Opini

Sejarah Dansa Tango PKI-Militer dan Arah Rekonsiliasi

Tahun 1960 ayunan pendulum bergerak ke arah kiri dan PKI menggunakan agenda land reform untuk kepentingannya. Sukarno mengeluarkan UU Pokok Agraria (UUPA), UU Pokok Bagi Hasil (UUPBH) dan menghentikan berlakunya darurat perang.
Berhentinya darurat perang dan perubahan agenda Sukarno, menjadi ancaman para pengelola aset Belanda yang baru. Pada tahun 1961, di Kediri terjadi konflik antara petani-petani simpatisan PKI dengan pihak militer pengelola perkebunan gula (Sujatmiko 1992, 162). Ini menunjukkan bagaimana dimensi agraria merupakan faktor penting dan seringkali dilupakan dalam membicarakan Dansa Tango PKI dengan Militer.

 

Arah Rekonsiliasi

Narasi Dansa Tango di antara PKI dan Militer ini kedepannya dapat menentukan arah cerita rekonsiliasi yang berbeda. Argumen Sujatmiko mengenai hasrat PKI berdansa dalam revolusi sejak tahun 1926 tidaklah tepat. Pembacaan lebih seksama terhadap PKI dan lawan-lawan dansanya pada masa kolonial (1926), pembentukan negara (1948) dan konflik agraria (1957-1965) memberikan makna berbeda. Untuk itu rekonsiliasi sangat bergantung pada tiga pemaknaan baru.

Pertama, rekonsiliasi akan sangat bergantung pada pasang-surut hubungan sipil-militer. Dua peristiwa penting, seperti simposium tandingan dan reaksi terhadap keputusan di Den Hag, menjadi cermin bagi kita untuk dapat menakar tingkat kesulitan dan tantangan terhadap proses rekonsiliasi, setidaknya 4 tahun mendatang.

Kedua, arah rekonsiliasi sebaiknya tidak hanya melibatkan mereka yang pernah ambil bagian dalam kontestasi dan para korban tetapi rekonsiliasi kebangkitan bangsa. Penderitaan ini adalah penderitaan bangsa secara menyeluruh karena adanya kesadaran akan dampak kepentingan ekonomi-politik dunia yang lebih luas pada konflik yang pernah terjadi. Akibat dari ini Indonesia mengalami perang saudara. Baik pihak yang menang dan kalah di antara sesama saudara, bangsa kita yang menjadi Abu! Kedaulatan bangsa dan sumberdaya milik rakyat Indonesia seharusnya menjadi dasar rekonsiliasi di masa depan.

Ketiga, rekonsiliasi dengan demikian menjadi bukan perkara masa lalu dan milik manusia Indonesia yang terjebak hidup dengan mentalitas jaman ideologi. Perkara rekonsiliasi adalah perkara menentukan masa depan hidup bermasyarakat dengan menerima masa lalu dan mencegah kekerasan di masa mendatang.

Perkara rekonsiliasi adalah perkara kesadaran generasi muda berikutnya untuk tidak hanya mendengar satu narasi dari pemenang konflik. Perkara rekonsiliasi adalah perkara kemanusiaan yang adil dan beradab.

Adab kita memperlakukan mereka yang terkalahkan ke posisi bermartabat di mata kemanusiaan. Hakikat keadilanlah yang menjadi kunci rekonsiliasi bukan hukuman, stigma, dan tindak kekerasan. Keadilan sejak dalam hati, pikiran dan tindakan dimulai dengan lapang menerima sejarah Dansa Tanggo ini!**/Fathun Karib/Staf pengajar Sosiologi Fisip UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta

Sumber: Indoprogress.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar