Daerah

Firdaus Harus Sadar Diri

24562390940-firdaus-walikotagagasanriau.com- Polemik yang menimpa Pedagang Kaki Lima kota Pekanbaru sejak kepemimpinan Firdaus-Ayat mengalami klimaksnya empat bulan terakhir. Dipergantian tahun 2013 pemko Pekanbaru juga tidak memberikan solusi konkrit atas persoalan PKL ini. Pemko tetap menebar ancaman dengan bahasa penertiban bagi PKL yang membangkang untuk ditertibkan. Mengacu kepada Perda tahun Perda kota Pekanbaru No.05 th 2002 adalah alasan klise yang dikedepankan demi menjaga ketertiban dan keindahan kota, namun pemko tidak berpikir akibat dari penggusuran itu sendiri berpengaruh dengan banyak orang selain pedagang namun juga anak-istri pedagang yang berjualanpun terkena musibah penggusuran itu. Relokasi PKL kesejumlah tempat tanpa melalui kosultasi dengan pelaku usaha kecil yang akan dipindahkan merupakan pemaksaan kehendak. Jelas ini bertolak belakang dengan keinginan pedagang yang seharusnya diajak berdialog dan berkonsultasi agar ada keputusan bersama dalam membuat kebijakan sehingga terbangun pembangunan partisipatif. Namun pemko lebih mengedepankan sikap arogan dan kaku dalam menyikapi Perda No.5 th 2002 yang  bersifat makro dan yang  selalu dijadikan sasaran tembak adalah pedagang yang jelas-jelas lemah dihadapan hukum dan lemah secara ekonomi karena ketidakmampuan mereka dalam hal modal untuk berjualan ditempat yang legal membutuhkan biaya yang besar maka tidak ada kata lain untuk bertahan hidup berjualan kontra Perda adalah pilihan terakhir. Namun disisi lain pelanggaran perda tersebut terjadi dimana-mana yang didominasi oleh kekuatan modal besar. Kebijakan relokasi dengan memindahkan para pedagang pada tempat yang telah disiapkan juga jauh dari keberpihakan kepada PKL karena memberikan hak  pengelolaan kepada pihak swasta  yang jelas orientasinya bukan kesejahteraan pedagang namun penghisapan kepada pedagang kecil. Hal ini menunjukan ketidakmampuan dan tidak seriusnya pemerintah dalam membina dan melindungi PKL dari kriminalisasi Perda yang tidak pro rakyat. Ironisnya lagi Firdaus-Ayat dengan jelas-jelas memberikan izin kepada modal besar kepada gurita besar pembunuh ekonomi yang dibangun oleh rakyat (pedagang). 100 izin minimarket Alfa-mart dan 100 izin Indomart disetiap pelosok sudut kota Pekanbaru. Sedangkan para PKL disentralisir disatu tempat dengan kondisi bertarung sesama mereka pedagang kecil tentunya ini bukan ide cerdas dan tidak manusiawi. Pemerintah kota pekanbaru diskriminatif terhadap PKL dengan tidak memberikan izin melakukan aktifitas ekonomi dilokasi yang diinginkan pedagang (pasar Jongkok Panam, Jagung Bakar Purna Mtq, Taman wisata Cut Nya Dien terakhir masuk dalam agenda penertiban Pasar Kodim) yang kesemuanya adalah bukanlah hal yang haram untuk dijadikan tempat berjualan namun solusi yang perlu dijalankan oleh pemerintah adalah penataan saja buka relokasi. Sikap sadis pemko malah menunjukan watak aslinya sebagai pemerintah yang tidak pro rakyat yang akan mempidanakan  PKL dengan UU Nomor 38/2004 dengan sanksi pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda Rp1,5 miliar merupakan intimidasi dan teror bagi PKL. Pemko Pekanbaru tidak bercermin pada dirinya sendiri bahwa pemko sendiri telah melanggar hak konstitusional warga/PKL sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tolak ukur sahihnya produk hukum adalah mengacu kepada UUD 1945 dan Pancasila sebagai tuntunan menjalankan roda pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Pasal 11 UU nomor 39/199 mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.” Pasal 38 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia : (1) “ Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang di sukainya dan ..” Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : “ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk :
  1. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta lokasi lainnya.
  2.  memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima , harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda No. 05 th 2002 tentang ketertiban umum terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki lima . Jika mengikuti paradigma berpikir legisme, maka sebetulnya ada kecacatan dalam proses penalaran hukum yang dilakukan oleh Pemko pekanbaru yang mengklaim bahwa para PKL telah melakukan pelanggaran hukum dengan hanya berpijak pada UU No. 38 Th 2004 tentang jalan sebagaimana diketahui di atas. Pemko pekanbaru tampaknya lupa bahwa salah satu teori kebenaran yang dipakai dalam ilmu hukum selain teori kebenaran pragmatis adalah teori kebenaran koherensi. Artinya tidak hanya dapat dilihat dari satu kasus atau sedikit sudut pandang perundang-undangan saja, melainkan harus secara menyeluruh meliputi semua perundang-undangan yang terkait baik secara horizontal (sesama UU) maupun secara vertikal (UU dengan UUD). Realitas PKL jika ditinjau dari UU No. 38 Th 2004 mungkin akan teterjemahkan sebagai suatu pelanggaran hukum. Tetapi jika merujuk pada UUD 1945 sebagai hukum dasar Indonesia, maka realitas PKL juga terkait dengan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dimana Negara dalam hal ini pemerintahlah yang bertanggung jawab melakukan pemenuhan atas constitutional rights ini yang oleh karenanya bersifat mutlak harus dipenuhi.*redaksi*


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar