Lingkungan

PT RRL Meresahkan Masyarakat Desa Bantan Bengkalis

Tarmizi warga Desa Bantan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Masyarakat di Kecamatan Bantan Desa Bantan Kabupaten Bengkalis setelah mengetahui bahwa desa dan kebun mereka masuk dalam konsesi PT Rimba Rokan Lestari (terafiliasi dengan APRIL Grup) resah.

Bagaimana tidak, saat mengetahui kebun, tanah, rumah dan pemukiman mereka masuk dalam konsesi PT RRL sejak 2015.

"Mereka tahu dari Kepala Dinas Kehutanan Bengkalis saat mengundang warga untuk sosialisasi kehadiran PT RRL. Sontak warga marah dan terkejut. Setelah mereka cek, ternyata izin PT RLL sudah ada sejak 1998. SK Menhut No 262/KPTS-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Pemberian HPH HTI seluas 14.875 ha kepada PT Rimba Rokan Lestari (RRL). Namun baru beroperasi tahun 2015" tulis Made Ali dalam tulisan blog pribadinya.

Dituliskan Made yang juga aktifis lingkungan, juga Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), bahwa pada Akhir Januari 2017, ia bertemu puluhan warga di rumah Pak Muis di Desa Bantan Sari, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis.

Baca Juga Jika RTRW Di Perda-kan Untungkan Perusahaan PT RAPP Dan Arara Abadi

"Mereka bercerita sejauh ini PT Rimba Rokan Lestari (terafiliasi dengan APRIL Grup) bikin warga resah paska lima ribu warga aksi ke Dinas Kehutanan Bengkalis menolak kehadiran PT RRL di Bengkalis" tulis Made.

“Kehadiran PT RRL mempengaruhi psikologi masyarakat, kami menjadi tidak tenang saat berkebun, karena kebunlah satu-satunya sumber penghidupan kami,” kata Tarmizi, 45 tahun warga Desa Bantan Timur yang lahir dan besar di Desanya.

Disebutkan Made, sekira lima ribu warga dari 19 Desa di Kecamatan Bantan dan Kecamatan Bengkalis menolak kehadiran PT RRL karena ruang hidup masyarakat berupa pemukiman, rumah, perkebunan kelapa, karet, pinang, sagu dan sawit yang menjadi mata pencaharian mereka masuk dalam konsesi PT RRL. Total 11 ribu areal masyarakat masuk dalam konsesi PT RRL di Bengkalis.



Untuk itu kata Made, baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus membatalkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang saat ini masih dibahas.

"Bila DPRD Provinsi Riau hari ini menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2016-2035 menjadi Perda, masyarakat hukum adat dan masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh korporasi APP dan APRIL" kata Made.

Korporasi tulis Made lagi, dapat dengan mudah melaporkan masyarakat adat dan tempatan yang mengambil kayu hutan dan berkebun di dalam areal korporasi HTI dengan tuduhan melakukan tindak pidana kehutanan dan tindak pidana penataan ruang. Meski masyarakat adat dan tempatan sudah ada di dalam konsesi korporasi HTI jauh sebelum Indonesia merdeka.

Dikatakan Made, korporasi kerap melaporkan masyarakat kepada polisi dan penyidik PPNS dengan tuduhan merambah dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah (tindak pidana kehutanan).

"Kasus Suluk Bongkal melawan PT Arara Abadi di Bengkalis salah satu contoh. Contoh lainnya, kasus Pulau Padang, meski pidananya pembunuhan, tetap saja kriminalisasi Ridwan dan Yannas karena kehadiran PT RAPP di Pulau Padang. Yang saya heran, Polisi dan PPNS secepat kilat bergerak dan memenjarakan warga ketika korporasi HTI melaporkan tindak pidana kehutanan. Mengapa?" katanya.

Ditegaskan Made, hadirnya korporasi di atas hutan tanah milik masyarakat yang telah hidup jauh sebelum Indonesia Merdeka, dengan mudah dan gampang diberikan oleh rezim setelah UU Kehutanan ditetapkan DPR RI bersama pemerintah. Sejak itu, secara administrasi korporasi diberi izin berupa SK dari Menteri Kehutanan. Begitu dapat izin administrasi dari pemerintah, korporasi dengan mudah menebang hutan alam dan mengusir masyarakat dari arealnya.

"Jika Gubernur Riau dan DPRD Riau masih berpihak pada masyarakat adat dan tempatan yang bergantung pada hutan tanah, sederhana saja" saran Made.

Pemerintah daerah yakni Gubernur Riau kata Made, untuk menolak persetujuan Ranperda RTRWP 2016-2035. Lalu, undang masyarakat adat dan tempatan yang berkonflik dengan korporasi HTI.

Lalu tulis Made pemerintah mencatat, mendengarkan derita keluhan masyarakat, dan mengambil kebijakan dan keputusan penetapan kawasan hutan berdasarkan putusan MK No 45/PUU-IX/2011. "Sebab, seluruh areal korporasi HTI belum ditetapkan, masih penunjukkan. Setelah penunjukkan lakukan penataan batas, pemetaan kawasan dan terakhir penetapan. Dan tentu saja masyarakat adat dan tempatan harus dilibatkan dalam semua proses penetapan kawasan hutan" ujarnya.

PT RRL kata Made, mengklaim telah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan sejak 1998. Sontak masyarakat menjadi panik dengan adanya berita tersebut, karena perkebunan, jalan, bahkan sebagian pemukiman masuk dalam klaim PT RRL. Selain itu yang membuat masyarakat heran, izin yang diberikan sejak 1998, tapi baru diketahui pada 2015.

Dikatakan Made, aksi penolakan terhadap PT RRL ini sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Bantan. Adanya gerakan sosial terus masyarakat perjuangkan.

Pada September 2016, Pansus DPRD Bengkalis satu diantaranya merekomendasikan kepada Bupati Bengkalis mengeluarkan kebijakan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau ulang SK Menhut No 262/KPTS-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Pemberian HPH HTI seluas 14.875 ha kepada PT Rimba Rokan Lestari (RRL).

Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar