Daerah

Haula Rosdiana, Guru Besar Pajak Perempuan Pertama Di Indonesia

[caption id="attachment_3332" align="alignleft" width="300"]Haula Rosdiana, Guru Besar Pajak perempuan pertama di Indonesia Haula Rosdiana, Guru Besar Pajak perempuan pertama di Indonesia[/caption] gagasanriau.com Jakarta-Saat dikukuhkan menjadi Guru Besar pada Juni lalu, Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si juga mencetak pencapaian baru di Indonesia. Selain menjadi Guru Besar bidang Ilmu Kebijakan Pajak dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, dia juga merupakan Guru Besar Perempuan pertama bidang perpajakan di Indonesia.

 Prestasi tersebut disyukurinya sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Pasalnya, pengajar kelahiran 5 Januari 1971 itu awalnya tidak pernah berniat menggeluti bidang pajak.

 "Saya dulu ingin jadi dokter gigi, tapi karena saya berasal dari keluarga biasa-biasa saja, mama bersikap realistis. Kalau masuk FKG, mama enggak punya duit (untuk membiayai)," katanya menirukan ucapan sang ibunda bertahun-tahun lalu. 

 

Haula maklum, orangtuanya punya beban membiayai enam anak dengan penghasilan yang tidak berlebihan. Almarhum ayahnya yang sempat jadi pemain bola mencari nafkah dengan bekerja di sebuah pabrik ban di Bogor. Sementara sang ibu membantu dengan membuka warung yang menjual sayuran, gado-gado, serta beragam masakan.

Dengan niat mengikuti perintah orangtua, anak keempat dari enam bersaudara itu memilih jurusan Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia.

Tapi dia yakin orangtua tidak akan menjerumuskan anaknya ke jalan yang salah. 

Meski "diceburkan" ke bidang yang awalnya sama sekali tidak terpikirkan, justru Haula mulai menikmati pilihan tersebut.

"Saya bersyukur mendapatkan dosen-dosen luar biasa di FISIP. Belajar jadi hal yang menyenangkan, saat SMA biasa belajar biologi dan fisika, jadi ini sesuatu yang berbeda dan saya rasa menarik," kenangnya.

Jalan menuju karir sebagai pengajar dimulai saat sang adik yang saat itu juga berkuliah di UI melihat pengumuman beasiswa tunjangan ikatan dinas untuk menjadi dosen. Informasi tersebut diteruskan oleh adiknya kepada sang ibunda yang akhirnya mendorong Haula untuk mengikuti tes tersebut.

"Saya awalnya enggak minat, tapi mama bilang harus ikut, mama enggak punya duit," kata anak keempat dari enam bersaudara itu dengan tawa berderai.

Saat menjalani tes penelitian khusus (litsus) tersebut, rupanya sang ibunda berperan serta dalam kesuksesannya. Haula bercerita bahwa pada waktu itu ada sebuah pertanyaan tentang siapa idola yang dikaguminya.

"Biarpun saya di FISIP, saat itu (orde baru) litsus enggak boleh ada jawaban sosialis. Kalau saya bilang Soekarno, nanti enggak lolos. Karena mama saya senang dengan bung Hatta, jadi saya jawab saja Bung Hatta meskipun sebenarnya itu idola mama. Alhamdulillah lolos, berkat mama, ini berkah."

Ketika mendapatkan beasiswa tersebut, dia belum membayangkan bahwa itu adalah salah satu jalan yang dapat dirintisnya untuk menjadi guru besar. Yang pasti, dia senang dapat membantu orangtuanya untuk menyekolahkan saudara-saudara dengan uang beasiswa.

"Dulu sebulan dapat Rp45.000, uang kuliah hanya Rp120.000 per semester, kos Rp20.000, makan hanya Rp25 perak, masih banyak yang tersisa. Saya berpikir yang penting tidak menyusahkan orangtua."

Vivant Professores!

Haula masih ingat betul kali pertama dia melihat satu demi satu guru besar naik ke podium dalam upacara wisuda. Dia bersama ribuan mahasiswa baru lainnya bertugas sebagai paduan suara yang menyanyikan "Gaudeamus Igitur", lagu yang selalu dikumandangkan saat wisuda berlangsung.

Ketika sampai pada lirik "Vivant professores! ( Panjang umur para pengajar! )" dan melihat kemunculan para guru besar, Haula mengaku gemetar karena takjub. Sebuah tekad tumbuh dalam dirinya, "Suatu saat, saya ingin seperti mereka."

Dalam kacamatanya saat itu, guru besar adalah pahlawan ilmu pengetahuan yang memiliki posisi luar biasa hingga patut dipuji dalam lagu yang kerap membuatnya hatinya bergetar.

Dalam imajinasi saya saat itu, mereka sama seperti Einstein, mereka adalah orang-orang yang mengembangkan ilmu pengetahuan, memajukan negara."

Dengan semangat baru, Haula yang pulang ke rumahnya bercerita tentang cita-citanya menjadi guru besar.

"Saya lari-lari saat pulang dan bilang ke ibu saya, Mama, suatu saat aku ingin jadi seperti guru besar. Saya terus nyanyi-nyanyi Gaudeamus di rumah," celoteh perempuan yang besar di Bogor itu.

Keinginannya saat itu direstui dengan doa orangtua. Ibunya tidak pernah lupa mengingatkan Haula tentang cita-cita itu.

"Untuk saya ini adalah anugerah terbesar, saya ingin wujudkan keinginan mama dan alhamdulillah tercapai," ujarnya dengan berbinar-binar.

Dia tidak lupa menyebut kontribusi sang ayah dalam keberhasilannya di bidang akademik. Baginya, perilaku sang ayah yang baik budi melahirkan berkah yang terasa untuknya hingga saat ini. Sosok almarhum ayah yang wafat pada 1997 silam masih teringat di benaknya.

"Bapak orang yang sangat baik, kalau terima gaji, sebelum dibawa pulang ke rumah pasti mampir ke masjid untuk 'dibersihkan' dengan zakat. Bapak number one," katanya bangga.

Ada salah satu kepingan kenangan yang diingat Haula tentang ayahnya saat dirinya diterima di Universitas Indonesia.

Ayah yang kerap mengantarnya ke kampus itu berkeras membelikannya sepatu baru meskipun tidak punya uang. 

"Saya tidak mau, tapi tetap dipaksa. Padahal ayah saya enggak punya duit, tapi bangga anaknya masuk UI. Jadi saya akhirnya mau, saya hargai keinginan ayah saya."

Tanggung Jawab

Bagi perempuan yang pernah menjadi observer dalam pertemuan tahunan United Nations -“Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters” di Markas Besar PBB di Geneva- Switzerland, menjadi Guru Besar bukanlah sebuah akhir, melainkan permulaan. Dia ingin mengabdi kepada negara dan masyarakat dengan lebih maksimal.

"Saya berharap dengan adanya pergantian pemimpin pada 2014 mendatang, akan ada perubahan Undang Undang Perpajakan, semoga kami bisa berkontribusi supaya menjadi lebih baik lagi," tukas perempuan yang aktif dalam penyusunan Rancangan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di beberapa Pemda.

Dia mengaku memiliki tanggung jawab yang berat demi melahirkan generasi baru di bidang perpajakan yang lebih baik.

"Selama ini saya membantu bikin naskah akademik, rancangan peraturan pemerintah, RUU, tapi juga harus memikirkan kaderisasi di kampus. Pajak itu memang langka, guru besar pajak se-Indonesia berapa orang? Mungkin tidak lebih dari sepuluh," jelas Guru Besar yang memberikan pidato pengukuhan berjudul “Spektrum Teori Perpajakan untuk Pembangunan Sistem Perpajakan Indonesia Menuju Persaingan Pajak Global .”

Selain mengajar di kampus, dia juga tetap berusaha menyeimbangkan kewajibannya sebagai seorang ibu.

"Jika anak sedang membutuhkan saya, kadang ada pekerjaan yang harus saya tolak. Tapi mereka juga mengerti kalau saya bilang ibu sibuk, tidak bisa diganggu," ujar ibu dari tiga orang anak itu.

"Dinikmati saja semuanya, yang penting seimbang," tutup Haula. (*)

Oleh Nanien Yuniar

antaranews

 


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar