Opini

Menelaah Kesuksesan Pilkada Inhil 2018

Yudhia Perdana Sikumbang, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) RAM Indonesia perwakilan Inhil
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana penunjang dalam mewujudkan sistem ketatanegaraan secara demokratis. Pemilu pada hakikatnya merupakan proses ketika rakyat sebagai pemegang kedaulatan memberikan mandat kepada para calon pemimpin untuk menjadi pemimpinnya.
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, seorang pemimpin akan langsung dipilih oleh rakyatnya, sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, Pemilu merupakan ajang pesta demokrasi rakyat untuk menentukan pilhan politiknya.
 
Di tanggal 27 juni 2018 kemarin masyarakat Inhil telah melaksanakan pesta demokrasi melalui Pemilihan Umum Kepala daerah (Pilkada), dimana didalam agenda tersebut masyarakat inhil diberikan hak untuk memilih pemimpin baru untuk kabupaten inhil (bupati dan wakil bupati) yang mana nantinya akan menjalankan roda pemerintahan baru untuk kabupaten Inhil. 
 
Nah dalam hal Mensukseskan Pemilihan Umum Kepala daerah (Pilkada) inhil 2018 ini, yang menjadi tombak dalam pesta ini adalah Rayat, yang mana tanpa suara rakyat yang dituangkan lewat bilik suara tersebut, tentu tidak kan ada pemimpin yang baru, karena pilkada inhil 2018 ini bertujuan untuk mencari sosok pemimpin inhil yang baru, dengan dan melalui partisipasi politik masyarakat inhil.
 
Berbicara partisipasi politik, Partisipasi politik merupakan manisfestasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Di negara-negara demokratis, banyaknya partisipasi menunjukkan suatu yang baik karena dengan demikian banyak warga negara yang memahami dan mengerti tentang politik serta mereka ikut dalam kegiatan tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi politik relatif yang rendah menunjukkan bahwa warga negara banyak yang tidak mengerti tentang politik dan mereka tidak mau terlibat dalam politik.
 
Jika kita lihat presentase Pilkada Inhil 2018 yang saya kumpulkan berdasarkan jumlah DPT inhil 2018 :
Partisipasi Pemilih 60,57% (suara sah/tidaksah) Angka Golput 39,43% (tidak memilih). Jika diambil rata-rata dapat disimpulkan patisipasi pemilih hanya 61% sedangkan angka golput 39% dari jumlah DPT Inhil 2018.
 
Angka ini cukup mengejutkan, dan yang menjadi pertanyaan siapa yang bertanggung jawab akan hal ini? Dan apakah ini bisa menjadi acuan bahwa pilkada di inhil telah sukses dan berjalan dengan lancar, dan bagaimana kinerja KPU dalam hal ini? Padahal dapat kita ketahui bersama Pilkada serentak tanggal 27 juni 2018 yang lalu ditetapkan sebagai hari libur nasional dengan harapan agar dapat mengoptimalkan partisipasi pemilih, faktanya tidak terlalu signifikan justru angka golput cukup tinggi diangka 39% dari jumlah DPT inhil 2018, dan jika tolak ukur suatu pilkada adalah partisipasi masyarakat, penulis berasumsi bahwa pilkada inhil sedikit mengalami kegagalan karena kurangnya partisipasi masyarakat inhil, menyoal ini tentu akan banyak pertanyaan.
 
Apakah rendahnya partisipasi masyarakat untuk memberikan suaranya pada pilkada 2018 karena rendahnya sosialisasi KPU Inhil? Ataukah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap pemerintah sehingga tidak berpartisipasi dalam memberikan suara, apakah masyarakat inhil banyak yang buta politik dalam artian tidak memahami politik itu sendiri? Penulis beranggapan bahwa pertanyaan ini sedang seksi di warung kopi, penulis mengakui tugas berat yang di emban KPU Inhil, PR yang berat ialah bagaimana menciptakan Inovasi untuk menekan angka partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pilkada di inhil.
 
Berdasarkan pemantauan penulis pasca pesta demokrasi tanggal 27 juni 2018 yang lalu rendahnya partisipasi pemilih dalam pilkada inhil ada 3  faktor yang menjadi kegagalan menurut penulis :
 
Pertama, mulai dari kejenuhan  dan antipati masyarakat yang mana merasa bahwa ketika menggunakan hak pilihnya mereka merasa hanya menyerahkan kekuasaan dan setelah itu lupa terhadap masyarakat lebih lanjut program pemerintah yang ada dianggap tidak sepenuhnya pro Rakyat, dan yang paling memiriskan, cuitan masyarakt adalah bahwa dengan menggunakan hak pilih mereka, mereka tidak sama sekali terbantu dalam bahasa awamnya “ya milih ga milih saya pun tetap begini” hal ini sering didengar. 
Kedua, Parpol di anggap disorientasi yang mana seharusnya melaksanakan pendidikan politik  seperti disalah satu tugasnya yaitu Mensosialisasikan dan mendidik pemilih dan warga negara dalam berfungsinya sistem politik dan pemilu dan generasi nilai-nilai politik umum, nyatanya ini minim dilakukan.
Ketiga, Kinerja KPU yang dianggap belum optimal dan maksimal juga buntut dari kurangnya partisipasi pemilih, semisal contoh sosialisasi pemilih pemula pensiunan TNI dan POLRI tidak dilakukanyang hanya penulis ketahui adalah sosialisasi pemilih pemula pelajar, karena tugas KPU dalam mensosialisasikan partisipasi publik untuk memilih adalah hal yang penting meskipun bukan tugas pokok.
 
Jadi menurut hemat penulis dapat kita rangkum ada tiga kegagalan disini, yaitu pemerintah, parpol dan KPU himbauan yang penulis lihat hanya bersifat seremonial dan sehingga tidak optimal, harusnya 3 elemen ini harus maksimal.
 
Sebagai penutup penulis ingin mngutip kutipan Berthold Brecht (1898 – 1956), seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater, dan marxis, nasehatnya penting kita renungkan; "Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri."  Dan jika kita ihat dan kaitkan dengan cuitanyang sering kita dengar di masyarakat sangat lah miris dan dapat di asumsikan bahwa pendidikan politik kita sangatah rendah. Semoga kedepannya kita dapat lebih memahami apa itu politik. Aamiin.
 
Oleh : Yudhia Perdana Sikumbang


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar