Perempuan, Kontributor atau Kompetitor

Perempuan dalam Perubahan Politik Indonesia

Ahad, 22 April 2018 - 14:00:23 wib | Dibaca: 5134 kali 
Perempuan dalam Perubahan Politik Indonesia
Ilustrasi lukisan perempuan (Sumber Photo berdikarionline.com)

Sempena menyambut peringatan Hari Kartini, 21 April 2018, yang ke 55 ada baiknya kita kilas balik sejarah sedikit. Tepat 21 April 1963, Presiden Soekarno memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhumah RA Kartini sebagai pelopor gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Sudah jadi standar nasional di negara kita bahwa Kartini adalah penggerak perempuan untuk memperoleh kesetaraan dengan kaum pria.
 
RA Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah 21 April 1879 dari keluarga bangsawan dan sebagai anak perempuan priyayi tidak jauh berbeda dengan anak-anak perempuan lainnya. Bedanya, Kartini dapat masuk sekolah umum yang bercampur antara anak laki-laki dengan anak perempuan hingga umur 12 tahun. Hal yang justru ditentang oleh ibunya sendiri yang berfikiran konservatif. Setelah itu Kartini dipingit untuk persiapan memasuki usia pernikahan.
 
Masa sekolah yang singkat itulah Kartini berteman dengan banyak anak-anak Belanda yang menjadi salah satu pengaruh dalam pemikirannya ke depan. Dan kepada sahabat-sahabatnya inilah kelak Kartini menulis surat dan menceritakan semua pemikirannya tentang perubahan dalam kultur Jawa yang dianutnya yang dianggapnya tidak relevan dengan kondisinya dan kondisi perempuan lainnya yang memerlukan hak yang sama dengan laki-laki.
 
Meskipun tidak bisa mewujudkan semua pemikirannya sebagai sebuah bentuk yang konkrit, Kartini setidaknya telah meletakkan dasar pemikiran akan perubahan di lingkungan masyarakat Jawa khususnya dan kemudian di masyarakat Indonesia umumnya.
 
Bukan hanya soal kesetaraan gender dan emansipasi perempuan saja, pemikiran Kartini juga mencakup berbagai aspek lain seperti sosial, ekonomi dan budaya. Menurut Cristine Doran dalam bukunya Women and Indonesian Nasionalism yang diterbitkan ulang oleh Pustaka Argu, Jakarta 1994, dengan judul Perempuan dan Nasionalisme Indonesia, Kartini sudah menjadi simbol keterkaitan yang erat sebagai sumber nasionalisme dan penyokong utama emansipasi perempuan Indonesia.
 
Pada saat itu, perempuan Jawa tidak boleh punya cita-cita dan satu-satunya impian perempuan adalah menjadi istri kesekian dari seorang laki-laki. Poligami tidak boleh ditentang tapi dijalani dengan ikhlas dan tanpa alasan. Karena sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam budaya sehingga tidak perlu dipertanyakan.
 
Ketika kemudian Kartini dinikahi seorang Bupati dan diboyong sebagai istri keempat ke Jombang, Kartini hanya bisa nyinyir pada teman-teman penanya yang orang Belanda dengan segala keluh kesah dan keresahan pemikirannya yang cerdas. Tapi secara lahiriah, Kartini harus menjalani hidup sebagai istri keempat di dalam "istana" sang Bupati. Dan Kartini membawa pergi ide pembaharuan emansipasi dan nasionalisnya hingga ke liang lahat pada usia 25 tahun setelah melahirkan anak pertamanya, tanpa dia tahu surat-suratnya ke Belanda itu kemudian menjadi sebuah model bagi perempuan Indonesia setelah itu dalam mengapresiasi langkah dan gerakan mereka secara global.
 
Bersamaan dengan itu sebenarnya sudah ada gerakan emansipasi perempuan di belahan Nusantara lainnya yang justru lebih terbuka dan kongkrit. Beberapa organisasi perempuan muncul dan tumbuh. Sebut saja Putri Mardika di Jakarta tahun 1912 yang bekerjasama dengan Budi Utomo sebagai organisasi nasionalis pertama yang berdiri 1908. Putri Mardika ini kemudian juga didirikan di Bandung, Magelang, Jepara dan Palembang.
 
Dan yang tidak kalah penting bagaimana organisasi nasional lain kemudian membuat seksi perempuan di tubuhnya, bahkan di organisasi keagamaan besar seperti Muhammadiyah juga muncul cabang-cabang perempuan yang banyak mendapatkan peminatnya.
 
Barulah pada sekitar awal 1920-an muncul organisasi perempuan yang bersifat politik yang besar. Sebut saja, Serikat Islam, PNI dan PKI yang membuat seksi perempuan yang menyerap banyak perempuan dari berbagai kalangan masyarakat. Namun, itu semua masih sebatas sebagai bagian yang tidak terlalu "penting" dari organisasi. Tapi, pada sudah ada pembicaraan tentang perbaikan kondisi perempuan dengan cara menghaluskan poligami, kawin paksa, dan kawin muda.
 
Yang mengambil langkah kuat untuk mengeluarkan peran perempuan dari tradisional perkawinan dan keluarga justru PKI.   Dalam konferensi 1924, partai tersebut menghabiskan satu hari penuh untuk mencari strategi yang dapat melibatkan perempuan dalam kegiatan komunis. (C.Brown,"Soekarno and The File of Women ini The Nasionalisme Mvement", Review of Indonesian and Malahan Affairs, Vol 15, No.1,1981, dikutip dari Cristine Doran terbitan Pustaka Argu, Perempuan. dan Nasionalisme Indonesia, 1994)
 
Kemudian PNI pada akhir 1920-an membahas hal ini lebih tajam. Bahkan Soekarno menyebutkan bahwa perempuan harus memiliki perencanaan dalam pergerakan nasional, pergerakan bagi emansipasi perempuan harus diletakan di atas perjuangan nasional. Hingga 1965, hampir 40 tahun kemudian Soekarno sebagai tokoh sentral pergerakan nasional dan Indonesia merdeka dengan tegas menyatakan bahwa ada dua organisasi perempuan di Indonesia yakni yang hanya tertarik pada masak-memasak, pelajaran P3K, pendidikan dan seterusnya dan kelompok yang lebih politis yang memperjuangkan emansipasi perempuan yang dianggapnya sebagai kelompok yang lebih maju.
 
"Kaum laki-laki telah melahirkan karya-karya seni yang besar, kaum perempuan telah melahirkan kaum laki-laki dan ibu-ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang besar," demikian kutipan Soekarno dalam Under the Banner of Revolusioner, terjemahan Dibawah Bendera Revolusi,  Jakarta,1966.
 
Walaupun ide dan pemikiran Soekarno itu cemerlang untuk mengangkat kesetaraan antara peran dan hak laki-laki dengan semua kehebatannya dengan perempuan yang tak kalah hebatnya, tapi saat itu hingga kongres Perempuan Indonesia pertama Desember 1928 belum bisa diterima secara umum. Bahkan dalam kongres itu, belum dibahas peran perempuan dalam gerakan nasionalis dan persoalan yang menyangkut persamaan perempuan dan laki-laki di depan hukum perkawinan dan pendidikan, tidak disinggung sama sekali, karena perbedaan pendapat antara perempuan Islam dan perempuan non Islam ditakutkan akan menggalakan konfrensi tersebut. Meskipun kemudian hari pembukaan konferensi tersebut 22 Desember diperingati hingga hari ini sebagai hari Ibu.
 
Catatan penting dalam konferensi itu antara lain, terbentuknya Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang membatasi diri pada masalah sosial namun mengabaikan amslaah politik. Mungkin ini pulalah yang menyebabkan organisasi ini berubah jadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang dibuatkan tahun 1935 dan diganti Kongres Perempuan Indonesia.
 
Kelompok non Islam yang tidak puas kemudian membuat organisasi Isteri Sedar yang menjalankan program radikal meningkatkan status perempuan dari semua kelas dan mencapai kemerdekaan nasional. Seiring dengan itu politik pergerakan nasional semakin berkembang dan Soekarno sendiri mulai dipengaruhi paham Marxis dalam setiap pemikiran nasionalisnya. Bahkan saat itu Soekarno mengeluarkan pernyataan begini, " bagi perempuan proletar... persamaan hak dengan laki-laki belumlah cujup. Ada kebutuhan yang lebih besar, yaitu bekerjasama dengan kaum laki-laki untuk menghancurkan sistem kapitalisme." ( Brown, ibid)
 
Sekali lagi, perjuangan perempuan Indonesia diciderai dengan mengenyampingkan inti perjuangan semula dan menimpakan kesalahan pada imperialisme dan kapitalisme, hal jauh berada di luar kultur Indonesia. Meskipun menyadari potensi politik  perempauan Indonesia tapi mengenyampingkan jaminan bahwa kemerdekaan akan mengakhiri penindasan perempuan tidak ada.
 
Perjalanan pergerakan perempuan Indonesia tahun 1937 pernah mendapat tawaran dari pemerintah kolonial Belanda waktu itu untuk secara sukarela mendaftarkan perkawinan secara Islam sehingga bisa menghambat poligami. Tapi, hal itu mereka tolak karena mereka takut hal itu akan menimbulkan perpecahan dalam pergerakan nasional yang tengah mereka upayakan bersama. Barulah 36 tahun setelah itu UU Perkawinan No. 01 tahun 1973 mengakomodir keinginan mereka dengan pembatasan poligami.
 
Perkembangan pergerakan perempuan di Indonesia kemudian tercatat sekitar tahun 1941 dimana untuk pertama kalinya perempuan Indonesia mendapat hak pilihnya pada pemilihan di tingkat kotamadya yang melandasi UUD 1945 memberikan hak pilih dalam pemilu pada perempuan. Sebuah keuntungan dari kerjasama yang dipertahankan kaum perempuan dengan tidak melakukan perlawanan secara frontal dengan kaum laki-laki masa itu. Perjuangan yang lamban tapi menghasilkan hak yang juga perlahan mulai bergeser.
 
Perjuangan pergerakan perempuan Indonesia sama dengan perjuangan pergerakan nasional lainnya, memerlukan pengorbanan dan sama dengan laki-laki penggerak pergerakan perempuan Indonesia ini juga keluar masuk penjara kolonial dan Jepang. Pengawasan terutama di masa pendudukan Jepang di Indonesia sangat ketat. Organisasi perempuan yang diizinkan hanya satu Fujinkai yang kegiatannya terbatas pada kegiatan sosial dan pendidikan. Yang mau kerjasama dengan Jepang selamat jadi pekerja sosial tapi yang menentang hal itu ikut turun dalam gerakan bawah tanah yang selalu Dimata mataku Jepang. Sebut saja SK Trimurti, yang mengambil gerakan aktifnya melawan secara politik tidak sekali dua kali masuk penjara. Walaupun pendukung Soekarno dengan setia Trimurti menyadari bahwa pemikiran Soekarno tentang emansipasi perempuan adalah pemikiran yang tradisional.
 
Periode selanjutnya dalam pergerakan 1945-1949, banyak perempuan yang terlibat di dapur umur, perawat dan kegiatan sosial, tapi tidak sedikit yang ikut dalam politik dan kegiatan mata-mata. Salah satu pergerakan perempuan Indonesia yang sudah terorganisir adalah Perwari dan Kowani.  Sejalan dengan tujuan kemerdekaan bangsa, pergerakan perempuan Indonesia sesudah kemerdekaan adalah persamaan perempuan yang layak, perubahan dalam UU Perkawinan, pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan.
 
Gerakan perempuan Indonesia yang kemudian terus berkembang tahun 1965 dihebohkan dengan organisasi Gerwani. Dijadikan sebagai organisasi yang sama dengan PKI karena dituduh telah mencoreng kan aib bagi pergerakan perempuan secara keseluruhan. Bahkan sampai hari ini organisasi wanita Indonesia terbesar ini belum bisa terbebas dari aib itu. Banyak anggota Gerwani yang dipenjara dan terbunuh karena peristiwa G30S PKI 1965 itu.
 
Mengutip Cristine Doran, ibid, walaupun secara formal hukum perkawinan yang cukup progresif akhirnya pada tahun 1973, ternyata hukum tidak selalu dijadikan pedoman. Adat istiadat, agama, dan hukum adat tetap mempengaruhi pandangan dan perlakuan terhadap perempuan. Banyak perempuan yang menyatakan ketidakpuasannya bila diidentifikasikan sebagai Gerwani, karena dianggap menjijikan.
 
Kemudian sekarang, organisasi-organisasi perempuan yang ada dapat izin pemerintah kebanyakan menggemakan suara pemerintah yang mengenakan bahwa emansipasi perempuan saat ini sedang giat-giatnya diperjuangkan dan realisasinya sudah hampir terlihat. Harkat perempuan seoalh-olah diangkat, dengan menyatakan bahwa mereka dibutuhkan untuk bersama-sama mengusahakan dan mendapatkan keuntungan dari modernisasi sosial dan ekonomi tapi jelas tampak dari pandangan umat yang konservatif bahwa pernah perempuan sebagai pengasuh, pendidik anak dan pendukung suami tetap dianggap sebagai peran yang tertinggi. (Cristine Doran, Perempuan dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta 1994).
 
Memasuki fase terakhir pasca reformasi, pada masa politik Indonesia tetap mendengungkan kesetaraan gender, dalam balutan retorika dan secara harfiah hanya sebagai pemenuhan kewajiban saja terutama bagi partai politik untuk menempatkan 30 persen kontestan di legislatif adalah perempuan, tak lebih baik dan spektakuler. Sebanyak 90 persen dari kuota perempuan itu adalah yang tidak siap tempur dan memang yang tidak untuk bertempur di Pileg. Dan muaranya, perempuan yang duduk di legislatif juga tak banyak. Mereka gugur di ajang pemilihan. Begitu juga di eksekutif. Saat perempuan lebih unggul dalam dukungan, justru dimunculkan aturan agama yang melarang umat untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.
 
Sebuah lawakan jugalah bila sekarang muncul partai politik yang 60 persennya adalah perempuan. Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mampukan PSI menjawab semua pertanyaan yang masih mengambang, bahwa keberadaan organisasi gerakan perempuan hanya untuk mempertahankan hegemoni pemerintahan yang ada.  Mau gak jadi kompetitor bukan kontributor. ***
 
Pekanbaru, 20 April 2018
Penulis: Munazlen Nazir
Loading...
BERITA LAINNYA