Daerah

Esensi Kemerdekaan Bagi Perempuan

[caption id="attachment_3860" align="alignleft" width="300"]Ulfa Ilyas Penulis adalah, Redaktur Pelaksana Berdikari Online Ulfa Ilyas Penulis adalah, Redaktur Pelaksana Berdikari Online[/caption] gagasanriau.com ,Jakarta-Sebentar lagi bangsa Indonesia memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan ke-68. Namun, ada pertanyaan mendasar yang terus menagih kita tiap tanggal 17 Agustus datang: sudahkah semua bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan? Pertanyaan itu memang terasa agak nakal, tapi wajib dijawab. Bung Hatta sendiri pernah berpesan, “kemerdekaan kita bukan hanya merdekanya sebuah bangsa dari penjajahan, tetapi juga merdekanya setiap individu warga negara dari segala macam penindasan dan penghisapan.” Dengan kata lain, ketika masih ada bagian rakyat Indonesia yang belum terbebas dari eksploitasi, berarti kemerdekaan kita belum sempurna. Masih banyak orang Indonesia, terutama dari kalangan miskin, belum pernah mencicipi rasanya terbebas dari eksploitasi. Mereka masih terus diperbudak oleh kemiskinan, kebodohan, buta-huruf, pengangguran, hukum yang tidak adil, dan lain-lain. Namun, yang paling menyedihkan, bahwa kaum perempuan Indonesia sampai di abad modern ini ternyata belum merdeka. Di sini, soal pengertian merdeka, saya merujuk pada defenisi Prof Driyarkara, bahwa kemerdekaan adalah kekuasaan untuk menentukan diri sendiri untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan kekuasaan di tangannya, seorang manusia merdeka akan mengembangkan diri sebagai manusia utuh. Menurut saya, ada tiga hal yang menunjukkan betapa perempuan Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Pertama, perempuan Indonesia belum merdeka atas tubuhnya sendiri. Buktinya, sampai sekarang ini tubuh perempuan masih menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan. Ini terlihat jelas dengan maraknya kasus pemerkosaan, pelecehan perempuan, kuatnya stereotipe negatif terhadap tubuh perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurut laporan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 1998-2011, terjadi 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia. Sebanyak 4.845 kasus diantaranya adalah pemerkosaan; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual sebanyak 1.359 kasus; pelecehan seksual 1.049 kasus; dan penyiksaan seksual sebanyak 672 kasus. Kekerasan seksual tersebut menandai masih kuatnya anggapan bahwa tubuh perempuan hanyalah alat pemuas bagi superioritas laki-laki. Cara pandang ini berkaitan erat dengan budaya patriarkal. Ironisnya, dengan dalih moralitas, negara turut mengontrol tubuh perempuan melalui sejumlah regulasi. Bahkan, di Aceh, ada regulasi yang melarang perempuan “ngangkang” ketika naik motor. Ditambah lagi, kapitalisme yang menempatkan perempuan lebih sebagai obyek seksual dan objek eksploitasi untuk kepentingan bisnis. Demi mengejar keuntungan, kapitalisme memperdagangkan tubuh perempuan melalui industri pornografi, iklan komersil, industri hiburan (musik, film, sinetron), dan industri mode pakaian. Kedua, perempuan Indonesia belum merdeka untuk memasyarakat atau mengaktualisasikan dirinya sebagai warga bangsa yang setara dengan warga bangsa yang lainnya. Di berbagai lapangan kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya, perempuan masih mengalami perlakuan diskriminatif. Di bidang ekonomi, memang banyak perempuan yang sudah tampil sebagai pengusaha. Namun, seperti diakui oleh International Labour Organization (ILO), bahwa perempuan Indonesia masih sulit berpartisipasi dan sejajar dengan pria dalam pekerjaan. Bahkan, menurut catatan ILO, mayoritas perempuan Indonesia masih bekerja sebagai pekerja rumahan atau pembantu rumah tangga serta pekerja di usaha mikro kecil  dan menengah (UMKM). Di bidang politik, partisipasi perempuan juga masih sangat kecil. Keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen juga masih sangat rendah, yakni 18%. Bandingkan dengan Rwanda (56.3 persen), Andorra (50 persen), dan Kuba (45,2 persen). Di jabatan eksekutif, Tercatat hanya terdapat 1 orang Gubernur dan 1 Wagub dari 33 Gubernur/Kada, serta 38 Bupati/Walikota (7,6%) dari 497 Kabupaten/Kota. Keterwakilan perempuan pada posisi Menteri/Wakil Menteri pun baru mencapai 11% dari 56 jabatan Menteri/Wakil Menteri. Dalam ruang sosial-budaya, langkah perempuan ketika keluar rumah masih sering mendapat cap negatif. Terlebih bila perempuan keluar rumah pada malam hari. Dalam ruang-ruang sosial, seperti pertemuan warga, kehadiran perempuan sangat kecil. Ketiga, perempuan Indonesia belum merdeka untuk mengembangkan kapasitas dirinya sebagai manusia. Tentu saja, supaya bisa mengembangkan diri, manusia perlu memenuhi prasyarat, seperti makanan yang cukup, kesehatan yang baik, pendidikan, dan kemerdekaan untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Masalahnya, karena rintangan struktur ekonomi-politik, perempuan sulit mengakses pendidikan dan kesehatan yang baik. Data Kemendikbud RI menyebutkan, hingga 2010 jumlah perempuan Indonesia yang belum melek huruf mencapai 5 juta lebih. Data lain mengungkapkan, bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit pula partisipasi perempuan: SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen). Hal-hal di atas membuat emansipasi perempuan berjalan lamban. Padahal, emansipasi sebuah bangsa tidak boleh terpisah dengan emansipasi seluruh rakyatnya, termasuk perempuan. Hanya dengan memberikan kesetaraan penuh kepada seluruh warga negara, termasuk kesetaraan gender, bangsa Indonesia bisa mencapai keadilan sosial. *Penulis adalah, Redaktur Pelaksana Berdikari Online Artikel ini sebelumnya dimuat dalam Berdikari Online, Senin, 27 Mei 2013.


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar