Riau

Jikalahari Kritik Mendagri dan Pemda Riau, Lantaran Hambat PS dan TORA

Made Ali, Koordinator Jikalahari
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Organisasi lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menilai  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dan Pemerintah Provinsi Riau menghambat percepatan reforma agraria berupa perhutanan sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Riau pasca Perda No 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) Riau 2018-2038 ditetapkan oleh Plt Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim pada 8 Mei 2018.
 
“Padahal saat masih menjadi Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 Mendagri punya kewenangan untuk tidak menyetujui pemberian nomor registrasi, sebab persetujuan substansi belum disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari kepada GAGASAN melalui rilis pers yang diterima Jumat 31 Agustus 2018.
 
Diterangkan Made, dari total 1.353.015 dari 1.420.225 hektar izin perhutanan sosial dan 536.223 hektar Tora per 8 Mei 2018 terhambat karena pasal 46 ayat 2 huru f e Perda Nomor 10 Tahun 2018 Riau berbunyi: Pemanfaatan kawasan hutan untuk perhutanan sosial dan penggunaan kawasan hutan untuk Tanah Objek reforma Agraria (TORA) sebelum mendapat rekomendasi dari Gubernur terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama DPRD.
 
Kemudian juga Made memaparkan bahwa data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau memiliki alokasi PS seluas 1.420.225 ha. Sampai saat ini sudah ada 39 izin pengelolaan PS di Riau dengan luas 67.210 ha.
 
Pembagiannya yaitu: HPHD 21 izin seluas 53.120 ha, IUPHKm 10 izin seluas 5.898 ha, IUPHHK-HTR 7 izin seluas 4.192 ha dan 1 unit kemitraan kehutanan seluas 4.000 ha.
 
Kondisi terkini semua izin belum operasionalisasi karena dalam tahap menyusun dokumen perencanaan pengelolaan izin
(RKU/RKT).
 
Pasal tersebut bertentangan dengan PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan PP No 3 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutana Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
 
Terbitnya Permen LHK P.83 merujuk pada PP No 6 Tahun 2007. “Dari seluruh mekanisme yang dijelaskan dalam P.83, tidak ada satupun yang menjelaskan harus ada pembahasan terlebih dahulu di DPRD. Justru ini bertentangan dengan tugas dan wewenang DPRD,” kata Made Ali.
 
Pasal 101 UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan tugas dan wewenang DPRD Provinsi yaitu: membentuk Perda Provinsi bersama gubernur, membahas dan memberikan persetujuan Ranperda provinsi tentang APBD yang diajukan gubernur, melaksanakan pengawasan pelaksanaan Perda dan APBD dan mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri.
 
Selain itu DPRD berwenang memberi pendapat dan pertimbangan kepada Pemda terkait perjanjian internasional di provinsi, memberikan persetujuan rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemda, meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur, memberikan persetujuan rencana kerjasama daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan provinsi serta melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan.
 
“Ini akibat Mendagri mengabaikan prinsip kepastian hukum, kecermatan dan kepentingan umum sebelum memberikan Nomor registrasi yang juga memperhatikan persetujuan substansial dari menteri terkait,” kata Made Ali.
 
Pada 25 April 2018, Direktur Produk Dukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri menerbitkan Surat No 70/REG/PHD/IV/2018 tentang Pemberian Nomor Register Ranperda Provinsi Riau.
 
Surat ini menindaklanjuti permohonan yang diajukan oleh Sekda Provinsi Riau pada 19 April 2018 meminta Nomor Registrasi Perda RTRWP Riau.
 
Dalam surat, Direktur Produk Hukum Daerah menyatakan hasil penelaahan/pengkajian menunjukkan permohonan telah memenuhi syarat yang disebutkan dalam pasal 106 ayat 1 dan ayat 2 Permendagri Nomor 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
 
Lalu, pada 8 Mei 2018, Plt Gubernur Riau Wan Thamrin menetapkan Perda No 10 Tahun 2018, hari itu juga Sekda Propinsi Riau mengundangkan.
 
Padahal pasal 101 Permendagri No 80 Tahun 2015 tegas menyebutkan Gubernur mengajukan permohonan no reg kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah setelah gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan terhadap rancangan perda yang dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2).
 
Yang dimaksud ayat 2 Pasal 98 yaitu Dalam hal Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima.
 
Merujuk Kepmendagri 188.34-9552 Tahun 2017 menyatakan nomor register Perda RTRWP dapat diberikan jika Gubernur Riau setelah melakukan penyempurnaan dan penyesuaian hasil evaluasi Ranperda RTRWP Riau dalam lampiran serta evaluasi KLHS.
 
Kepmendagri 188.34-8552 Tahun 2017 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang RTRWP Riau Tahun 2017 – 2037.
 
Mendagri memutuskan: Pertama, evaluasi Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 sebagaimana tercantum dalam lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan menteri ini.
 
Kedua, Gubernur Riau (Gubri) wajib menyusun KLHS dengan berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
 
Artinya pemberian Nomor Register oleh Direktur Produk Hukum Daerah Dirjen OTDA tersebut mengabaikan Kepmendagari 188.34-9552 Tahun 2017, dan bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 18 ayat 12 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Pasal 28 huruf b3 PP No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
 
“Jadi semua izin PS kini dihambat oleh Gubernur Riau melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Propinsi Riau karena harus dibahas bersama DPRD Riau. Untuk urusan masyarakat, selalu saja ada dalih normatif untuk memperlama pemberian ruang kelola untuk masyarakat,” kata Made Ali.
 
Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar