Kesehatan

Kebijakan BPJS Terbaru Menyengsarakan Rakyat

Itu berarti, lanjutnya, niat Pemerintah dalam memenuhi aspek Hak Azazi Manusia (HAM) dibidang kesehatan tercapai. Akan tetapi Pemerintah tidak bisa lepas lalu menyerahkan begitu saja kepada penjalan regulasi. Menurut Dedi, harus ada intervensi serta evaluasi berkala oleh Pemerintah dalam perjalanan BPJS.

Sedangkan dari sisi negatifnya, saat ini ada beberapa regulasi yang menurutnya harus di evaluasi oleh Pemerintah. Seperti aturan super ketat yang dicanangkan BPJS, aturan tarif sesuai  INA CBGs (goruping. Red) hingga sosialisasi dan database yang belum memadai.

"Saya tanya, bapak tau 1 virtual account? Gak? Apalagi warga Riau yang di pulau-pulau itu pak. Itu sederhananya,"ucapnya. Menurut Dedi, BPJS bisa memperketat aturan jika sosialisasi kepada masyarakat dapat menyeluruh. Ada dua bentuk penunggak iuran sepanjang yang ia ketahui. Pertama, menunggak karena memang tidak mampu. Kedua menunggak karena memang cuai dengan fasilitas yang telah diberikan Negara.

Jika peserta menunggak karena memang tidak mampu, lanjut Dedi, itu berarti Database yang dimiliki BPJS patut dipertanyakan. Kedua penunggak yang cuai. Karena memang sifat manusia berbeda-beda. Akan tetapi hal tersebut kembali lagi dengan sosialisasi secara menyeluruh oleh BPJS.

"Apapun itu, kalau itu (masalah) masih muncul, BPJS gagal dalam mensosialisasikan. Karena Seharusnya ini ga muncul, Manfaatnya jelas. Kenapa masyarakat tidak mau?"tukasnya.

Disisi lain Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Riau Dr Zul Asdi SpB Mkes mengatakan niat mulia Pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan yang baik patut di apresiasi dan di dukung. Akan tetapi pada pelaksanaannya ia justru melihat program BPJS sama sekali tidak berjalan maksimal.

Menurutnya, ada beberapa aturan yang seharusnya disesuaikan dan ditegaskan. Seperti aturan mengenai  INA CBGs. Dimana pengelompokan jenis obat yang di patok kedalam inasibijis merugikan beberapa pihak. Yakni tenaga medis dan pasien itu sendiri.

"Sekarang gini. Dalam ilmu kedokteran yang pernah di pelajari seorang dokter untuk sebuah operasi penyakit A, misalnya, diperlukan step 1 sampai dengan 10. Nah tidak sedikit ditemukan, ketika seorang dokter harus melewati step-step tersebut secara optimal bertentangan dengan yang akan dibayarkan oleh BPJS,"tuturnya.

Sehingga, lanjut Dr Zul tidak sedikit dokter yang merugi. Karena klaim BPJS hanya dipatok sekian. Bahkan, ada kejadian di sebuah Rumah Sakit swasta total penanganan seorang pasien BPJS Rp 200 juta. Sedangkan yang dibayarkan BPJS hanya Rp 40 juta.

Selain itu ia juga sempat menyoroti sistem rujukan berjenjang yang diterapkan BPJS. Menurut Permenkes No.1/2012 sistem rujukan peserta JKN tergantung dengan kebutuhan pasien. Dijelaskan Dr Zul, dalam aturan yang ada seharusnya pasien di rujuk sesuai dengan kemampuan dokter serta fasilitas yang dimiliki Rumah Sakit.


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar