Daerah

Bung Karno Bukan Diktator!

[caption id="attachment_3564" align="alignleft" width="300"]Bung Karno Bung Karno[/caption] gagasanriau.com Jakarta-Selama ini, banyak orang secara sembrono mencap Bung Karno sebagai diktator. Salah satu dalihnya adalah  gelar ‘Presiden Seumur Hidup’ yang disandang oleh Bung Karno. Dengan gelar itu, bagi sebagian orang, Bung Karno sudah bertindak tak ubahnya raja-raja di jama feodal. Namun, sebelum ikut-ikutan menghakimi Bung Karno sebagai diktator, ada baiknya kita menelusuri dua hal ini. Pertama, latar belakang lahirnya gelar Presiden Seumur Hidup itu; siapa pengusulnya, apa motifnya, dan apa respon Bung Karno. Kedua, seperti apa konteks situasi politik saat itu sehingga Bung Karno menerima gelar itu. Untuk menjawab yang pertama, saya kira penjelasan AM Hanafie, salah seorang tokoh angkatan 45 (mantan aktivis Menteng 31), dalam bukunya, AM Hanafi Menggugat; Kudeta Jend. Suharto Dari Gestapu Ke Supersemar, sangat membantu. Dalam buku yang terbit tahun 1998 lalu itu nyempil catatan Hanafie mengenai proposal Presiden Seumur Hidup itu. Menurut AM Hanafi, ide untuk menjadikan Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup berasal dari tokoh-tokoh Angkatan 45, terutama AM Hanafi sendiri dan Chaerul Saleh (Ketua MPRS saat itu). Usul itu kemudian dilempar di Sidang Umum ke-II MPRS di Bandung, Jawa Barat, tahun 1963. Namun, supaya ide ini bisa diterima luas, maka dicarilah anggota MPRS dari latar-belakang TNI untuk menjadi juru-bicara. “Kita suruh Kolonel Djuhartono mencari anggota MPRS dari TNI untuk menjadi juru-bicara ide kita itu,” tutur AM Hanafie. Akhirnya, ditemukanlah sosok Kolonel Suhardiman, seorang tentara anti-komunis, untuk menjadi juru-bicara ide tersebut. DI buku itu juga AM Hanafi menyingkap motif di balik ide itu, yaitu mengantisipasi pihak-pihak mana saja yang berambisi merebut kekuasaan Presiden, baik dari PKI maupun TNI. Suhardiman sendiri sangat menyambut ide tersebut. Ia sendiri dikenal sangat anti-PKI. Saat itu, PKI sedang di puncak kejayaan. Banyak pihak yang memprediksikan, bila Pemilihan Umum diselenggarakan sesuai jadwal, yakni tahun 1963, maka PKI pasti akan tampil sebagai pemenang. Apalagi, dalam Pemilu Dewan Daerah tahun 1957, PKI menang besar. Perkembangan PKI yang sudah di atas angin ini sangat menakutkan musuh-musuhnya. Termasuk sayap kanan di tubuh TNI. Tetapi pihak angkatan 45 juga ketakutan. Bagi mereka, bila PKI memenangkan pemilu, bisa jadi meletus “perang saudara”. “Kalau PKI menang, bisa terjadi perang saudara lebih hebat dari Peristiwa PRRI/Permesta,” demikian kekhawatiran AM Hanafie seperti ditulis di dalam bukunya itu. Alhasil, ide angkatan 45 itu pun disetujui MPRS. Lahirlah Tap MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Setelah ditetapkan, Chaerul Saleh kemudian menjadi utusan MPRS untuk menyampaikan keputusan tersebut kepada Bung Karno. Tetapi apa respon Bung Karno? Beliau menolak. “Tetapi Bung Karno sebagai demokrat kan menolak untuk dijadikan Presiden Seumur Hidup,” ujar AM Hanafi. Alhasil, Chaerul Saleh pun berulangkali berusaha meyakinkan Bung Karno. Penjelasan AM Hanafi di atas tidak berbeda dengan penuturan Bung Karno di dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Di situ Bung Karno menuturkan, ide itu disampaikan oleh Chaerul Saleh kepadanya. Untuk membujuk Bung Karno, Chaerul Saleh mengklaim ide Presiden Seumur Hidup itu berasal dari bawah (rakyat). Mendengar bujukan itu, Bung Karno mengaku mata-batinnya terbujuk tetapi khawatir hal itu terlalu berlebih-lebihan. Namun, bujukan Chaerul Saleh tidak berhenti. Dia bilang, “sebanyak 99% rakyat Indonesia tidak menghendaki Presiden lain selain Bung Karno.” Selain itu, katanya, kalaupun diadakan pemilu, Bung Karno pasti terpilih terus. “Jadi apa bedanya,” kata Chaerul Saleh. Bung Karno menjawab, “menerima pengangkatan berdasarkan kenyataan dan menerimanya menurut ketentuan UU ada perbedaannya. Nampaknya sangat susah bagi rakyat untuk menelan suatu ketentuan UU yang keras dan tak dapat diubah. Bagi saya pun sukar. Saya tidak akan membayangkan, bagaimana pendapat dunia luar mengenai hal ini. Mungkin mereka akan menuduh saya tidak demokratis.” Tetapi Chaerul Saleh pantang menyerah. Ia berdalih, ide menunjuk Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup sebagai keharusan politik untuk menghindari perang saudara atau perpecahan yang lebih tajam antar berbagai kekuatan politik di dalam negeri. Akhirnya, setelah terus dibujuk oleh Chaerul Saleh, termasuk dalih perpecahan bangsa akibat persaingan sayap kanan/TNI versus PKI, maka Bung Karno menerima gelar itu. “Saya kira ini bukan tindakan yang benar,” kata Bung Karno sebelum menerima usul tersebut. Jadi di sini kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Satu, ide tersebut bukan keinginan Bung Karno, melainkan usul “Angkatan 45” plus sayap kanan yang ketakutan dengan perkembangan politik PKI. Dua, ketika disampaikan ke Bung Karno, tahun 1963, itu bukan lagi sebagai sebuah ide atau usulan, melainkan Ketetapan MPRS. Tiga, sikap Bung Karno terhadap usulan itu pada awalnya adalah MENOLAK. Sekarang, kita mencoba menjawab yang kedua, yakni situasi atau keadaan politik tersebut. Saya kira, sedikit penjelasan AM Hanafi di atas memang ada benarnya. Setelah revolusi fisik usai, perjuangan dari berbagai kekuatan politik, termasuk kepentingan klas-klas yang diwakilinya, bermuara pada dua kekuatan besar: sayap kanan (Masyumi, PSI, Militer) dan sayap kiri (PKI dan PNI-kiri). Dalam perkembangannya, pasca pemberontakan PRRI-Permesta, kelompok kanan makin bertumpu ke militer , sementara sayap kiri makin bertumpu ke PKI. Dalam perkembangannya, persaingan politik itu makin dimenangi oleh kaum kiri, yakni PKI dan PNI-kiri, baik dalam gagasan maupun kekuatan mobilisasi massa-nya. Prospek kemenangan PKI melalui pemilu memang sangat besar. Jadi, anggapan AM Hanafie dan Chaerul Saleh, bahwa bila pemilu diselenggarakan sesuai jadwal maka PKI akan menang, memang benar adanya. Karena itu, bagi saya, ide kelompok angkatan 45–yang kemudian disokong Tentara–untuk menjadikan Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup hanyalah untuk menunda kemenangan kelompok kiri. Sebab, dengan menempatkan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup, maka tentu tidak ada pemilu. Dengan demikian, prospek kemenangan kelompok kiri secara legal-formal pun tertunda. Jadi, alih-alih Bung Karno menjadi diktator karena predikat Presiden Seumur Hidup itu, kelompok sayap kanan justru menggunakannya sebagai parit pertahanan untuk mencegah kemenangan kaum kiri melalui jalur parlementer. Ironisnya, sekarang ini kebanyakan mereka yang mencap Bung Karno sebagai diktator karena dalih Presiden Seumur Hidup itu justru berasal dari kalangan intelektual kanan. Saya sendiri berpendapat, Bung Karno tidak punya basis material untuk menjadi diktator. Pertama, seperti dikatakan peneliti Australia, Bruce Grant, Bung Karno tidak ditopang atau memiliki partai politik dominan. PNI di tahun 1960-an tidak benar-benar di bawah kendali Bung Karno. Buktinya, ketika Bung Karno digulingkan oleh Soeharto/militer, sebagian PNI justru menyeberang ke kubu lawan. Kedua, Bung Karno tidak punya kendali terhadap aparatus kekerasan, yakni Kepolisian, Militer/TNI, dan Pengadilan. Bung Karno hanya dekat dengan sejumlah perwira, seperti di AURI dan ALRI. Tetapi tidak mengontrol Angkatan Perang secara keseluruhan. Malahan, dalam banyak kasus, seperti peristiwa 17 Oktober 1952, Angkatan Darat di bawah Komando AH Nasution melancarkan semi-kudeta terhadap Bung Karno. Ketiga, Bung Karno mendapat dukungan sangat kuat dan dicintai oleh rakyatnya. Saya kira, tidak ada alasan untuk menyebut pemimpin yang begitu dicintai oleh rakyatnya sebagai seorang diktator. Sebaliknya, Soeharto memilih jalan “kudeta merangkak” karena yakin bahwa ia tidak bisa begitu saja memisahkan Bung Karno dengan rakyat. Kusno, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber Artikel:berdikarionline.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar