Daerah

KPPU: Monopoli Infrastruktur Energi Sah Saja Asal Efisien

[caption id="attachment_6586" align="alignleft" width="300"]Komisi Pengawas Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha[/caption]

gagasanriau.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan sedang memprioritaskan pengawasan pada lima sektor usaha. Hal ini untuk mendorong efisiensi usaha dan mengurangi inflasi. Komisioner KPPU Kamser Lumbanradja mengatakan salah satu prioritas adalah sektor energi, termasuk masalah open access pipa gas. “Kami sedang mengkaji open access ini, apakah menguntungkan masyarakat, transporter atau ada kepentingan broker. Ini harus jelas,” ujar Kamser, pada acara Konsiyering Kajian Industri Sektor Energi, Jumat (15/11/2013).

Menilik seluruh dunia, kata Kamser, untuk infrastruktur khususnya energi, dibangun dan dikuasai oleh negara. “Seharusnya semua infrastruktur dikuasai negara, meski bisa saja nantinya diliberalisasi,” sambung dia. Namun, liberalisasi infrastruktur bisa berjalan ketika sudah adanya infrastruktur yang terintegrasi. Kalau pemerintah ingin melakukan open access dengan kondisi infrastruktur yang belum terintegrasi, cenderung terjadi pro-kontra.

Dalam acara Konsiyering Kajian Industri Sektor Energi, yang dihadiri KPPU, stakeholder energi, dan regulator, Kamser mengatakan hasil tersebut akan dijadi masukan kepada pemerintah.

Sementara itu di tempat terpisah, Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa M. K., M.T., Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia, mendesak agar Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mencabut Peraturan Menteri No 19 tahun 2009 yang mengatur Open Access dan unbundling. Ini disebabkan aturan tersebut mengarah kepada liberalilasi sektor hilir migas. "Jika ini sampai terjadi, maka pembangunan infrastruktur khususnnya di pipa gas akan terhambat. Sebab para trader tak mau membangun pipa yang menelan investasi yang besar,"tutur Iwa.

Sebab itu, KPPU mengimbau Kementerian BUMN untuk menata bagaimana monopoli itu terjadi. “Monopoli boleh dilakukan namun harus tetap efisien,” sambung dia. Adapun kriteria efisien adalah mudah di lihat yaitu barangnya tersedia dengan mudah. Sehingga konsumen bisa membeli dengan harga yang wajar.

Menurut Iwa, harusnya dalam kasus Open Access ini pemerintah dapat bersikap seperti pada kasus PLN. Dimana semua penjualan listrik dilakukan oleh PLN. Bukan melalui trader. Jika ada investor yang ingin membangun pembangkit, maka mereka bisa menjual kepada PLN. Diharapkan dengan adannya sikap tersebut, monopoli secara alamiah dapat terjadi.

Seperti diketahui bersama perusahaan yang melakukan monopoli alamiah akan mencapai skala ekonominya karena dua faktor, yaitu penguasaan tertentu atas sebuah sumber daya inti atau perlindungan langsung dari pemerintah atau biasa dikenal dengan sebutan State Monopoly.

Selain PLN yang menerima monopoli alamiah, Pertamina juga mendapatkannya. Pertamina mendapatkan fasilitas monopoli alamiah dalam pasar penjualan gas elpiji.Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan sedang memprioritaskan pengawasan pada lima sektor usaha. Hal ini untuk mendorong efisiensi usaha dan mengurangi inflasi. Komisioner KPPU Kamser Lumbanradja mengatakan salah satu prioritas adalah sektor energi, termasuk masalah open access pipa gas. “Kami sedang mengkaji open access ini, apakah menguntungkan masyarakat, transporter atau ada kepentingan broker. Ini harus jelas,” ujar Kamser, pada acara Konsiyering Kajian Industri Sektor Energi, Jumat (15/11/2013).

Menilik seluruh dunia, kata Kamser, untuk infrastruktur khususnya energi, dibangun dan dikuasai oleh negara. “Seharusnya semua infrastruktur dikuasai negara, meski bisa saja nantinya diliberalisasi,” sambung dia. Namun, liberalisasi infrastruktur bisa berjalan ketika sudah adanya infrastruktur yang terintegrasi. Kalau pemerintah ingin melakukan open access dengan kondisi infrastruktur yang belum terintegrasi, cenderung terjadi pro-kontra.

Dalam acara Konsiyering Kajian Industri Sektor Energi, yang dihadiri KPPU, stakeholder energi, dan regulator, Kamser mengatakan hasil tersebut akan dijadi masukan kepada pemerintah.

Sementara itu di tempat terpisah, Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa M. K., M.T., Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia, mendesak agar Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mencabut Peraturan Menteri No 19 tahun 2009 yang mengatur Open Access dan unbundling. Ini disebabkan aturan tersebut mengarah kepada liberalilasi sektor hilir migas. "Jika ini sampai terjadi, maka pembangunan infrastruktur khususnnya di pipa gas akan terhambat. Sebab para trader tak mau membangun pipa yang menelan investasi yang besar,"tutur Iwa.

Sebab itu, KPPU mengimbau Kementerian BUMN untuk menata bagaimana monopoli itu terjadi. “Monopoli boleh dilakukan namun harus tetap efisien,” sambung dia. Adapun kriteria efisien adalah mudah di lihat yaitu barangnya tersedia dengan mudah. Sehingga konsumen bisa membeli dengan harga yang wajar.

Menurut Iwa, harusnya dalam kasus Open Access ini pemerintah dapat bersikap seperti pada kasus PLN. Dimana semua penjualan listrik dilakukan oleh PLN. Bukan melalui trader. Jika ada investor yang ingin membangun pembangkit, maka mereka bisa menjual kepada PLN. Diharapkan dengan adannya sikap tersebut, monopoli secara alamiah dapat terjadi.

Seperti diketahui bersama perusahaan yang melakukan monopoli alamiah akan mencapai skala ekonominya karena dua faktor, yaitu penguasaan tertentu atas sebuah sumber daya inti atau perlindungan langsung dari pemerintah atau biasa dikenal dengan sebutan State Monopoly.

Selain PLN yang menerima monopoli alamiah, Pertamina juga mendapatkannya. Pertamina mendapatkan fasilitas monopoli alamiah dalam pasar penjualan gas elpiji.

Rilis


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar