Daerah

Tak Bisa Berhenti Merokok? Salahkan Gen Anda

[caption id="attachment_1927" align="alignleft" width="300"]Perokok Perokok[/caption]

gagasanriau.com- Para ilmuwan menemukan ternyata gen bukan keinginan yang kuat yang membuat sebagian orang tidak bisa berhenti merokok. Para ahli mengidentifikasi berbagai varian gen yang bisa meningkatkan kecenderungan seseorang untuk menjadi perokok berat sepanjang hidupnya.

Mereka yang terkena dampak ini, menurut situs Daily Mail, lebih banyak terpengaruh di usia remaja dan segera menjadi perokok yang menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari. Sebagai orang dewasa, mereka menemukan bahwa lebih sulit untuk berhenti dari kebiasaan tersebut dibandingkan mereka yang mempunyai gen yang berbeda. Para ilmuwan mempelajari hampir seribu orang Selandia Baru sejak lahir hingga berusia 38 tahun untuk mengidentifikasi mereka yang mempunyai risiko secara genetis menjadi perokok. Partisipan dengan profil genetis berisiko tinggi ternyata lebih cenderung merokok setiap hari saat remaja. Para usia 38 tahun, mereka menjadi perokok berat hingga bertahun-tahun dan lebih parah mengalami ketergantungan pada nikotin, dan lebih cenderung untuk gagal jika ingin berhenti merokok. "Risiko genetis dipercepat dengan perkembangan perilaku merokok," kata ketua peneliti Dr. Daniel Belsky dari Duke University di Durham, Amerika. "Remaja yang berisiko tinggi mengalami masa transisi yang lebih cepat dari mencoba rokok menjadi perokok berat." Perubahan genetis tidak mempengaruhi seseorang untuk mencoba rokok pada kali pertama. Namun orang yang mencoba untuk merokok dan mempunyai risiko tinggi akan meningkatkan peluang untuk menjadi perokok dan ketergantungan pada nikotin. Hasil riset yang dilaporkan dalam jurnal JAMA Psychiatry ini berdasarkan pada skor risiko genetis yang diperoleh dari penelitian sebelumnya yang mengukur seluruh kode genetis untuk melihat hubungannya dengan kebiasan merokok. Perubahan pada DNA dan gen-gen sekitarnya yang mempengaruhi respon tubuh dan otak terhadap nikotin lebih umum terjadi pada perokok berat. Namun, bagaimana varian gen ini mempengaruhi secara spesifik belum diketahui secara pasti. Pakar kesehatan sosial yang tidak terlibat dalam riset ini, Profesor Denise Kandel dari Columbia University di New York, mengatakan remaja memang dalam periode berisiko tinggi untuk kecanduan nikotin. Hasil riset ini menunjukkan mengapa remaja menjadi target penting untuk pencegahan merokok. "Bagaimana risiko genetis berpengaruh pada fungsi otak, yang pada akhirnya bereaksi pada nikotin," ujar Kandel. Hasil temuan ini diyakini mempunyai efek bagi kesehatan publik. "Kebijakan kesehatan publik perlu membuat aturan yang lebih tegas agar remaja tidak menjadi perokok reguler, dan harus terus fokus pada upaya pencegahan merokok," kata Dr. Belsky. DAILY MAIL | ARBA'IYAH SATRIANI


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar