Daerah

Mengenal Neo-kolonialisme

gagasanriau.com-Tahukah kamu, apa yang dimaksud neo-kolonialisme? Ya, kita sering mendengarnya, tetapi terkadang agak sulit menjelaskannya. Apalagi kalau disuruh menjelaskan metode alias cara kerjanya. Paling-paling jawabannya: penjajahan gaya baru. Jawaban itu tentu sudah benar. Namun, supaya bisa mengidentifikasi neo-kolonialisme ini secara terang-benderang, termasuk metode alias cara kerjanya, maka kita perlu penjelasan yang lebih luas dan mendalam. Termasuk berusaha membedakan antara kolonialisme lama dan baru. Kolonialisme lama dan baru Pada tahun 1940-an hingga 1960-an, berbagai bentuk kolonialisme lama mengalami keruntuhan. Bentuk-bentuk penaklukan langsung, yang ditandai dengan penempatan kekuatan militer, berhasil ditaklukkan oleh kebangkitan gerakan pembebasan nasional di berbagai Negara jajahan. Lantas, ketika imperialisme sudah terdesak, apakah mereka langsung menyerah? Bung Karno pernah bilang, “imperialisme lama atau kolonialisme lama itu hanya menyingkir sementara untuk memberi jalan kepada imperialisme dalam bentuk baru atau kolonialisme dalam bajunya yang baru.” Yang terjadi, imperialisme tidak benar-benar menyingkir. Bung Karno menceritakan, banyak Negara yang sudah meraih kemerdekaannya akhirnya menemukan kekecewaan besar. Kenapa? Sebab kemerdekaan nasional yang diraih dengan susah-payah itu gagal melikuidasi sepenuhnya kekuatan imperialisme. Akibatnya, imperialisme itu menggunakan cara-cara baru untuk mencegah Negara merdeka itu untuk mengkonsolidasikan politik, ekonomi, dan kebudayaannya. Lantas, apa bedanya yang lama dengan yang baru? Neokolonialisme lama itu identik dengan penaklukan langsung. Negara yang ditaklukkan itu kemudian diubah menjadi koloni: ada penempatan militer, kekuasaan di negara jajahan hanya perpanjangan dari kekuasan pusat di negara penjajah, dan lain-lain. Ya, pengalaman Hindia-Belanda adalah contohnya. Ini agak berbeda dengan kolonialisme baru (neo-kolonialisme). Pada kolonialisme baru, secara formal, negara bersangkutan bisa saja independan dan mendapat pengakuan internasional sebagai negara berdaulat. Namun, pada prakteknya, sistem politik, ekonomi, dan kebudayaannya didiktekan dari luar: negeri-negeri imperialis. Konferensi Anti-kolonial di Leipzig, Jerman, pada tahun 1961, berusaha menyuguhkan defenisi mengenai neo-kolonialisme. Dokumen konferensi itu menyebutkan, “neo-kolonialisme adalah bentuk tipikal dan yang utama dari politik kolonial imperialis dalam syarat-syarat historis pada zaman peralihan dari kapitalisme ke sosialisme. Khususnya pada periode keruntuhan dan kehancuran sistem kolonialisme langsung.” Lalu, konferensi Dewan Setia-Kawan Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1961, menyebut neokolonialisme sebagai bentuk baru dari imperialisme, khususnya imperialisme AS. Lebih lanjut, dikatakan, neokolonialisme adalah “bentuk penguasaan tidak langsung serta halus melalui bidang politik, ekonomi, sosial, militer, dan teknik. Manifestasi Neokolonialisme Konferensi Dewan Setia-Kawan Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1961, juga merumuskan beberapa bentuk manifestasi neokolonialisme:
  1. Pembentukan pemerintahan boneka di negara bekas jajahan. Pembentukan pemerintahan boneka ini dilakukan dengan memanfaatkan elemen-elemen reaksioner, khususnya borjuis komprador dan tuan feudal.
  2. Penggrupan kembali negara-negara bekas jajahan ke dalam federasi-federasi atau komunitas yang dihubungkan dengan kekuasaan imperium. Contohnya: Negara-Negara Persemakmuran, yang merupakan negara-negara bekas jajahan Inggris raya.
  3. Balkanisasi atau pemecah-belahan negara-negara yang sedang berjuang menuju kemerdekaan nasional. Inilah yang diderita oleh negara seperti Korea, dimana mereka dibagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
  4. Melancarkan aksi-aksi subversif terhadap pemerintahan nasional progressif. Inilah yang dilakukan negeri-negeri imperialis terhadap pemerintahan progressif di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
  5. Menghasut perpecahan nasional untuk melemahkan negara nasional.
  6. Pendirian basis militer di negara-negara bekas jajahan. Biasanya, pendirian basis militer ini disertai dengan pembangunan sekolah dan pusat-pusat penelitian militer.
  7. Intervensi ekonomi terhadap negara bekas jajahan melalui pinjaman modal asing, tenaga ahli, dan berbagai bentuk konsesi ekonomi lainnya.
Agen-Agen Neokolonialisme Konferensi Dewan Setia-Kawan Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1961, juga merumuskan siapa-siapa yang bertindak sebagai agen neo-kolonialisme itu:
  1. Kedutaan-kedutaan kolonial dan misi-misi terselubung. Biasanya, lembaga ini menjalankan kegiatan spionase untuk melemahkan negara nasional.
  2. Bantuan asing melalui lembaga-lembaga imperialis (PBB, Bank Dunia, IMF, dan lain-lain). Bantuan itu akan menjerumuskan negara bekas jajahan dalam ketergantungan ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
  3. Personil militer di dalam angkatan bersenjata dan kepolisian. Biasanya, mereka ini dibina melalui pengiriman perwira militer untuk belajar di negeri-negeri imperialis.
  4. Wakil-wakil negeri imperialis yang menyusup dengan menggunakan kedok agama ataupun kemanusiaan. Bahkan, tak sedikit diantara mereka yang menyusup melalui serikat buruh, organ kebudayaan, lembaga filantropis, dan korps-korps perdamaian.
  5. Propaganda berbau fitnah (disinformasi) melalui siaran radio, televisi, pers, dan literature yang dikendalikan oleh negeri-negeri imperialis.
  6. Pemanfaatan pemerintahan boneka, termasuk di Asia-Afrika, untuk mendestabilisasi situasi kawasan dan melemahkan negara nasional yang berioentasi mandiri.
Neokolonialisme tidak akan membiarkan negara jajahan berkembang. Maklum, seperti dikatakan Bung Karno, “selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan berlawanan dengan kepentingannya.” Pendek kata, bangsa yang mengalami proses neokolonialisme sudah pasti tidak bisa berkuasa untuk dirinya sendiri. Jangankan itu, mengatur rumah-tangganya sendiri mereka kehilangan kekuasaan. Akibatnya, rakyat yang terjajah selalu terikat dan terperangkap oleh kepentingan-kepentingan yang tak menyangkut kepentingannya. Timur Subangun, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar