Daerah

Krisis Buku Pedoman Sejarah

[caption id="attachment_3812" align="alignleft" width="300"]gagasanriau.com gagasanriau.com[/caption] gagasanriau.com .Jakarta- Kesemrawutan pendidikan sejarah di Indonesia pada era reformasi ini tidak hanya menyangkut gonjang-ganjing kurikulum, tapi juga mengenai buku standar yang tidak tersedia. Sejak 1975, buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dijadikan buku pedoman untuk pengajaran sejarah di sekolah. Jadi, buku-buku teks yang digunakan dalam kelas harus mengacu pada buku “babon” tersebut. Dalam buku yang terdiri atas enam jilid itu (dari zaman purbakala sampai awal pemerintahan Orde Baru), jilid terakhir, yang membahas peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto, paling banyak dikritik. Dimensi politisnya sangat kental, yakni memberi legitimasi kepada rezim Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto dan mereduksi peran Sukarno dalam sejarah Indonesia. Juwono Sudarsono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada awal reformasi, menganggap buku SNI tidak layak lagi dijadikan buku pegangan. Karena itu, perlu disusun buku pengganti. Pada mulanya, proses penulisan tersebut dibiayai dengan anggaran dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan editor umum Taufik Abdullah, A.B. Lapian, dan Anhar Gonggong. Dalam perkembangannya, Anhar Gonggong tidak ikut dalam penyusunan buku tersebut. Buku itu terdiri atas delapan jilid dari masa prasejarah sampai era reformasi. Hampir 100 sejarawan dilibatkan dalam proyek ini dan, setelah berkali-kali mengalami bongkar-pasang tim penulis, selesailah naskah itu pada akhir 2008. Menurut rencana, buku ini akan diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta termasuk program 100 Hari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang dipimpin Jero Wacik pada awal 2009. Namun rencana ini urung terlaksana dan menimbulkan pertanyaan apakah Presiden keberatan terhadap isinya. Usut punya usut, ternyata pihak Istana menginginkan agar dalam naskah itu ditambahkan aspek yang belum diulas, yakni peran SBY dalam reformasi ABRI. Editor buku ini kemudian melengkapi hal tersebut, tapi acara peluncurannya tidak kunjung diadakan. Ketika buku standar sejarah itu belum terbit, pada 2010 Balai Pustaka mencoba menerbitkan kembali Sejarah Nasional Indonesia, yang dianggap sudah tidak layak oleh Menteri, dan memang ditambahkan beberapa bab baru pada beberapa jilid. Namun uraian mengenai kasus 1965 masih dengan versi Orde Baru. Jilid terakhir tetap kontroversial. Massa pengikut Megawati Soekarnoputri dituduh melakukan pembakaran dan perusakan dalam peristiwa 27 Juli 1996, sementara keterlibatan aparat keamanan dalam penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia itu tidak disinggung. Yang lebih parah, dalam buku teks ini ditulis bahwa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. Pernyataan tersebut keliru, karena Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden bukan karena mengundurkan diri. Bila mengundurkan diri, ia harus mengajukan permohonan kepada MPR (dan bisa saja ditolak). Jadi, buku ini belum layak dirujuk. Akhirnya, pada Desember 2012, terbitlah buku Indonesia dalam Arus Sejarah. Entah apa alasannya, hak penerbitan diberikan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata kepada Ichtiar Baru van Hove. Penerbit ini mencetak buku tersebut sebanyak delapan jilid, ditambah satu jilid berisi indeks dan aneka fakta. Harga paket buku tersebut Rp 6 juta. Sebuah penerbit di Yogyakarta mengatakan kepada saya bahwa mereka sanggup menerbitkan buku itu dengan harga 10 persen dari penerbit yang ditunjuk oleh Departemen. Dalam perkembangannya, Direktur Jenderal Kebudayaan berpindah ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya memperoleh informasi bahwa departemen ini membeli buku tersebut untuk didistribusikan ke perpustakaan seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia. Tidak jelas buku itu dibeli dengan harga berapa. Jika dengan tarif Rp 6 juta, jelas itu terlalu mahal. Buku Indonesia dalam Arus Sejarah masih bisa menjadi sumber dan pegangan, terutama jilid-jilid awal. Buku mengenai prasejarah ditulis oleh para pakar yang kompeten. Bagian ini bisa menjadi referensi, misalnya, tentang asal-usul orang Indonesia. Yang tetap menjadi persoalan adalah jilid terakhir (7 dan 8), yang mengandung peristiwa sejarah kontroversial. Terlepas dari kontroversi tersebut, buku ini seyogianya beredar luas di tengah masyarakat dan bisa dibeli di toko buku dengan harga yang wajar. Sebetulnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mencetak sendiri buku tersebut dan mengedarkan ke seluruh Indonesia tidak dengan harga Rp 6 juta. Atau bisa melelang naskah ini kepada penerbit swasta. Yang lebih bagus lagi adalah bila paket buku bisa diunduh secara gratis di Internet, sehingga bisa diakses oleh semua orang. * Asvi Warman Adam, Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sumber tempo.co


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar