Daerah

Petaka Di Lahan Gambut

gagasanriau.com -Kebakaran hutan dan lahan Gambut sudah menjadi agenda tahunan di Indonesia, dan khususnya di Riau. Ini merupakan petaka, banyak kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran. [caption id="attachment_2889" align="alignleft" width="300"]Terlihat kebakaran lahan di daerah Pulau Padang yang dinilai dengan sengaja dilakukan Terlihat kebakaran lahan di daerah Pulau Padang yang dinilai dengan sengaja dilakukan[/caption] Hal ini tidak lagi bisa dianggap sebagai bencana alam, karena dipicu oleh faktor kesengajaan sebagai biang keladi terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut, misalnya saja ulah perusahaan yang melakukan ekspansi besar-besaran terhadap lahan gambut baik untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), mereka dengan sengaja melakukan land clearing (pembersihan lahan) dengan cara membakar areal tersebut untuk menekan biaya operasional. Saat ini tercatat paling tidak ada 148 titik panas di Riau. Indikasi ini muncul setelah terekam oleh satelit pemantau cuaca dan pendeteksi panas bumi (NOAA) sebagai mana yang disampaikan oleh Kasi Penangulangan Kebakaran Hutan Dinas Kebakaran Hutan Provinsi Riau, Rahidi di Pekanbaru, kamis (20/6) . Beberapa perusahaan yang melakukan pengelolaan tidak ramah lingkungan tersebut adalah perusahaan yang berasal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore yang saat ini melakukan komplain terhadap Indonesia yang dianggap “pengekspor” asap ke negara mereka. Diduga beberapa titik panas yang terdeteksi berada di kawasan HTI dan Perkebunan milik pemodal asing misalnya PT. Langgam Inti Hibrida, PT. Multi Gambut Industri, PT. Bumi Reksa Nusa Sejati, serta PT. RAPP milik pengusaha ternama yang berdomisili di Singapura. Sistem pengelolaan hutan yang berbasis industri  yang tidak ramah lingkungan dengan sistem kanalisasi besar-besaran inilah yang diindikasi sebagai penyebab lahan gambut kering dan mudah terbakar, dimana hal ini merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Di sisi lain, ekspansi besar-besaran oleh perusahaan yang mendapat izin dari pemerintah menjadi penyebab timbulnya konflik-konflik di daerah yang bersentuhan langsung dengan perusahaan. Hal ini terjadi karena tumpang tindih lahan, penggusuran, menyempitnya ruang kelola masyarakat dan rusaknya ekosistem yang merupakan tempat bergantung hidup bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga menjadi permasalahan yang kompleks. “Banyak yang sakit sesak, ada nelayan yang tidak bisa melaut karena jarak pandang yang terbatas, kebun masyarakat juga ikut terbakar karena merembet dari kebakaran kebun perusahaan”, hal ini disampaikan Isnadi Esman, S.Pd dari, Dewan Perwakilan Anggota (DPA) Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Kepulauan Meranti, di Selatpanjang (23/06). Beliau juga menyampaikan lemahnya penegakan hukum dalam hal kebakaran hutan dan lahan gambut di negara ini. “Pemerintah seharusnya lebih serius dan fokus dalam menyikapi kebakaran ini, dan harus sudah lebih siaga menghadapinya, bukan setelah kebakaran baru melakukan usaha pemadaman. Karena kebakaran ini sudah menjadi agenda rutin di wilayah-wilayah yang terdapat sebaran gambutnya di seluruh indonesia.  Pemerintah harus sadar, bahwa pengelolaan hutan dan lahan gambut yang mengedepankan kearifan lokal lah yang seharusnya didorong, dimana ini juga harus diiringi dengan penyadaran tentang bagaimana mengantisipasi dan bahayanya kebakaran hutan dan lahan gambut”. Rilis DPA Jaringan Masyarakat Gambut Riau


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar