Daerah

Belajar Dari Kitakyushu Bangun Kota Pintar

[caption id="attachment_3218" align="alignleft" width="300"]Belajar dari Kitakyushu bangun kota pintar Belajar dari Kitakyushu bangun kota pintar[/caption] gagasanriau.com -Alangkah indahnya ketika kita memasuki sebuah kota disambut celoteh burung-burung yang bersarang di atas pohon. Mereka terbang dari satu pohon ke pohon lainnya menyisakan senandung dan gemerisik gesekan dedaunan. Suasana seperti itu  bisa dilihat dan dirasakan di salah satu kota industri di Jepang, Kitakyushu, yang terletak di pulau Kyushu, Fukuoka. Berbeda dengan image kota industri yang pekat oleh polusi, langit di wilayah ini nampak masih biru cerah. Udaranya bersih, seakan tidak ada mesin pabrik yang berproduksi. Padahal di kota tersebut ada pabrik baja yang cukup besar, Yahata Steel, yang merupakan afiliasi dari produsen terbesar baja di Jepang, Nippon Steel, di samping industri berat lainnya. "Dulu tahun 1960-an, Kitakyushu sama dengan kota industri lainnya. Langitnya abu-abu, tapi kini setelah lebih dari 40 tahun sudah biru," kata Walikota Kitakyushu, Kenji Kitahashi, saat menerima kunjungan kerja panitia perayaan hubungan Indonesia-Jepang ke-55. Ia memampang foto perubahan salah satu sudut pelabuhan di kota itu, Dokay Bay, pada 1960-an dengan cerobong pabrik yang mengeluarkan asap hitam ke udara sehingga langit menjadi abu-abu dan foto di lokasi yang sama yang diambil tahun 2010 dengan langit yang telah membiru. Keberhasilan Kitakyushu mengembalikan langit biru dengan udara, sungai, laut, dan jalanan yang lebih bersih sehingga membuat mahluk hidup yang tinggal di sana tumbuh sehat, membuat kota itu menjadi model pembangunan kota ramah lingkungan di Jepang. Tidak itu saja, Kitakyushu juga dinobatkan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) sebagai salah satu kota pintar (smart city) selain Paris, Chicago, dan Stockholm. Gerakkan kaum ibu Bagaimana Kitakyushu bisa berubah dari kota yang kotor oleh polusi asap pabrik, sungai dan laut yang terkontaminasi limbah sehingga ikan pun tak sanggup hidup, berubah menjadi kota hijau yang ramah lingkungan. Mungkin anda tidak menyangka, bahwa semua berawal dari keprihatinan ibu-ibu di kota itu yang khawatir pada kesehatan dan pertumbuhan anak-anak mereka. "Ya, (keprihatinan) ibu-ibu telah menggerakkan hati pengusaha, pemerintah, dan para profesor untuk berbuat sesuatu," ujar Kitahashi. Kala itu modernisasi dan pertumbuhan industri di Kitakyushu memberi dampak negatif berupa polusi udara, debu, bising, serta limbah di sungai dan laut. Dampaknya, tidak hanya baju yang habis dicuci dan dijemur kotor kembali akibat pekatnya debu pabrik baja, tapi juga anak-anak mereka sering sakit asma sehingga biaya rumah tangga membengkak. Selain itu, kaum wanita yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga mulai khawatir terhadap pasokan makanan, khususnya ikan, karena sungai dan laut tercemar. Hal itu mendorong para ibu rumah tangga bergerak untuk melindungi keluarga mereka dengan membentuk asosiasi pada 1965. Mereka kemudian mengajukan petisi ke dewan kota dan industriawan agar mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang sudah sangat parah waktu itu. Mereka kemudian mendapat dukungan dari kalangan akademisi untuk menuntut pengembalian langit biru. Perjuangan ibu-ibu itu didokumentasikan dalam film "Aozora ga Hoshii" atau "We want our blue sky back". Perjuang kaum ibu tersebut tidak sia-sia, sepanjang 1972 sampai 1991, pemerintah dan swasta merogoh kocek hingga 804,3 miliar yen atau sekitar Rp80,43 triliun untuk memperbaiki lingkungan di kota itu. Sebagian besar atau sekitar 70 persen pengeluaran diambil dari kas pemerintah kota dan sisanya swasta. Kota pintar Kini Kitakyushu telah menjadi kota yang ramah lingkungan, dengan langit yang biru dan udara yang bersih, serta terbebas dari limbah industri berbahaya, meskipun industri besar, termasuk baja dan mobil, tetap tumbuh di sana. "Kami terus melakukan pengembangan menjadi kota hijau dan pintar, dengan tingkat pelepasan karbon yang rendah untuk seluruh aktivitas kota," kata Eksekutif Kepala Biro Lingkungan Kitakyushu Matsuoka Toshikazu. Hal itu setidaknya terlihat dari desain bangunan kantor walikota yang dinding depannya menggunakan solar panel untuk membantu pasokan energi listrik di gedung itu. "Tidak besar, hanya sekitar 0,1 sekian persen dari kebutuhan listrik gedung ini," ujar Toshikazu sambil memperlihatkan panel TV yang memantau pemanfaatan listrik dari solar panel di gedung walikota, serta pelepasan karbonnya. Tidak hanya di kantor walikota, pembangkit listrik di kota itu juga telah menggunakan kombinasi energi yang ramah lingkungan. Sejak lama Kitakyushu meninggalkan batu bara dan bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik. "Kami antara lain menggunakan LNG (untuk pembangkit listrik), yang dulunya 100 persen dipasok dari Indonesia," ujar Kepala Departemen Perencanaan Energi Nippon Steel & Sumitomo Metal, Hideki Yamada. Selain gas dan solar panel, Kitakyushu, yang memiliki proyek percontohan masyarakat pintar dengan sistem energi mandiri di wilayah Higashida, juga menggunakan energi angin untuk pembangkit listrik dengan kapasitas 15 ribu kwh. "Kami memantau produksi dan pemanfaatan energi listrik masyarakat setiap hari selama 24 jam," ujar Toshikazu. Bila pada jam tertentu terjadi lonjakan penggunaan listrik, maka harga listrik akan dinaikkan, agar masyarakat didorong untuk berhemat, terutama pada jam sibuk pukul 13.00-17.00. Toshikazu mengatakan untuk mengatasi limbah pabrik dan rumah tangga, setiap pabrik memiliki proses pengolahan limbah sendiri sebelum dibuang ke sungai atau laut. Demikian pula dengan limbah rumah tangga, dikumpulkan dalam satu fasilitas pengolahan limbah yang dikelola swasta, baru dibuang dalam keadaan ramah lingkungan. "Kota-kota di Indonesia bisa melihat kegagalan kami (mengatasi masalah lingkungan) sebelumnya, sehingga bisa lebih cepat mencapai sukses," kata Walikota Kitakyushu Kenji Kitahashi, yang sudah mulai bekerja sama dengan Medan, Surabaya, dan Balikpapan untuk mengembangkan kota pintar nan hijau. Ia yakin jika Kitakyushu bisa sukses menjadi kota hijau dalam 40 tahun, maka kota di Indonesia bisa mencapainya dalam 10 tahun. Oleh Risbiani Fardaniah


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar