Daerah

Swastanisasi dan Pesantrenisasi Penjara

[caption id="attachment_3647" align="alignleft" width="300"]Ilustrasi Penjara Ilustrasi Penjara[/caption] gagasanriau.com ,Jakarta - Kerusuhan di lembaga pemasyarakatan (LP) kembali terjadi. Setelah kerusuhan di LP Kerobokan Denpasar, kali ini kerusuhan besar dan pembakaran LP oleh para narapidana terjadi di LP Kelas I Tanjung Gusta, Medan. Kerusuhan dan pembakaran tersebut diduga dipicu oleh padamnya listrik yang mengakibatkan berhentinya pasokan air. Selain itu, pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dituding sebagai pencetus kerusuhan, karena bersifat diskriminatif. PP Nomor 99 Tahun 2012 memberlakukan persyaratan yang lebih ketat dan diskriminatif dalam pemberian remisi (Pasal 34A) dan pembebasan bersyarat (Pasal 43A) terhadap narapidana tindak pidana terorisme, kejahatan HAM berat, korupsi, dan narkotik. Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM mengakui jumlah narapidana yang mendekam di LP Tanjung Gusta melebihi kapasitas maksimal. “Jumlah itu melebihi kuota sampai 247 persen dari kapasitas maksimal LP yang seharusnya hanya 1.054 orang,” menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana (Metronews, 11/7/2013). Penjara di Indonesia sesungguhnya sudah dalam keadaan darurat. Kondisi yang memprihatinkan dan tidak manusiawi demikian sebenarnya sudah lama diakui oleh para Menteri Hukum dan HAM, dari Patrialis Akbar, Andi Matalatta, sampai Amir Syamsuddin. Patrialis Akbar (Pikiran Rakyat, 10/01/2010) misalnya, ketika itu mengatakan, “Kondisi LP di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hampir seluruh LP di Indonesia mempunyai kondisi serupa”. Di LP Paledang, Bogor, misalnya, terjadi kelebihan kapasitas, yaitu seharusnya berkapasitas maksimum 500 orang, tapi kini dihuni lebih dari 1.300 orang. Apa sesungguhnya penyebab over kapasitas LP di Indonesia? Setidaknya ada tiga penyebab utama. Pertama, semakin tingginya tingkat kejahatan. Tingginya angka kriminalitas berkorelasi positif dengan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Sistem peradilan pidana dan penegakan hukum yang korup dan tidak memiliki efek jera juga berkontribusi terhadap tingginya statistik kejahatan ini. Kedua, masalah tersebut juga disebabkan oleh semakin gencarnya kampanye dan usaha pemerintah untuk memberantas kejahatan-kejahatan tertentu, seperti kejahatan narkotik dan korupsi. Usaha demikian di antaranya diwujudkan dengan penambahan anggaran dan perbaikan efektivitas penindakan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Data Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan, dari 157.684 penghuni LP, hampir 50 persennya merupakan tahanan dan narapidana yang tersangkut kasus narkoba. Di berbagai daerah, penjara pun kini semakin disesaki oleh para koruptor. Akan tetapi, gencarnya pemberantasan kejahatan tersebut tidak dibarengi oleh penambahan anggaran untuk pembangunan LP baru. Dan ketiga, disebabkan adanya kelemahan dalam sistem pemidanaan kita. Kita terlalu mudah menggunakan penjara untuk menghukum para narapidana. Karena itu, perlu dicari alternatif sistem pemidanaan lain selain pemenjaraan. Pemidanaan alternatif tersebut haruslah murah, tapi tetap memenuhi rasa keadilan dan memiliki efek cegah/jera yang kuat. Pemidanaan terhadap kejahatan ekonomi tertentu misalnya, cukup dengan “memiskinkan” atau mendenda terpidana sebesar lima kali lipat dari nilai uang atau kekayaan yang dicuri. Si terpidana juga dapat dihukum dengan mencantumkan namanya dalam daftar hitam “public enemy” dan melarangnya untuk menduduki jabatan tertentu, baik di sektor swasta maupun pemerintahan untuk waktu tertentu. Terhadap pelaku tindak pidana korupsi, perlu dipertimbangkan penerapan sistem pemidanaan dalam hukum Islam. Misalnya, si koruptor pencuri uang rakyat yang merugikan negara di atas Rp 5 miliar atau berdampak luas terhadap perikehidupan rakyat, dipidana dengan dipotong tangannya. Pemidanaan demikian relatif tidak memerlukan biaya/anggaran negara, karena terpidana tidak dipenjara, memiliki efek jera yang kuat, dan memenuhi rasa keadilan. Pesantrenisasi Sistem pemasyarakatan yang baik harus dinilai dari tiga kriteria utama. Pertama, sistem itu haruslah efisien, tidak memboroskan anggaran negara. Kedua, sistem tersebut mesti menimbulkan efek jera, mencegah si mantan narapidana kembali melakukan kejahatan (menekan tingkat residivisme hingga nol persen). Dan ketiga, sistem demikian haruslah mampu menyadarkan narapidana akan kejahatan dan dosanya, mengembalikannya (berintegrasi dan produktif) ke dalam masyarakat, dan (idealnya) menjadikannya “manusia baru” penyebar kebaikan. Sistem pemasyarakatan yang diterapkan di Indonesia sekarang ini dengan segala permasalahannya, seperti kekurangan anggaran, korupsi dan kelebihan kapasitas, justru menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Penjara justru menjadi “sekolah kejahatan” baru. Tingkat residivisme cukup tinggi. Selain itu, pemberian remisi justru telah menjadi “pasar korupsi” bagi oknum pejabat LP dan para narapidana yang memiliki uang seperti narapidana koruptor dan narkoba. Karena itu, swastanisasi dan pesantrenisasi penjara dapat dijadikan kebijakan alternatif untuk mengatasi permasalahan itu. Sebenarnya, swastanisasi atau privatisasi penjara bukanlah hal baru. Amerika, Inggris, dan Israel sudah mempraktekkannya. Dengan swastanisasi, pemerintah mengontrakkan (contracting out) pembangunan, pengelolaan, dan pelayanan penjara kepada pihak swasta dengan menerapkan standardisasi dan pengawasan yang ketat. Kontrak bersifat kompetitif dan berlaku selama lima tahun. Pemerintah dapat memutuskan kontrak atau memberikan punishment bila pengelola swasta tersebut berkinerja buruk. Sebaiknya, swastanisasi penjara ini dilakukan secara selektif melalui pilot project. Pesantrenisasi penjara dilakukan agar mantan narapidana tidak hanya menyadari kesalahan dan dosanya, tapi agar ia juga menjadi “manusia baru” penyebar kebaikan dan kedamaian yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Metode pesantren telah terbukti berhasil “menyembuhkan” para pelaku penyimpangan sosial dan kejahatan. Dengan pesantrenisasi ini, para narapidana diperlakukan sebagaimana layaknya santri dalam pesantren. Namun tindakan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah sekarang ini adalah mencabut PP Nomor 99/2013 dan membangun LP-LP baru. PP Nomor 99/2013 yang diskriminatif, keliru secara teori dan filsafat hukum. Masalah kelebihan kapasitas LP juga merupakan bom waktu bagi kerusuhan-kerusuhan di LP-LP lain di Indonesia. Saya justru mengusulkan agar remisi atau semua bentuk pengurangan pidana yang diberikan oleh eksekutif, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, dihapuskan. Hanya kekuasaan kehakiman, dalam hal ini hakim, yang berwenang memberikan pemberatan dan peringanan hukuman. Selain itu, pemberian remisi yang bersifat diskresional telah menciptakan “pasar korupsi” yang sistemik dan kronis di tubuh lembaga pemasyarakatan. * Roby Arya Brata, Analis Antikorupsi, Anggota Pendiri Kelompok Kajian Korupsi, Asian Association For Public Administration tempo.co


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar