Daerah

Kondom Bisa Mengembangkan Bakteri Baik Vagina

[caption id="attachment_3584" align="alignleft" width="300"]lustrasi kondom. Eddystone.org.uk lustrasi kondom. Eddystone.org.uk[/caption] gagasanriau.com, Beijing - Kondom selama ini dikenal hanya digunakan untuk mencegah kehamilan dan penularan penyakit. Namun sejumlah peneliti di Beijing menemukan manfaat baru dari pengaman karet ini. Seperti dilansir situs LiveScience, Kamis, 25 Juli 2013, para peneliti di Beijing Friendship Hospital menemukan bahwa penggunaan kondom dalam hubungan seks bisa mengembangkan bakteri baik dalam vagina. Dalam temuan itu terkuak, wanita yang aktif secara seksual dan menggunakan kondom memiliki koloni bakteri baik yang lebih banyak dari pada wanita yang menggunakan jenis kontrasepsi lain. Penelitian di rumah sakit itu merekrut 164 wanita Cina sehat dan sudah menikah. Mereka berusia antara 18-45 tahun dan tidak menggunakan alat kontrasepsi hormonal seperti pil KB. Di antara peserta, 72 orang menggunakan kondom, 57 yang menggunakan alat kontrasepsi IUD, dan 35 orang menggunakan sistem kalender. Pada kelompok pengguna kondom, peneliti menemukan kadar bakteri lactobacillus lebih banyak. Para peneliti itu menemukan peran bakteri lactobacillus yang mendominasi flora alami dalam vagina. Bakteri ini memproduksi asam laktat dan hidrogen peroksida. Dua zat itu bisa mempertahankan tingkat keasaman (pH) di angka rata-rata 4.5. Tingkat keasaman yang sebanding dengan keasaman bir ini diperkirakan memblokir bakteri berbahaya yang bisa menyebabkan infeksi. Hubungan seksual dapat mengganggu keseimbangan ekosistem vagina, terutama ketika air mani yang memiliki pH 7.0-8.0 tercampur dalam vagina. Dengan kondom, yang fungsinya mencegah percampuran air mani ini, maka tingkat keasaman dalam vagina terjaga. Kehadiran bakteri lactobacillus ini juga mencegah bakteri vaginosis, yakni kondisi bakteri yang tak seimbang, sehingga menyebabkan gatal dan bau tak sedap. Bakteri lactobacillus juga dikaitkan bisa menurunkan risiko tertular human immunodeficiency virus alias HIV. Temuan ini telah dipublikasikan dalam jurnal PLOS One, pekan ini. NUR ROCHMI tempo.co


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar