Daerah

Pengemis dan Kewajiban Negara

[caption id="attachment_3286" align="alignleft" width="300"]Bocah Pengemis Tertidur Disebuah Pusat Perbelanjaan kota Pekanbaru Bocah Pengemis Tertidur Disebuah Pusat Perbelanjaan kota Pekanbaru[/caption]

gagasanriau.com -Jika ada buku Mati Ketawa Cara Tangerang Selatan, peraturan daerah yang satu ini bisa menjadi salah satu bagiannya. Bayangkan, pengemis yang tertangkap di Kota Tangerang Selatan diancam hukuman penjara 3 bulan dan denda Rp 30 juta. Alasan Pemerintah Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tangerang Selatan menyetujui peraturan daerah ini adalah untuk meminimalkan jumlah pengemis dan memberikan efek jera.

Bisa jadi Pemerintah Kota Tangerang Selatan sudah putus asa mengatasi serbuan para pengemis, terutama pada bulan Ramadan. Mereka tiba-tiba bermunculan di perempatan atau lokasi-lokasi strategis di seluruh penjuru kota. Para pengemis ini tak jera ditangkap atau diinapkan di tempat-tempat rehabilitasi. Anggota Dewan yang menyetujui peraturan ini yakin bahwa ada yang mengkoordinasi para pengemis tersebut.

Apa pun alasannya, peraturan tersebut sangat tidak masuk akal atau berlebihan. Untuk hidup sehari-hari saja mereka sudah kesusahan, apalagi harus membayar denda sampai Rp 30 juta. Orang kebanyakan yang bukan pengemis pun akan berteriak kencang atau bahkan mati berdiri jika dikenai denda sebesar itu. Semestinya, pembuat aturan ini memahami bahwa, secara sosiologis atau empiris, aturan ini tak mungkin diterapkan.

Perda itu juga tak sejalan dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Merujuk pada konstitusi dasar itu, seharusnya Perda tersebut tak perlu ada. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menampung para pengemis ini.

Jika memang ditemukan "koordinator" yang mengerahkan para pengemis, termasuk anak-anak, mereka bisa diproses menurut aturan hukum yang ada. Mereka yang mempekerjakan anak-anak bisa dihukum berdasarkan UU Perlindungan Anak. Mengemis di depan umum bisa dikategorikan sebagai pelanggaran ketertiban umum, yang bisa dipidana berdasarkan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kebijakan menjatuhkan sanksi denda seperti ini pernah diterapkan di beberapa kota besar, seperti Jakarta. Namun efektivitasnya tak terbukti. Pengemis tetap bermunculan. Yang masih menjadi masalah adalah lemahnya pelaksanaan dan konsistensi penegakan peraturan. Bukan mustahil perda di Kota Tangerang Selatan bakal sulit diimplementasikan, kecuali pemerintah mengawal ketat pelaksanaannya di lapangan.

Undang-Undang Dasar sudah sangat jelas mengamanatkan negara untuk mengurus kaum fakir miskin dan anak-anak telantar. Membentuk instansi khusus untuk mengurus pengemis merupakan salah satu langkah konkret penjabaran UUD 1945 itu. Pemerintah juga bisa mendorong perusahaan atau masyarakat untuk ikut mengurus kaum duafa ini. Seperti halnya pengeluaran untuk tanggung jawab sosial, pengurusan kaum miskin bisa menjadi pengurang pajak.

Yang dilakukan selama ini hanyalah menangkap dan menginapkan mereka selama beberapa hari di lembaga rehabilitasi, kemudian melepaskannya. Semestinya ada banyak cara untuk memberdayakan mereka dengan memberikan keterampilan sebagai bekal sebelum mereka dikembalikan ke masyarakat.

Supaya tak terjadi penyimpangan dan publik tak merasa khawatir apakah sumbangan mereka sampai atau tidak kepada yang membutuhkan, diperlukan instansi atau dinas dengan akuntabilitas tinggi. Selama kesejahteraan tak bisa diwujudkan negara, akan selalu ada pengemis.

tempo.co


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar