Daerah

Bagaimana Media ‘Membunuh’ Kepekaan Sosial Kita

gagasanriau.com- Terungkapnya praktek menyerupai ‘perbudakan’ di pabrik kuali di Tangerang, Banten, mengagetkan banyak orang. Bayangkan, di era modern seperti sekarang ini, yang dipuja-puji dengan penghargannya terhadap Hak Azasi Manusia, ternyata masih mentolerir praktik menyerupai perbudakan.

Kejadian yang dianggap menggemparkan lainnya adalah cerita tentang Tasripin, bocah berusia 12 tahun yang tinggal di pelosok Banyumas, Jawa Tengah, yang bekerja sebagai buruh tani demi menghidupi tiga adiknya: Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4). Sampai-sampai, karena dianggap fenomena yang tidak pernah atau jarang terjadi, Presiden SBY ikut terenyuh ketika mendengar kabar itu.

Dalam diri saya muncul pertanyaan: benarkah kejadian di pabrik kuali dan Tasripin adalah fenomena baru atau baru kali ini saja terjadi? Apakah anda yakin bahwa kejadian semacam itu tidak terjadi di sekitar lingkungan atau komunitas anda?

Kalau soal pabrik kuali di Tangerang itu, mungkin itu kejadian langka. Mungkin terjadi juga di tempat lain, tapi belum terungkap. Tetapi, dalam kasus Taspirin, saya anggap kejadian semacam itu terjadi di banyak tempat di negeri ini. Dan memang benar. Tak lama setelah berita Tasripin, muncul lagi berita tentang Indah Sari, siswi SMP yang bekerja di pabrik bulu mata palsu untuk menopang biaya sekolah dan biaya hidup keluarganya.

Kenapa kejadian ini baru kita ketahui setelah diangkat media. Kok bisa-bisanya masyarakat di sekitar mereka, pihak sekolah, dan pejabat pemerintah setempat tidak bisa menangkap kejadian-kejadian seperti Tasripin dan Indah Sari ini.

Begitu juga dengan kejadian di pabrik kuali. Kok bisa masyarakat di sekitarnya tidak tahu atau luput untuk mengetahui praktek perbudakan di pabrik kuali itu. Padahal, pabrik kuali itu ada di sebuah pemukiman, bukan di sebuah tempat yang terisolasi jauh dari jangkaun publik.

Menurut saya, tidak bekerjanya kejelian kita melihat fenomena Tasripin dan Indah Sari adalah buah dari terkikisnya kepekaan sosial kita. Dan sistem kapitalisme punya andil besar dalam mengikis kesadaran dan kepekaan sosial kita. Maklum, di bawah sistim kapitalisme, relasi manusia telah diterjemahkan dalam relasi komoditi.

Media massa kapitalis telah memainkan peranan signifikan dalam mendegradasi kepekaaan sosial masyarakat kita itu. Media massa kapitalis ini, melalui sajian pemberitaan dan promosi gaya hidupnya (film, iklan, sinetron, musik, dan lain-lain, telah mencerabut masyarakat kita dari akar sosialnya dan mengatomisasinya.

Saya berusaha memperlihatkan beberapa contoh bagaimana media massa mendegradasi kepekaan sosial masyarakat kita dan mengatomisasinya menjadi individu-individu yang berbeda kepentingan satu-sama lain.

Pertama, media massa kapitalis selalu berusaha menyajikan berita yang layak dijual. Supaya bisa begitu, maka berita yang diangkat pun haruslah di luar kebiasaan, jarang terjadi, dan unik. Ini terlihat jelas dalam resep jurnalisme mereka: “anjing menggigit manusia bukan berita, tapi manusia menggigit anjing baru berita.”

Njoto, pimpinan redaksi Harian Ra’jat, pernah mengeritik gaya jurnalisme di atas sebagai selera jurnalisme borjuis. Menurutnya, jurnalisme borjuis menganggap penderitaan orang yang digigit anjing tidak punya nilai jual untuk diberitakan. Sebaliknya, manusia menggigit anjing sebagai peristiwa aneh, sensasional, dan menghibur justru punya nilai jual dan itulah yang mestinya diberitakan.

Konsekuensinya: media massa tidak tertarik memberitakan persoalan-persoalan yang dialami oleh rakyat.  Kalaupun diberitakan, itu hanya menempati pojok kecil dan ulasannya sangat singkat. Sebab, penindasan dan penghisapan rakyat itu sendiri dianggap sudah lazim terjadi.

Kedua, media massa lebih tertarik menyajikan berita yang sensasional dan bombastis, seperti skandal seks para pejabat/tokoh publik, gossip miring tentang para politisi, perselingkuhan dan perceraian di kalangn selebritis, dan lain-lain.

Sebagai contoh: media massa lebih tertarik memberitakan perceraian Anang-Krisdayanti ketimbang PHK massal terhadap buruh di sebuah pabrik. Kesannya: perceraian Anang-Krisdayanti lebih penting diketahui publik ketimbang penderitaan kaum buruh. Akibatnya, kita mulai kurang sensitif dengan persolan penghisapan yang dialami oleh masyarakat sekitar kita.

Ketiga, media massa saat ini suka sekali mengalihkan perhatian kita pada persoalan remeh-temeh, tapi justru mengabaikan atau mengaburkan persoalan besar.

Kita juga bisa mengambil kasus suap impor daging sebagai contoh. Media massa lebih tertarik menelusuri hubungan Ahmad Fathanah dengan sejumlah perempuan ketimbang menelesuri hubungan antara praktek suap, mahalnya harga daging, dan kegagalan negara menyediakan daging dengan harga terjangkau bagi rakyatnya.

Keempat, media massa seringkali melaporkan kejadian secara bias atau memanipulasi fakta. Sebagai misal, ketika mengangkat soal konflik agraria, media sering mencap rakyat sebagai penghuni ilegal, perambah, penyerobot, bahkan mafia tanah.

Padahal, dalam banyak kasus konflik agraria, rakyat adalah pemilik sah tanah tersebut. Sedangkan lawannya adalah pengusaha. Lantaran si pengusaha punya kekuatan modal, yang digunakan untuk menyuap pejabat politik, BPN, dan pengadilan, maka dia yang memenangkan klaim kepemilikan.

Pembiasan ini makin sering terjadi lantaran: Satu, kepemilikan media makin terkonsentrasi di tangan segelintir kapitalis. Sehingga posisi media tidak lebih sebagai pembela kepentingan ideologis, politis, dan ekonomis si kapitalis. Dua, dalam menggali informasi, media massa sangat bergantung pada narasumber seperti pejabat pemerintah, pemilik bisnis, dan kelompok pakar.

Akibatnya, ketika rakyat atau kaum tani dirampas tanahnya, kemudian oleh media dicap penyerobot lahan perusahaan, kita kemudian enggan peduli atau bersolidaritas kepada mereka.

Kelima, media massa mempromosikan gaya hidup individualistik, yang cuek dengan keadaan sekitar, sebagai gaya hidup yang unggul dan patut diteladani. Ini dipromosikan lewat iklan, film, sinetron, cerita pendek di koran, dan lain sebagainya.

Bahkan, demi merealiasikan atau memvisualkan keunggulan gaya hidup “keakuan” itu, tak masalah menindas kepentingan dan hak-hak rakyat banyak. Anda bisa melihat contohnya dalam iklan rokok Country yang berjudul Country The Flavor Of Adventure. Di situ diperlihatkan sepasang muda-muda yang kehilangan kendali atas mobilnya, yang kemudian meluluh-lantakkan pemukiman kumuh, dianggap telah menciptakan petualangan yang langka dan spektakuler.

Keenam, perkembangan televisi membawa dampak luar biasa. Banyak yang ditayangkan oleh televisi, seperti sinetron dan reality show, ditanggapi oleh pemirsanya sebagai sesuatu yang seolah-olah nyata atau benar-benar terjadi. Banyak tayangan sinetron, yang dikemas memang untuk menguras air mata, benar-benar membawa pemirsanya dalam kesedihan dan mengeluarkan air mata.

Sinetron dan reality show membawa dampak yang disebut “kekebalan sensivitas”. Maksudnya, masyarakat makin terbiasa dan kebal dengan hal-hal yang seharusnya menyedihkan atau rasa kemanusiaan. Ini sama dengan fenomena pengemis. Karena masyarakat, misalnya di pengguna KRL ekonomi Bogor-Jakarta, sudah terbiasa melihat dan mendengar keluhan pengemis, maka pengemis menggunakan cara yang lebih menyentuh lagi: membawa anak kecil atau memperlihatkn luka diperban. Lama kelamaan ini juga dianggap hal biasa.

Ketujuh, media massa mengkomoditifikasi kebudayaan. Apa yang disebut budaya rakyat, seperti kesenian tradisional, yang biasanya melibatkan banyak orang, telah digantikan dengan budaya populer atau budaya media yang lebih individualistik atau eksklusif.

Dahulu misalnya, anak-anak bermain-main di luar rumah. Sekarang, televisi dan games menarik anak-anak ke dalam rumah. Akibatnya, interaksi sosial mereka paling-paling di sekolah. Itupun waktunya dan kesempatannya terbatas akibat sistem pembelajaran yang bergaya penjara.

Sigit Budiarto, kontributor Berdikari Online

Sumber Artikel: berdikarionline.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar