Daerah

Demoralisasi Kepemimpinan dan Kebangkrutan “Spiritualitas kebangsaan”

[caption id="attachment_2599" align="alignleft" width="300"]Sby Sby[/caption] gagasanriau.com- Sila pertama Pancasila merupakan ‘wujud’ implisit maupun ekspilist dari spiritualitas kebangsaan kita. Ia merupakan payung dasar keseragaman ‘keyakinan’ di Indonesia. Meskipun kemudian, banyak kaum skeptis yang mengatakan bahwa Sila tersebut di level aplikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, namun disitu jelas bahwa Sila tersebut mengandung nilai-nilai universal dan hukum dasar atas kebebasan ber-keyakinan. Persoalan demoralisasi kepemimpinan kini marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini dan itu sangat kompleks. Disamping persoalan behavior, nampaknya memang ada semacam ‘perilaku’ yang terbentuk seiring lahirnya elit-elit baru yang belum pernah selesai dengan dirinya sendiri, terutama ketika menjadi pemimpin. Mengapa itu semakin sering terjadi? Tentu tidak berlebihan jika kita menundukkan problem ini ke paripurna pengujian kritis. Disamping karena hal tersebut merupakan ‘kotoran peradaban bangsa’, juga karena hal tersebut adalah penyimpangan atas nilai kearifan didalam Pancasila sebagai suatu dasar negara (philosopische gronslaag). Suatu Sudut Pandang Filsafat Realitas ini sebetulnya telah diawali oleh deskripsi Plato dalam Republik, yang menyebutkan bahwa ada tiga bagian dari jiwa manusia yaitu hasrat, akal, dan thymos/gairah. Ketiganya saling bertautan dan menjadi dasar dari segala tindakan, tetapi disitu Plato lebih menekankan pada implikasi dari hasrat. Jika kita kontekskan deskripsi Plato ini tepat untuk mengidentifikasi beberapa persoalan seperti halnya demoralisasi kepemimpinan di Indonesia, dimana para pemimpinnya seringkali memiliki ‘hasrat’ yang ‘luar biasa’, salah satunya dalam mengendalikan negara ini. Sejalan dengan deskripsi Plato, dalam Terminologi Kant menyebutkan bahwa fungsi akal budi dalam moralitas dipengaruhi, salah satunya, oleh konsepsi tentang kategori—atau disebutnya sebagai ‘motif memuaskan hasrat sebanyak mungkin’. Sama seperti penekanan Hegel tentang ‘hasrat pengakuan’, atau lebih jelasnya disebut Hume sebagai ‘budak nafsu’. Bahwa memang mengharapkan kesamaan ‘etika-politik’ dari para pemimpin merupakan hal yang mustahil, dan ini mengartikan antara moral rasional dan irasional dalam suatu masyarakat plural sebagaimana Indonesia itu sulit dibedakan proporsi ilmiahnya. Misalnya, ketika terjadi tindakan irasional dimana tindakan-tindakan itu ternyata didorong oleh kehendak moral yang rasional dengan maksud untuk melaksanakan kewajiban walaupun tindakan itu menghasilkan sesuatu yang buruk sekalipun dan justru berarti tindakan tersebut mengandung nilai. Ironi memang, karena secara linear dinamika ini telah membentuk dirinya menjadi ‘perilaku-perilaku’ sehingga mengkristal dan akhirnya tercermin lewat perilaku politik para ‘negarawan labil’, seperti misalnya ditunjukan oleh beberapa pemimpin partai politik besar yang ada di Indonesia dan ini secara sadar, masyarakat baik dalam dimensi yang tertata maupun yang tidak tertata telah turut berpartisipasi atas pengendalian konsepsi ini hampir dalam keseluruhan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Menyaksikan Bangkrutnya Pancasila dan Spiritualitas Kebangsaan Sesungguhnya saat ini adalah ruang dimana kita melihat Pancasila sedang di bangkrutkan oleh demoralisasi kepemimpinan oleh para elit negara dalam beberapa tahun terakhir , Ini bukan lagi persoalan krisis strong leader ship, telah terjadi hilangnya pemahaman yang realis serta religius mengenai apa itu moralitas dalam kepemimpinan. dimana hal tersebut telah mengawali momentum pessimism ekstrem, yang juga sebagai akibat identiknya konflik berawal dari fanatisme yang telah terstruktur didalam masyarakat kita. Ini adalah ‘kekejaman religius’ atas harapan-harapan dimasa depan, atau dalam penegasan Nietsche disebut sebagai suatu krisis yang tiada tandingannya dan berada dalam stadium umwertung aller werte (transvaluasi semua nilai). Tibalah kita Pada masa sekarang ini, dimana ketatanegaraan sedang disimpang jalan, bahwa ternyata ada yang salah dengan ‘keimanan’ kita, dan disitu tragis-bahkan ‘ayat-ayat’ yang dibacakan beribu kalipun ternyata sudah tidak sanggup menghalau laju demoralisasi ini (bahkan ikut memproduksi). Disanalah ia telah melegitimasi lahirnya generasi politik dan ‘negarawan labil’ yang tidak lagi memiliki kearifan sebagaimana di harapkan oleh Pancasila. Ini berarti kita semua sedang mengalami transisi dalam demokrasi, yang mana telah memfasilitasi bangkrutnya Pancasila dan spiritual kebangsaan. Maka tepat kiranya ungkapan bahwa “kita telah kehilangan banyak kepastian lama dan hanya memiliki sedikit kemungkinan baru”, oleh karena itu, lebih ‘melihat kedalam’ adalah salah satu jarak terdekat, sebagaimana pernah diperingatkan Soekarno bahwa jangan hanya mendjadi negara jang banjak niat, tetapi hasil sedikit, pandai sekali meletakkan batu pertama tetapi djarang sekali meletakkan batu terachir. Dan bangsa  jang selalu menundjukkan djurang lebar antara ide dan perbuatan…’a nation with a large gap between ideas and act’ (pidato;a year of triumph-1962). Susanto Polamolo, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta dan Direktur Program Pada Pusat Kajian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta Sumber Artikel: berdikarionline.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar