Daerah

Sinisme Pemberantasan Korupsi

[caption id="attachment_3809" align="alignleft" width="300"]gagasanriau.com gagasanriau.com[/caption] gagasanriau.com ,Jakarta -Seiring dengan semakin kuatnya komitmen untuk membangun peradaban berkualitas, setiap elemen yang mampu berkontribusi, berprestasi dalam mendukung kemajuan peradaban, lazimnya diberi penghargaan (reward). Sebaliknya, pihak yang bertindak kontraproduktif dan menghambat proses kemapanan umumnya diganjar dengan hukuman (punishment). Namun formulasi universal ini tampaknya mengalami pembiasan kalau bukan penyimpangan dalam pemberantasan korupsi. Betapa tidak, sebab, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengemban tugas dengan tegas dan prestisius, tidak hanya tak mendapatkan reward, tapi malah mendapat cacian, hujatan, bahkan ancaman penggembosan, pemangkasan wewenang, hingga pembubaran. Jika memang suara sumbang itu tercetus dari para koruptor dan agen mafia hukum, tentu dapat dimengerti. Namun sangat ironis jika sikap sinis seperti itu justru lahir dari sejumlah legislator yang dalam orasi politiknya mengklaim diri sebagai pro-pemberantasan korupsi. Mereka berkonspirasi untuk melemahkan KPK dengan agenda mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu dosa besar KPK, menurut mereka, adalah penekanan penggunaan otoritas di bidang penindakan tak berbanding lurus dengan menurunnya angka korupsi. Dengan skema pengejawantahan fungsi seperti ini, KPK dinilai gagal mewujudkan pemberantasan korupsi, tetapi malah mengobarkan api permusuhan dengan lembaga penyelenggara negara lainnya, lantaran sejumlah fungsionaris lembaga dimaksud terjerat pukat KPK. Tak hanya itu, kewenangan KPK dalam bentuk superbody dianggap kebablasan, terjadi penumpukan kekuasaan yang sangat besar. Di mana hal seperti ini rentan terjadi abuse of power. Karena itu, mereka menuntut agar fungsi pencegahan lebih dioptimalkan ketimbang bidang penindakan. Tuntutan seperti ini penulis nilai diskriminatif dan tendensius, karena bukankah kewenangan DPR sendiri pasca-reformasi jauh lebih dominan daripada eksekutif. Fakta menunjukkan bahwa tingkat penyalahgunaan wewenang dalam bentuk rekayasa legislasi dan budgeting justru terjadi di lingkungan legislatif. Demikian pula dalam bidang penegakan hukum secara umum, juga mengalami hal yang sama. Tengoklah tingkat kejahatan, khususnya narkoba dan terorisme, yang justru semakin meningkat ketika lembaga penegak hukum seperti BNN dan Densus 88 dibentuk. Tapi mengapa hanya KPK yang menjadi sasaran tembak? Padahal, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, masyarakat di semua tingkatan merasakan betapa buruknya kinerja Polri, kejaksaan, maupun pengadilan dalam penegakan hukum. Bahkan sudah menjadi rahasia umum terpotret sejumlah kasus yang ditangani ketiga penegak hukum tersebut sarat dengan intrik permainan, di mana kasus itu berlanjut, diperberat atau sebaliknya, ditentukan oleh kompromi yang berlapiskan transaksi. Jika mereka memang konsisten untuk menegakkan hukum berbalut keadilan dan HAM, maka yang paling layak dipersoalkan adalah penegakan hukum atas terorisme dan narkoba. Selain memperlakukan tersangka, khususnya teroris, sangat tak manusiawi, putusan pengadilan terbukti sangat keras. Tak sedikit yang divonis pidana mati, paling ringan hukuman penjara 4 tahun. Bandingkan dengan pemberantasan korupsi, kita belum pernah mendengar ada koruptor yang divonis mati, apalagi ditembak di tempat seperti tersangka teroris atau narkoba. Jika mangkir dari panggilan KPK, mereka malah dijemput dengan kendaraan yang terbilang mewah untuk menempati sel tahanan KPK dengan fasilitas yang jauh berbeda dengan tahanan terorisme atau narkoba. Celakanya, karena kebijakan luhur KPK seperti itu, malah dianggap tak adil. Mereka mendekonstruksi kewenangan KPK, karena memperlakukan koruptor seperti pencuri. Di sinilah terjadi kerancuan. Sebab, maling ayam saja sering menerima vonis secara berganda, tapi mengapa koruptor yang mencuri uang rakyat dengan skala besar justru mendapat vonis ringan? Paradoksnya, karena KPK tetap dituntut untuk berfokus ke bidang pencegahan dan memperkecil penindakan. Padahal sudah sering terdengar suara ketidakpuasan publik terhadap kinerja sejumlah lembaga negara, seperti Komnas HAM, Kompolnas, KPAI, dan Komnas Perempuan. Lembaga-lembaga ini tak dapat mewujudkan ekspektasi publik secara optimal, karena kewenangan untuk melakukan penanganan kasus cenderung dibatasi hanya pada tingkat prevensi. Komisi Yudisial, yang pernah menjadi primadona bagi hakim “nakal”, kini lesu dan tak bergigi ketika Mahkamah Konstitusi menghilangkan kewenangan represifnya dalam UU Nomor 22 Tahun 2004. Lantas, di mana relasi urgensitas komitmen pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya jika KPK hanya berbekal kewenangan di bidang prevensi? Bukankah tugas seperti itu lebih produktif dan efektif jika diperankan oleh LSM seperti ICW (Indonesia Corruption Watch). Boleh jadi, gagasan penghilangan bidang penindakan demi memperkuat fungsi pencegahan pada KPK memang bertujuan untuk meng-LSM-kan KPK sebagaimana lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan formasi seperti itu, seluruh agenda yang menjadi kepentingan penggagas yang cenderung korup berlangsung mulus, aman tanpa ada yang merecoki. Jika demikian halnya, kita pun patut menuntut reformasi di lingkup legislatif dengan tekanan pada penguatan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah sebagai majelis tinggi dengan wewenang menolak atau menerima undang-undang yang telah disahkan oleh DPR. Dengan struktur otoritas seperti ini, kewenangan DPR yang sangat besar dapat diimbangi. Namun penulis yakin gagasan seperti ini pasti ditolak mayoritas legislator DPR, karena mereduksi kewenangannya. Mereka tak ingin ada lembaga negara seperti KPK menandingi kekuasaan, apalagi jika berani mengkriminalkannya. Karena ingin tetap mempertahankan kekuasaan tanpa predator, tak mengherankan jika kebanyakan legislator bersikap arogan, egois, dan kebablasan. Hal ini tercermin dalam talkshow yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta pada 9 Juli lalu. Sang legislator yang dikenal vokal tampil all out dengan lontaran tuduhan kepada KPK yang bernada sumbang dan sombong. Kita semua tentu merasa geli menyaksikan tipikal legislator yang cenderung temperamen serta hanya memanfaatkan jabatan untuk membela secara membabi-buta koleganya yang tersandung jerat KPK. Anehnya, ia menghantam KPK dengan kutipan ayat suci sebagai pembuka aib, padahal ia sendiri juga melanggar ayat yang sama dengan ikut mencaci-maki KPK. Parahnya lagi, ia menolak KPK sebagai lembaga yang bebas dari intrik, tapi lupa bahwa petinggi partainya tak luput dari sifat manusia yang bisa korup. Apakah legislator yang agamis ini lupa akan hadis nabi tentang ancaman potong tangan bagi Fatimah, jika terbukti mencuri, meski Fatimah putri Nabi. Kita harus menolak segala bentuk pemikiran kerdil dari negarawan gadungan dan mengkhianati reformasi serta ingin memutar arah jarum jam dengan mendelegitimasi KPK demi menutup borok sejumlah petinggi partainya yang terlibat korupsi. * * Saharuddin Daming, Mantan Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia - Artikel ini dimuat juga di Koran Tempo edisi Selasa 23 Juli 2013


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar