalam pasal 6 angka (1),(2) peraturan menteri dalam negeri republik indonesia  nomor 1 tahun 2016 yang menyebutkan aset desa yang berupa tanah disertefikatkan atas nama pemerintah desa, aset desa berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib  dari regulasi ini saja adalah bukti bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan desa itu tidak main-main.
 
Terakhir dari uraian diatas keteledoran dengan alasan ketidaktauan dalam menjalankan pemerintahan desa tersebut, masih menjadi kambing hitam oknum desa yang berkilah disetiap kesalahannya, yang kemudian menjadi perhatian bersama adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi dan menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada akan membuat tantangan semakin berat.
 
Singkat kata semoga kita sebagai warga negara yang baik bisa ikut andil dalam kebijaksanaan mengawal pemerintah desa dalam setiap kebijakan-kebijakan yang di lakukan, jabatan-jabatan desa didalam pasal 39 uu nomor 6 tahun 2014 tentang desa  yaitu (1) kepala desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. (2) kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Kesemua ini masih menjadi potensi-potensi Politik dinasti pedesaan. 
 
Yang terpenting peran masyarakat dalam mengawal pemerintahan desa dangat diperlukan sinergi aparatur terkait menjadi kunci. 
 
Politik dinasti sekali lagi memang bukan sesuatu yang dilarang jika kita kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding. Maka cara untuk meredam dampak negatif tersebut, sebaiknya bukan dengan melarang masyarakat untuk memilih pemimpin yang masih berkerabat dengan petahana. tetapi, mengembalikan pertimbangan pemilihan calon berdasarkan kualitas dan kapasitas individu, semua kembali kepada kebijaksanaan serta kecermatan masyarakat untuk menentukan pilihan.
 
Oleh : Yudhia Perdana Sikumbang Advokat dan Ketua LBH RAM Indonesia Perwakilan Kab. Inhil
 

Loading...
BERITA LAINNYA