Daerah

Simpanan Dolar Konglomerat RI Di Luar Negeri Kalahkan Cadangan Devisa RI

Jakarta : Di tengh upaya pemerintah dan Bank Indonesia menyerap dolar Amerika Serikat (AS) ke pasar dalam negeri, kalangan eksportir dan konglomerat justru menyimpan miliaran dananya di bank luar negeri. Padahal kebutuhan dolar AS di Tanah Air jelang akhir tahun semakin meningkat dan memicu pelemahan rupiah lebih dalam. Para konglomerat dikabarnya menyimpan tak kurang dari US$ 150 miliar dananya di lembaga keuangan luar negeri. Jumlah dolar AS yang dimiliki para eksportir tersebut jauh lebih banyak dibandingkan Cadangan Devisa (Cadev) yang dimiliki Indonesia. "Dana konglomerat yang diparkir di luar negeri sebesar US$ 150 miliar (besarnya melebihi pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau cadangan devisa Indonesia), semestinya dapat ditarik ke Indonesia," kata David Cornelis, Head of Research KSK Financial Group dalam ulasannya. Data BI per akhir November 2013 mencatat, Cadev Indonesia berada di level US$ 96,96 miliar. Dibandingkan posisi sebelumnya, Cadev Indonesia turun tipis US$ 36 juta dari posisi akhir Oktober di level US$ 96,99 miliar. David menilai Indonesia kehilangan momentum ekonomi, lumpuhkan IHSG yang hapuskan harapan kembali ke level 5.000 dan hilangkan target ke 4.500 akhir tahun 2013 ini. Nilai tukar rupiah juga niscaya menuju titik terendahnya ke Rp 12.200, posisi April 12 tahun silam. "Rupiah akan bergerak di atas Rp 12.000 untuk waktu yang cukup lama, serta ada potensi untuk tes titik terendahnya balik ke Desember 2008 di Rp 12.550, atau malah ke November 2008 di posisi Rp 13.000," prediksi David. Secara teoritis melihat dari selisih inflasi dan bunga antara Indonesia dan AS, koreksi rupiah wajar hingga 6% ke level Rp 10.350 merupakan hal yang wajar. Adapun pelemahan tahun ini sudah mencapai seperempat nilainya, jauh melemah di atas target APBN-P 2013. "Sensitivitasnya pelemahan rupiah 10% akan menaikkan inflasi sebesar 0,8%," katanya. Pelemahan rupiah adalah refleksi buruknya agregasi daya saing Indonesia, tercermin dari kurs efektif riil rupiah yang sudah terdepresiasi jauh ke level terendahnya sejak medio 2003. Usaha pemerintah menjual obligasi pertama kali di pasar sekunder senilai US$ 450 juta dengan kupon 3,5% akhir November lalu pun berlalu tak laku. Lelang obligasi tidak membantu penguatan rupiah, justru sebaliknya, makin melemah. Dengan status BI yang nanitnya hanya bertindak selaku wasit moneter terhitung 1 Januari 2014, David menilai bank sentral semestinya dapat menarin miliaran dolar AS dana eksportir ke Indonesia. "BI mungkin perlu belajar dari JKT48 dalam membangun hubungan baik dengan penabung domestik di luar negeri, mengopi insinuasinya Hermawan Kartajaya," sindir David. liputan6


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar