Daerah

Cita-Cita Sosialisme Indonesia

Proses perkembangan sejarah cita-cita sosialisme berlaku juga di Indonesia, sudah tentu, dengan kekhususan-kekhususan atau kepribadian-kepribadiannya yang ditentukan oleh syarat-syarat sejarah masyarakat Indonesia sendiri. Sebagaimana sering dikemukakan oleh Presiden Sukarno dalam pidato-pidato beliau pada waktu akhir-akhir ini, cita-cita akan suatu masyarakat yang adil dan makmu atau “sosialisme” juga sudah lama terdapat di Indonesia. Cita-cita demikian itu dapat kita jumpai melalui dongengan-dongengan yang hingga kini masih berakar luas dikalangan Rakyat kita, misalnya, cerita-cerita tentang Ratu Adil, atau cerita-cerita wayang, antara lain, sebagaimana sering ditunjukkan oleh Presiden Sukarno, tentang keadaan kerajaan Pandawa di Amarta, atau Kresna di Dwarawati, yang mencerminkan suatu “masyarakat ideal”. Menurut bahasa ki Dalang, “masyarakat ideal” itu demikian sempurnanya dalam kehidupan politiknya sehingga “pandjang pundjung, pandjang potjapane, pundjung kewibawane”, yang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita politik dan berarti: “Negaranya adalah begitu termashur sehingga diceritakan orang panjang lebar sampai keluarnegeri, dan bahwa negara itu berwibawa tinggi sekali” : bahwa situasi perekonomiannya adalah: “hapasir hawukir ngadep segara kang bebandaran, hanengenake pasabinan. Bebek ajam radjakaya, endjang medal ing pangonan, surup bali ing kadange dewe-dewe. Wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, labet saking tan wwonten sangsajaning margi” ; jang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita ekonomi, dan berarti bahwa “negaranya penuh dengan bandar-bandar, sawah-sawah, dan begitu makmurnya hingga tidak ada pencuri. Itik, ayam, ternak pagi-pagi keluar sendiri ke tempat angon, kalau sudah maghrib pulang sendiri ke kandangnya. Orang berjalan dagang siang dan malam tidak ada putusnya, karena tidak ada gangguan di jalan” : bahwa susunan masyarakatnya adalah “tata-tentrem, kerta rahardja, gemah ripah, loh djinawi” : yang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita sosial, dan berarti bahwa “negaranya adalah teratur, tenteram, orang bekerja aman, orangnya ramah-tamah, berjiwa kekeluargaan dan tanahnya subur”.[1] Sudah tentu, masyarakat ideal yang dikisahkan oleh ki Dalang itu tak terlepas dari pembatasan syarat-syarat sejarah yang ada pada masa itu. Sungguhpun demikian, cerita-cerita demikian itu adalah pernyataan-pernyataan protes terhadap ketidakadilan sosial dan kemiskinan, terhadap sistem sosial yang berdasarkan penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia, dan menghendaki suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, setelah imperialisme Belanda dengan segala kekerasan dan kekejaman menindas perlawanan-perlawanan bersenjata rakyat kita, maka kemiskinan dan kemelaratan sangat merajalela, mendalam dan merata dikalangan Rakyat Indonesia. Dalam keadaan demikian inilah kita menjumpai tumbuhnya dikalangan kaum tani di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bojonegoro, Ngawi, Rembang, Grobogan, Pati, Kudus, dll) Saminisme adalah ajaran yang disebarkan oleh Kyai Samin alias Soerantiko, seorang petani di Blora. Walaupun ajaran Saminisme itu lebih banyak mengenai etika, tetapi dalam pandangan sosialnya terdapat fikiran-fikiran yang maju, yang oleh penjajah dipandang sangat membahayakan kedudukannya, misalnya, mereka berpendapat diantara manusia sesamanya adalah saudara, tiada hubungan saling menindas dan saling menghisap, melainkan saling bantu dan saling hormat, pendeknya gotongroyong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi dan alam adalah milik bersama, setiap orang berhak melakukan usaha-usahanya diatas buminya sendiri dan memiliki hasil kerjasamanya sendiri. Berdasarkan fikiran inilah mereka menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Bentuk perlawanan Rakyat Indonesia secara “damai” inipun ditindas oleh kaum penjajah dengan kekerasan , beberapa pemimpin kaum Samin ditangkap dan dibuang ketempat pengasingan. Dengan tumbuhnya gerakan nasional yang dipelopori oleh klas buruh Indonesia, maka gerakan kaum Samin mengalami masa surutnya dan kini hanya merupakan suatu sekte ajaran kebatinan. Bersamaan dengan tumbuhnya gerakan klas buruh Indonesia sebagai akibat langsung dari pertumbuhan imperialisme dinegeri kita pada awal abad ke-20, maka tumbuhlah ajaran dan cita-cita Sosialisme ilmiah Marx dibumi Indonesia. Sejak berdirinya PSDH (Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia – Indische Sociaal- Democratische Vereniging-ISDV) dalam tahun 1914 cita-cita Sosialisme ilmiah mulai diperkenalkan. Dan sejak kemenangan Revolusi Sosialis Oktober Besar 1917 di Rusia yang menggemparkan seluruh dunia itu, sosialisme tidak hanya sudah sangat populer, malah sangat digandrungi oleh Rakyat Indonesia. Klas buruh Indonesia menjadi sedar dan gerakannya maju pesat dibawah pimpinan barisan pelopornya, yaitu Partai Komunis Indonesia yang didirikan pada tanggal 23 Mei 1920. Klas buruh Indonesia dibawah pimpinan Partainya segera manyadari bahwa pembebasan mereka hanya bisa tercapai apabila seluruh tanah air dan bangsanya sudah dapat dibebaskannya dari belenggu kolonialisme dan imperialisme; dan kemerdekaan nnasional itu hanya bisa dicapai sepenuhnya apabila klas buruh Indonesia dapat dan mampu memimpin perjuangan revolusioner itu. Berdasarkan kesadaran dan keyakinan inilah maka klas buruh Indonesia dibawah pimpinan Partainya sejak itu selalu berdiri digaris paling depan dan selalu paling konsekwen dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dan untuk kemerdekaan nasional, sehingga pengaruh kaum Komunis Indonesia dan ide Sosialisme sangat besar dikalangan Rakyat  pekerja. Begitu luas dan kuatnya pengaruh ide Sosialisme dikalangan Rakyat Indonesia sehingga pemimpin-pemimpin Sarikat Islam pada waktu itu seperti almarhum H.O.S. Tjokrominoto tidak mau ketinggalan ikut serta mengangkat panji “Sosialisme” dengan menyatakan bahwa ajaran Islam adalah anti kapitalisme dan sesuai dengan Sosialisme sebagaimana dapat kita ketahui dari tulisan beliau yang terkenal dengan judul Islam dan Sosialisme. Dalam tahun 1933, dalam tulisannya Mentjapai Indonesia Merdeka, Bung Karno merumuskan hasrat Rakyat Indonesia dengan tegas bahwa Indonesia Merdeka bukanlah tujuan terakhir dari perjuangan Rakyat jelatan Indonesia, melainkan sebagai “jembatan emas” untuk menuju ke suatu masyarakat yang adil dan sempurna, dimana tiada tindasan dan hisapan, tiada keningratan dan keborjuisan, tiada imperialisme dan kapitalisme, dan tiada klas-klasan. Dan untuk itu maka dicanangkannya : “Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan,-sekalipun suatu jembatan emas! – yang harus dilalui dengan segala keawasan keprajitnaan, jangan sampai diatas jembatan itu Kereta-kemenangan dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen. Seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan Marhaen, satu kedunia sama-ratap-sama-tangis. Celakalah Marhaen, bilamana kereta itu masuk keatas jalan yang kedua, menuju kealamnya kemodalan Indonesia dan keborjuisan Indonesia! Oleh karena itu, Marhaen, awaslah awas! Jagalah yang kereta kemenangan nanti tetap di dalam kendalian kamu, jagalah yang politieke macht nanti jatuh didalam tangan kamu, didalam tangan besi kamu, didalam tangan baja kamu!”[2] dan “jangan sampai politieke machtitu jatuh kedalam tangannya pihak borjuis dan ningrat Indonesia.”[3] Didalam tulisan lain Marhaen dan Proletar (tahun 1933), Bung Karno menjelaskan : “Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.” Marhaen menurut pengertian ini adalah sama dengan Rakyat Pekerja. Di dalam perjuangan Rakyat Indonesia, menurut Bung Karno “kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali”, sebab, kata Bung karno, “kaum proletarlah yang lebih ‘mengerti’ akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi. Mereka lebih ‘kongkrit’, dan …. mereka lebih besar harga-perlawananya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain.” Maka “tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya Klas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”[4] Jadi, jelaslah bahwa walaupun pada waktu itu di Indonesia belum terdapat pengertian teoritis yang dalam tentang Sosialisme, tetapi Rakyat Pekerja secara sadar sudah menentukan arah perjuangannya, yaitu dengan melewati kemerdekaan nasional menuju masyarakat Sosialis. Seiring dengan perkembangan situasi international, terutama sesudah Perang Dunia ke-II dimana Sosialisme tumbuh makin besar dan kuat, sedang kapitalisme makin lapuk dan sekarat, maka pengertian Rakyat pekerja Indonesia tentang Sosialisme tidak lagi abstrak dan remeng-remeng, melainkan makin jelas dan kongkrit. Pengalaman perjuangannya sendiri sejak meletusnya Revolusi Agustus 1945, sangat memperkuat keyakinan Rakyat pekerja Indonesia akan kebenaran tujuan perjuangan yang sudah lama ditetapkannya. Dalam amanatnya kepada Depernas pada tanggal 28 Agustus 1959, Presiden Sukarno mengatakan bahwa Indonesia sebagai salahsatu negara yang dilahirkan ditengah-tengah konfrontasi-konfrontasi sistim sosial-dunia: “(a) Disatu pihak kapitalisme modern yang kehilangan tanah jajahannya sebagai cadangan dan yang dari krisis ke krisis sedang memasuki krisis umumnya menuju kebangkrutan sepenuhnya, (b) dipihak lain sosialisme yang tumbuh dan sedang berkembang dengan kuat dan sebagai tandingannya memperlihatkan keunggulannya disemua lapangan terhadap kapitalisme modern (imperialisme)”, dan Indonesia “tidak mau menempuh jalan dunia lama (kapitalisme)”[5]. Ini berarti bahwa kapitalisme sudah tidak punya perspektif lagi di Indonesia. Hari depan Indonesia bukanlah kapitalisme yang sedang sekarat itu, melainkan Sosialisme. Sejarah perjuangan Rakyat Indonesia sendiri telah membuktikan tentang keharusan bagi Indonesia untuk menempuh jalan Sosialisme. Rakyat Indonesia sudah berabad-abad menjadi korban dari sistim masyarakat yang berdasarkan atas penindasan dan penghisapan manusia oleh manusia. Terutama imperialisme yang telah membawa kemiskina dan kesengsaraan yang sangat mendalam dan merata itu, telah menimbulkan tekad yang keras dikalangan massa Rakyat Indonesia untuk membasmi setiap ketidakadilan sosial, setiap bentuk penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia, dan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam tulisannya Revolusi Oktober dan Kebangunan Rakyat Asia, Presiden Sukarno dengan singkat dan terang telah menjelaskan hukum dialektik dari pengalaman sejarah Rakyat Indonesia khususnya dan Rakyat-rakyat Asia umumnya: “imperialisme politik merebut kemerdekaan Rakyat-rakyat Asia dan dengan demikian menyebabkan timbulnya perlawanan untuk merebut kembali kemerdekaan tersebut. Imperialisme ekonomi menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan dan menyebabkan timbulnya perlawanan dan perjuangan untuk membangun masyarakat adil dan makmur”.[6] Tekad Rakyat Indonesia demikian itu makin kuat lagi setelah pengalamannya yang pahit selama 15 tahun akhir-akhir ini karena kereta revolusi dikusiri oleh orang-orang yang “telah menyeleweng dari Jiwa, dari Dasar, dan dari Tujuan Revolusi”[7], sehingga “nangka” – kemenangan politik- yang dihasilkan oleh Rakyat dengan darah dan keringatnya itu dimakan hanya oleh beberapa gelintir manusia, sedang Rakyat sendiri hanya kebagian “getah”nya saja. Dari sebab itu, dalam amanatnya kepada Depernas seperti tersebut diatas, Presiden Sukarno telah menandaskan untuk kesekian kalinya bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu sekedar hanyalah “satu jembatan untuk menuju dan akhirnya mencapai kepada cita-cita bangsa Indonesia yang pokok, yaitu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap warganegara dapat hidup sejahtera didalamnya, satu masyarakat tanpa penindasan, satu masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, satu masyarakat yang memberikan kebahagiaan kepada seluruh Rakyat Indonesia dari sabang sampai Merauke, satu masyarakat yang berulang-ulang menjadi inspirasi penegak semangat daripada segenap pejuang-pejuang Bangsa Indonesia dan telah memberikan korbannya diatas persada perjuangan Bangsa Indonesia itu “, dan “masyarakat yang sedemikian itu, ……..masyarakat sosialis a la Indonesia adalah amanat penderitaan daripada segenap Rakyat Indonesia, yang…..kita sekarang harus merealisasikan”.[8] Jelaslah kiranya bahwa “Sosialisme Indonesia” sebagai hari depan Revolusi Indonesia itu bukanlah semata-mata suatu ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht” (dalam satu malam yang tidak tidur), seperti pernah dikatakan oleh Presiden Sukarno, juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigkeit”, suatu keharusan sejarah. Sebagai suatu keharusan sejarah, tidaklah berarti, sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno, bahwa “Sosialisme datang seperti embun diwaktu malam dengan sendirinya”[9], tetapi keharusan sejarah itu hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia. Sosialisme Indonesia hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan Rakyat pekerja Indonesia menurut syarat-syarat yang ada padanya. berdikarionline


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar