Daerah

Bank Indonesia Resmi Batasi Pemberian KPR untuk Rumah Ke-2 dan Ke-3

  [caption id="attachment_4685" align="aligncenter" width="540"]Ilustrasi. gagasanriau.com Ilustrasi. gagasanriau.com[/caption] gagasanriau.com ,Jakarta-Setelah sempat berkembang menjadi wacana dalam beberapa hari terakhir, Bank Indonesia (BI) hari Selasa (24/9) resmi merilis dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013, yang intinya membatasi pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah ke-2 dan rumah ke-3. Dalam aturan baru itu disebutkan, untuk KPR tipe 22 – 70 rumah kedua, fasilitas kredit yang bisa diberikan maksimal adalah 70% dari nilai agunan (harga rumah). Sedangkan untuk rumah ketiga dengan tipe yang sama, maksimal kredit yang bisa diberikan adalah 60% dari nilai agunan. Adapun untuk KPRS dan KPR tipe 70 atau lebih, maksimal Fasilitas Kredit (FK) atau Fasilitas Pembiayaan (FP) untuk rumah pertama adalah 70%, untuk rumah kedua maksimal 60%, dan untuk rumah ketiga maksimal 50%. “Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 30 September 2013 serentak untuk bank konvensional, bank syariah dan unit usaha syariah,” kata Difi A. Johansyah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI dalam siaran persnya hari Kamis (25/9) ini. Difi menjelaskan, penyempurnaan ketentuan Loan To Value (LTV)/Financing To Value (FTV) itu dilatarbelakangi oleh tingginya pertumbuhan kredit ke sektor properti, khususnya kredit untuk rumah tapak dan rumah susun (flat dan apartemen) pasca penerapan ketentuan LTV/FTV pada pertengahan 2012. Ia menyebutkan, tingginya pertumbuhan sektor properti juga mempengaruhi perilaku debitur dalam memanfaatkan kredit/pembiayaan dari bank. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi yang menunjukkan penggunaan kredit konsumsi lainnya untuk pembelian properti atau sebagai tambahan uang muka pembelian properti. Untuk mengantisipasi peningkatan konsentrasi risiko kredit di sektor properti, dengan mempertimbangkan profil risiko debitur/nasabah termasuk kemampuan pelunasan kredit (repayment capacity), kata Difi, ketentuan yang baru memberlakukan LTV/FTV dengan persentase yang menurun (regresif). “Sasaran utama dari pengaturan dimaksud adalah mengantisipasi potensi risiko “gagal bayar” yang disebabkan penurunan kemampuan pelunasan kredit,” ujar Difi. Ia menegaskan,  kebijakan pengaturan pemberian KPR untuk rumah ke-2 dan ke-3 ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Di sisi lain, ketentuan Loan LTV) / FTV untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti itu juga bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan menengah – bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan aspek perlindungan konsumen di sektor properti. “Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah,” lanjut Difi. Menurut Difi, penerapan LTV/FTV ini juga disertai dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit melalui pengenaan persyaratan tambahan dalam proses pemberian kredit dan berlaku sama (equal treatment) baik untuk bank konvensional maupun bank syariah. “Persyaratan tambahan tersebut berupa kewajiban calon debitur/debitur untuk melaporkan seluruh fasilitas kredit konsumsi yang terkait dengan pemilikan properti atau beragun properti yang diterima dari bank yang sama atau bank lain ketika mengajukan permohonan kredit, untuk kemudian akan diperhitungkan dalam menentukan urutan fasilitas kredit serta besaran LTV/FTV yang dikenakan,” jelas Difi. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI itu juga mengemukakan, ketentuan LTV/FTV yang baru juga mengatur : (1) perlakuan terhadap debitur suami istri; (2) perlakuan terhadap fasilitas kredit tambahan (top up) KPP sebelumnya atau pembiayaan baru berdasarkan properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya; serta (3) larangan bagi bank untuk memberikan fasilitas kredit/pembiayaan tambahan untuk pemenuhan uang muka kredit/pembiayaan pemilikan properti dan/atau kredit/pembiayaan konsumsi beragun properti. Selain itu, diatur pula prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas kredit/pembiayaan pemilikan properti jika properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh yakni hanya diperkenankan pada pemberian fasilitas kredit pertama saja. Difi menegaskan, dengan diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 itu maka BI sekaligus mencabut mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Surat Edaran No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 dan Surat Edaran No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012, yang hanya membatasi pemberian maksimal KPR paling tinggi 70% dari nilai agunan (harga rumah) dengan kriteria tipe bangunan di atas 70 m2. Departemen Komunikasi BI


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar