Opini

Jadi Sarjana Bukan Tujuan Utama, Selamat Datang Mahasiswa Baru

Tentu kau bisa anggap itu contoh yang klasik dan kuno. Soekarno kini sudah mangkat, begitu pula kawan-kawanya. Tapi setidaknya kamu bisa menyaksikan bagaimana ‘efek’ pemikiran mereka hingga kini. Kedaulatan, kemandirian dan kehormatan sebagai bangsa ditanam oleh tangan-tangan mereka. Saat itu bangsa ini jadi ‘terdepan’ di antara bangsa-bangsa Asia: inisiatif untuk membuat blok Asia Afrika, dorongan untuk menghidupkan solidaritas pada negara yang dijajah dan, yang lebih penting, kemandirian untuk membangun ekonomi. Ide itu sampai kini hanya jadi sebuah petuah tiap kali bangsa ini dihadapkan oleh masalah. Tak banyak keberanian untuk membuat ide itu hidup, tumbuh dan dipraktikkan. Para penguasa berikutnya sibuk mempertahankan jabatan dan berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Salah satunya yang paling tragis adalah kejadian di tahun 65: jutaan orang dibunuh, dibuang dan dipenjarakan. Itulah masa terburuk dari bangsa ini karena akal sehat dan nilai kemanusiaan diremukkan dengan cara brutal. Sejak saat itu, sesungguhnya, kita memasuki era gelap dimana kebenaran, kepedulian dan kecintaan pada nilai-nilai kemanusiaan telah rontok.

Kini kamu memasuki massa seperti yang pernah dialami oleh Soekarno, Hatta atau Tan Malaka. Masa dimana kedaulatan bangsa dianiaya dan kehidupan rakyat masih banyak yang sengsara. Tak banyak anak muda yang mampu kuliah sepertimu. Lebih tak banyak lagi anak muda yang bisa bekerja mapan seperti yang kau inginkan. Tak pernahkah kamu melihat petani yang sawahnya dilipat untuk jadi pabrik dan perumahan? Tak pernahkah kamu dengar orang miskin kampungnya digusur untuk pembangunan? Tidakkah kamu melihat banyak politisi bejat merasa berkuasa dengan buat aturan seenak perutnya sendiri? Hingga kamu mungkin capek menyaksikan para pejabat hukum malah jual beli perkara. Kemudian kekayaan pejabat melambung sampai tak terhingga. Ini masa seperti zaman kolonial dulu: dimana manusia memeras manusia lain. Saat mana manusia menipu sesama. Ketika manusia berani menganiaya dengan kejam. Inilah zaman bergerak yang membuka pintu kesempatan kamu untuk membuat sejarah.

Kini tataplah wajah para pendiri republik ini. Tak ada kemewahan yang tampak di wajahnya. Air muka mereka menyiratkan harapan dan kehendak. Harapan bahwa negeri ini bisa dibangun dengan cara mandiri dan kehendak untuk membuat bangsa ini bisa punya pengaruh. Keyakinan itu kini rontok karena bangsa ini terlanjur terbelit dalam hutang dan sulit untuk menampik kehendak bangsa lain. Seperti kita ditampar melihat bangsa ini bingung untuk membuat rakyatnya sejahtera: diganti menteri, diganti kebijakan, hingga diganti kurikulum. Kita kehabisan akal karena kita tak punya gagasan, ide dan keberanian untuk mengambil jalan baru. Saatnya kalian sebagai mahasiswa memutus rantai kegelapan ini. Tak hanya dengan belajar tapi bergaul serta berpetualang melihat kehidupan rakyat miskin yang sebenarnya. Biarkan amarah kalian berkobar melihat ketidak-adilan dan jangan takut jika kalian memang punya keinginan untuk membela mereka. Mungkin tak ada dukungan atau mungkin kalian dijatuhi hukuman. Tapi sejarah mencatat bahwa itu adalah ongkos terindah dari sebuah posisi perjuangan.

Kini langit kampus itu akan jadi saksi pertumbuhan keyakinanmu. Jejak jejak muda seperti apa yang hendak kamu toreh. Tiap jejak itu akan jadi butiran keyakinan yang kelak akan diam-diam membentukmu. Jika sikap berani yang kamu tanam niscaya kamu akan berkembang tanpa rasa takut. Kalau sikap empati yang kamu semai kelak kamu akan jadi manusia yang peka dan mudah tersentuh. Oleh penderitaan, terhadap ketidak-adilan dan atas semua bentuk kebohongan. Maka jadilah mahasiswa yang tak hanya berharap meraih gelar sarjana. Juga jadilah mahasiswa yang tak berambisi menggapai nilai tinggi saja. Ingat-ingatlah bahwa tiap anak muda bisa menoreh sejarah berharga untuk diwariskan pada generasi berikutnya: Tan Malaka memberi ilham tentang Kemerdekaan 100% tanpa kompromi, Soekarno meneguhkan hutang budi bangsa pada kaum marhaen serta Semaoen meneguhkan hikayat kaum terpelajar yang menolak berhamba pada kaum feodal. Mereka diilhami bukan oleh buku kuliah, tapi petualangan dan perjumpaan dengan masalah. Maka tak heran mereka dengan akrab ide-ide progresif yang dimuat dalam karya-karya kiri.

Sekali lagi jangan mau ditipu oleh propaganda. Yang bilang kiri itu atheis. Yang mengatakan kiri itu bahaya. Jika jadi mahasiswa selalu harus waspada, maka apa bedanya kamu dengan para serdadu? Dimana sloganya selalu pakai istilah harga mati dan ucapanya dibumbui oleh bahaya. Maka sejak jadi mahasiswa buanglah kebiasaan tak terdidik itu. Yang selalu mudah percaya oleh ancaman dan gampang meyakini sesuatu yang tanpa bukti. Tantanglah semua yang kamu anggap tidak ada dasar sejarah dan akal. Beranikan dirimu untuk menerobos tabir-tabir ketakutan yang diwariskan oleh penguasa masa lampau. Meski waktumu tak panjang berusahalah untuk mendobrak tatanan buntu ini. Sebab jika kamu mampu meruntuhkan tembok itu, sedikit saja, maka sesungguhnya kamu sudah memberi jalan bagi petualang berikutnya. Mahasiswa baru yang terus terlibat menyudahi tatanan yang usang.

Selamat datang para petualang yang hidup tidak untuk ‘gelar’ tapi ‘petualangan dan perlawanan’. Selamat datang mahasiswa baru.

Penulis Eko Prasetyo
Sumber Indoprogress.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar