Daerah

Pendidikan Dan “Nation Building”

gagasanriau.com-Sekolah mestilah mencerdaskan dan mencerahkan anak didik. Dulu-dulu kita sangat menyakini hal itu. Tetapi beberapa kejadian akhir-akhir ini seperti merontokkan keyakinan itu.  Sebut saja kejadian pemukulan wartawan oleh pelajar SMAN 6 Jakarta dan kasus pemecatan 19 mahasiswa karena gambar palu-arit di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM). Kedua kejadian itu menegaskan satu hal: orang-orang yang berkecimpung dalam dunia terdidik tak lagi bisa berfikir secara logis dan ilmiah. Mereka telah mendahulukan amarah untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan kita bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional disebutkan pula, bahwa “pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa….” Di jaman Bung Karno, pendidikan malah menjadi alat penting dalam proyek “nation and character building”. Soekarno pun kemudian merumuskan fungsi pendidikan nasional sebagai alat revolusi untuk mencapai lima hal: Manusia Indonesia Baru yang berjiwa Pancasila-Manipol/Usdek dan sanggup berjoang untuk mencapai cita-cita tersebut, manpower yang cukup untuk melaksanakan pembangunan, kepribadian Kebudayaan Nasional yang luhur, ilmu dan teknologi yang tinggi, dan pergerakan massa aksinya seluruh kekuatan rakyat dalam pembangunan dan Revolusi. Sudah sejak jaman pergerakan, pendidikan dan sekolah menjadi alat perjuangan. Disanalah kaum pergerakan menyemai semangat nasionalisme dan anti-kolonialisme, membangkitkan kepercayaan diri rakyat terperintah, dan melahirkan kader-kader handal untuk perjuangan. Pendek kata, para penganjur pendidikan di jaman pergerakan menginginkan agar pendidikan menjadi sarana—meminjam istilah Multatuli—memanusiakan manusia. Semangat ini melengket terus pada pemikiran para pemimpin bangsa di republik pertama. Tetapi, jika kita melihat sistem pendidikan nasional sekarang, semangat itu sudah tidak ada sama sekali. Pemerintah telah menyerahkan pendidikan kepada pasar dan pemerintah hanya berperan minimal. Akibatnya, pemerintah bukan saja kehilangan kontrol tentang bagaimana pendidikan bisa diakses seluruh rakyat, tetapi bahkan pemerintah tidak bisa lagi memastikan pendidikan itu punya muatan nilai-nilai. Pendidikan nasional kita dibanjiri oleh teori-teori impor dari barat. Karena diserahkan kepada mekanisme pasar, maka logika penyelenggaraan pendidikan kita juga bertumpu kepada profit. Sedangkan kurikulum pendidikan dirancang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Lebih miris lagi, atas nama dunia yang ter-globalisasi, bahasa Indonesia secara perlahan-lahan mulai terusir dari sekolah-sekolah kita. Menguasai banyak bahasa asing memang bagus, tetapi jika tak mengusai bahasa bangsa sendiri—bahasa tempat kaki kita berpijak—maka itu sama saja membiarkan bangsa kita mati. Kondisi bahasa daerah kian lebih parah lagi. Ia dianggap tak lagi penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan di jaman neoliberal bisa saja menghasilkan banyak sarjana, doktor, dan professor, tetapi diantara mereka sangat sedikit yang punya dedikasi terhadap kemanusiaan dan bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan mental sebagai salah satu aspek dalam pendidikan tidak bisa ditinggalkan. Orang bisa saja mengusai teknologi canggih, tetapi jika ilmunya tidak diabdikan kepada rakyat dan bangsa, maka itu sama saja dengan kesia-siaan. www.berdikarionline.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar