Opini

HUT RI ke-72, Ketum Badko HMI Riau Kepri, Sudirman: Sudahkah Kita Merdeka.?

Ketum Badko HMI Riau Kepri, Sudirman
GAGASANRIAU.COM - Ucapan merdeka dengan lantang kita suarakan dan sangat menggetarkan hati saat perayaan HUT RI ke-72. Namun apakah dengan kondisi seperti saat ini kita masih bisa mengucapkan kata "Merdeka" dengan penuh semangat?, Coba kita amati dan merenungkan kembalijasa para pahlawan yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada waktu lalu. 
 
Kalau kita mengamati dengan cermat, kondisi kita saat ini seakan-akan kembali pada masa penjajahan. Memang tidak dijajah secara fisik dengan peperangan, tapi kita dijajah dengan perang pemikiran. Secara halus dan membuat kita tidak menyadari sejatinya saat ini kita belum merdeka sepenuhnya.
 
Berikut tulisan Ketum Badko HMI Riau Kepri, Sudirman membuka sedikit berpikir kita, apakah rakyat Indonesia sudah benar-benar merdeka.?
 
Dikatakannya memang hari ini genap 72 Tahun paska kemerdekaan NEGARA Republik Indonesia dideklarasikannya Oleh Dwi Tunggal yakninya Sukarno-Hatta. akan tetapi kondisi hari ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang harus muncul di benak kita bila melihat disatu sisi ketika Bank Indonesia melansir data yang terbaru mengenai utang luar negri Indonesia sejumlah Rp4.274 Trilyun, meski dalam perjalanannya BI tetap memantau perkembangan ini bagaimana pinjaman luar negri benar benar dapat menopang pembangunan. 
 
Kebijakan Pemerintah dalam mencabut Subsidi BBM, reaksi berbagai kalangan pun bermunculan, hal ini diakibatkan beban yang ditanggung oleh rakyat bukan hanya beban ekonomi, namun juga tanggungan sosial dan psikologis. 
 
Ditambah dengan kejadian belakangan yang terus menunjukkan seolah-olah Pancasila dijadikan tameng kekuasaan untuk memberangus pihak-pihak yang dianggap kontra dengan pemerintah, kondisi Indonesia justru menunjukkan tren kekurang percayaan masyarakat terhadap aparat hukum dengan tidak diselesaikannya kasus-kasus yang melibatkan pihak yang sedang menjabat, terakhir seruan dan ancaman bunuh dari Viktor, politisi salah satu partai politik, yang menyerukan ancaman tindak kekerasan, bahkan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang hingga kini tidak tertangkap juga siapa actor Intelektualnya. 
 
Drama dinamika politik di Indonesia kembali harus diuji ketika pernyataan Basuki Tjahya Purnama ditahun sebelumnya yang mengakibatkan gelombang protes di berbagai Daerah yang berakhir dengan ditetapkan Basuki dalam kasus penistaan agama beberapa waktu lalu .
 
Semakin merajalelanya kasus korupsi setiap tahunnya. Tahun 2015 sebagaimana data yang dirili Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan total kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sepanjang 2015 mencapai Rp. 31,077 triliun. Sedangkan jabatan tersangka yang paling banyak selama 2015 adalah pejabat atau pegawai pemda/kementerian, disusul direktur dan komisaris pegawai swasta, kepala dinas, anggota DPR/DPRD serta kepala desa/lurah dan camat. Sementara tahun 2014 lebih kerugian Negara lebih kecil, yakni jumlah kasus 629 kasus, jumlah tersangka 1328 orang dan kerugian negara sebesar Rp. 5,29 triliun.
 
Dengan kerakusan pewaris kemerdekaan, warisan kemerdekaan dan hasil perjuangan para pejuang kita terdahulu di lanjutkan dengan banyak nya skandal korupsi di berbagai belahan negeri ini. Dengan phenomena ini tujuan dan cita cita bangsa ini untuk merdeka tidak tercapai dengan sama sekali. Benarkah kita sudah merdeka?
 
Badan Pusat Statistik ( BPS) yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta orang pada Maret 2017, bertambah sekitar 6.900 orang dibandingkan jumlah September 2016. Bagaiman bisa dikatakan bangsa ini merdeka, sementara tingkat garis kemiskinan semakin tinggi, seyogianya semakin Tua umur bangsa ini, maka semakin sedikit jumlah orang miskin di negeri ini. Benarkah kita sudah merdeka?
 
Beberapa kisah diatas tidak lain tidak bukan merupakan ujian bagi tingkat kedewasaan kembali tokoh, pejabat publik di Negara Indonesia, maka benarlah apa yang dituangkan Gus Mus pada bukunya Membuka Pintu Langit, mengisahkan bagaimana Indonesia merindukan figur yang benar benar dapat menentramkan, tenang, dengan keluasan berpikir, tawaduk dan benar-benar memiliki kualitas, kalau boleh disebut-sebut mendekati figure Sukarno dan Hatta, ataulah figure pemersatu, berilmu pengetahuan sebagaimana Gus Dur dan Cak Nur, yang mana Gus Dur dikenal berpolitik, lebih “nekat”, punya massa akar rumput, dan sempat mencicipi menjadi penguasa meski hanya sebentar, sementara Cak Nur berpenampilan lebih kalem, sederhana, santun, tawaduk. 
 
Wibawanya muncul dari ilmunya yang luas. Dia memang lama diincar, dauber-uber, agar bersedia dicalonkan sebagai presiden, terutama sejak orang kebingungan mencari sosok presiden. 
 
Hal ini berkebalikan dengan apa yang dimunculkan hari ini, tokoh, politisi menampilkan wajah politik Indonesia yang justru memancing kearah disintegrasi bangsa, bahkan cenderung terkesan memonopoli kebenaran tafsir atas Pancasila yang digunakan untuk merekat keberagaman Indonesia dijadikan alat untuk membasmi sesama anak bangsa dengan mengatasnamakan Pancasila. Benarkah kita sudah merdeka?
 
Dari uraian saya diatas, bukanlah dapat ditafsirkan sebagaimana mengurangi nilai-nilai optimisme, apalagi mendengar uraian data stratistik, simpulan-simpulan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang memang sangatlah optimis dan harus memacu semangat bangsa Indonesia untuk berani merebut masa depan di hari ini. Akan tetapi tentulah sikap kritis diperlukan untuk menyatakan seadanya bahwa pada hari ini evaluasi kebijakan untuk publik haruslah benar- benar menyasar kemasyarakat kecil, sebagai contoh kebijakan pencabutan subsidi BBM, tariff dasar listrik yang kembali naik, bahkan terakhir Negara ini dengan beraninya mengambil langkah mengimpor Garam, sebuah kebijakan yang kurang dapat diterima akal sehat, apakah masih kurang optimal pemanfaatan garis pantai Indonesia yang berjejer diantara 17.000 pulau yang disatukan oleh lautan?. Tentulah solusi dari semua ini dikembalikan pada kemampuan pemerintah dalam mewujudkan konsep Good Governance sebagai ide besar yang sangat erat korelasinya dengan kebijakan Publik, hingga keterlibatan publik benar benar dimungkinkan. 
 
Agar pemimpin negeri ini bukan hanya memiliki pengikut yang “terlalu loyal” yang hanya selalu mengiyakan pimpinan tanpa kekritisan. Namun juga masyarakat yang seantiasa mengevalusi kebijakan yang dibuat para pemimpinnnya, hingga kemerdekaan bukan hanya habis dan tak berkesudahan diperingati tiap tahunnya dalam acara-acara seremonial, melainkan apa yang disebut Tan Malaka, Merdeka 100 persen, karena memang Tuan Rumah Tidak akan pernah mau berunding dengan maling.Merdeka!!!
 
Penulis: Ketum Badko HMI Riau Kepri, Sudirman
 


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar