Riau

Inpres Moratorium Sawit Tak Jelas

Pembukaan areal hutan alam di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti
GAGASANRIAU.COM, JAKARTA — Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang terbit pada 19 September 2018, tidak jelas soal penegakan hukum, evaluasi berlaku surut dan jangkauan pihak perlu diperluas.
 
Hal ini disampaikan oleh dua organisasi lingkungan Jaringan Kerja Penyelamata Hutan Riau (Jikalahari) dan TuK Indonesia. Pasalnya Inpres tersebut masih banyak yang perlu diperjelas dan dipertegas.
 
Salah satunya yang disampaikan soal penegakan hukum, disebutkan bahwa Presiden Jokowi khusus memberi instruksi pada Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal “Langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data dan evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit”.
 
“Sampai kapan ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai ?. Dalam Inpres tidak disebutkan berapa hari, bulan atau tahun ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai dilakukan. Menko ditugaskan membentuk tim kerja dan melaporkan kepada Presiden enam bulan sekali. Lalu, kapan Menko akan membentuk tim?” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari kepada Gagasan.
 
"Bila ‘verifikasi data dan evaluasi sedang berjalan’ atau Tim Kerja sedang melakukan ‘verifikasi data dan evaluasi’, padahal terbukti sawit korporasi dan Cukong berada dalam Kawasan Hutan tanpa izin dari Menteri, penegakan hukum dapat dilakukan? Atau penegakan hukum dimoratorium sampai ‘verifikasi data dan evaluasi’ selesai?” kritik Made Ali.
 
Diungkapkan Made, bahwa fakta yang terjadi di Provinsi Riau, dimana DPRD Riau pada 2015 menemukan lebih dari 2 juta hektar perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin (khususnya tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan).
 
Dari total 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang memiliki izin pelepasan kawasan berjumlah 132 perusahaan atau 25,89 persen.
 
Sisanya urai Made yaitu 378 perusahaan atau 74,12% tidak memiliki izin pelepasan kawasan. Jika ditinjau dari pernyataan mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, maka ada 2.494.484 hektar perkebunan sawit yang illegal atau mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
 
Kemudian lanjut Made, dari 513 korporasi menjual TBS kepada grup Wilmar, Surya Dumai (First Resources), Salim, Darmex Agro, Gandaerah, Sinarmas, Golden Asian Agri, Panca Eka, Musim Mas, Jardine Matheson, Astra, juga perusahaan asal Malaysia yaitu KLK dan Batu Kawan, Sime Darby (Malaysia).
 
Faktanya lagi kata Made, di Riau, perusahaan asal Malaysia menguasai sekitar 136.535 ha lahan yang terafiliasi dengan grup Sime Darby-Minamas, Kuala Lumpur Kepong dan Batu Kawan, Anglo Eastern dan Wilmar (Robert Kuok asal Malaysia join bersama Martua Sitorus asal Indonesia, Wilmar punya 180 pemasok di Riau).
 
Kemudian Pansus DPRD Riau menemukan dari 1,8 juta ha kawasan hutan tak berizin yang telah ditanami kelapa sawit oleh korporasi telah merugikan keuangan negara karena tak bayar pajak senilai Rp 34 Triliun pertahun.
 
“Korporasi ini jelas-jelas melakukan tindak pidana kehutanan, perkebunan dan perpajakan, apalagi yang mau verifikasi dan evaluasi?” tegas Made Ali.
 
Made juga menyoroti soal Inpres tersebut, apakah akan berlaku surut, pasalnya fakta yang dipaparkannya yang terjadi di Riau, Zulkifli Hasan, semasa menjadi Menteri Kehutanan 2009-2014 menerbitkan SK Nomor 673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1.638.249 ha di Riau, dua bulan jelang masa jabatannya berakhir sebagai Menteri
Kehutanan.
 
Temuan Pansus Monev Perizinan DPRD Riau, SK 673 melepaskan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan untuk 104 korporasi sawit seluas 77 ribu ha yang dulunya beroperasi secara ilegal dalam kawasan hutan.
 
Pasca terbitnya SK ini kata Made, korporasi-korporasi tersebut menjadi legal karena fungsinya sudah berubah menjadi APL.
 
Diungkaokan Madem berdasarkan temuan EoF, 55 dari 104 perusahaan tersebut terafiliasi dengan grup Wilmar, Panca Eka, Sarimas, Peputra Masterindo, First Resources, Panca Eka, Indofood, Bumitama Gunajaya Agro, Aek Natio, Adi Mulya, Provident Agro, Darmex, Borneo Pasific hingga PTPN.
 
Areal 55 korporasi ini berada dalam kawasan hutan dengan fungsi HP, HPT dan HL seluas 19.308 ha dan sebagian besar sudah ditanami sawit berumur lebih dari 10 tahun.
 
SK 673 yang diterbitkan sebagai hadiah ulang tahun bagi Provinsi Riau pada 9 Agustus 2016 diserahkan langsung oleh Zulkifli kepada Annas Maamun, Gubernur Riau kala itu.
 
Saat berpidato sempena hari jadi Provinsi Riau, Zulkifli Hasan mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau. Lalu lanjut made, pernyataan tersebut dimanfaatkan oleh oknum Darmex Agro, Gulat Manurung dan Edison Marudut sawit dengan cara “menyuap” Annas Maamun agar “memutihkan” sawit mereka yang selama ini berada dalam kawasan hutan.
 
Pada 25 September 2014 Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap sebesar Rp 500 juta dan US$ 156.000 terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan terkait RTRWP Riau.
 
Suap ini berasal dari Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau yang juga akademisi di Universitas Riau dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat.
 
Annas juga menerima uang suap sebesar Rp 3 Milyar dari Surya Darmadi (pemilik grup Darmex/Duta Palma Grup).
 
Data KLHK, Zulkifli Hasan menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit total 2,2 juta.
 
“Beranikah KLHK mengembalikan izin tersebut menjadi kawasan hutan? Dalam Inpres ini dapat dimaknai evaluasi termasuk pelepasan kawasan hutan hingga periode rezim sebelumnya. Tinggal, beranikah Presiden Jokowi melawan Zulkifli Hasan dan Susilo Bambang Yudhoyono dan Korporasi sawit?” kata Made Ali.
 
Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar