Arsyadjuliandi Rachman Gubernur Riau, Harapkan Jokowi Perhatikan Riau

Ahad, 19 Oktober 2014 - 16:59:14 wib | Dibaca: 1707 kali 

Gagasanriau.com Pekanbaru-Dengan dilantiknya presiden terpilih Joko Widodo, Pemerintahan Provinsi Riau mengharapkan pemimpin baru Indonesia ini agar lebih peduli melalui kebijakan anggaran untuk membiayai pembangunan daerah di Bumi Lancang Kuning ini, demikian disampaikan oleh Pelaksana Tugas Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman. "Semoga pemerintahan yang baru bisa memberi perhatian lebih pada Riau, khususnya mengenai APBN karena APBD Riau tak mencukupi untuk membangun daerah, padahal provinsi ini tempat investasi perusahaan nasional dan multinasional," kata Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman di Pekanbaru, Minggu. Menurut dia, banyaknya investasi yang masuk ke Riau serta pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang cepat, tidak seimbang dengan alokasi APBN yang diberikan pemerintah pusat untuk Riau. "Untuk menanggung beban pembangunan terasa tak seimbang dengan anggaran yang ada," katanya. Ia berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) bisa lebih besar memberikan dukungan ke Riau yang ingin menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Sumatera. "Ini sejalan dengan Visi Riau 2020, yakni berhajat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan Melayu di bentangan Asia Tenggara," katanya. Sementara itu, Guru Besar Universitas Riau, Prof Dr Almasdi Syahza menilai saatnya Pemprov Riau melobi Presiden Indonesia terpilih Jokowi untuk menuntut dana bagi hasil (DBH) bagi daerah produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO). "Sudah saatnya Gubernur Riau bersama daerah penghasil sawit lainnya untuk mulai melobi Presiden Indonesia terpilih, karena saya sendiri pesimistis kalau pemerintah dan DPR yang akan habis masa jabatannya pada Oktober akan memuluskan dana bagi hasil CPO," kata Almasdi Syahza kepada Antara. Almasdi yang juga anggota tim ahli perjuangan DBH CPO yang dibentuk Pemprov Riau itu mengatakan, 18 provinsi produsen kelapa sawit dari Sumatera dan Kalimantan menggelar pertemuan untuk merumuskan perjuangan menuntut DBH CPO, di Kota Pekanbaru pada Desember 2013. Menurut dia, Pemprov Riau telah lama mengusulkan agar ada bagi hasil sebanyak 20 persen dari bea keluar (BK) minyak sawit mentah yang disetorkan ke pemerintah pusat kembali ke daerah produsen. Dalam kesepakatan di Pekanbaru, 18 daerah penghasil sepakat menuntut bagian 80 persen bagi hasil dari BK CPO yang dibagikan ke daerah secara proporsional sesuai dengan luas lahan sawit. Menurut dia, baik Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian terus menolak usulan DBH CPO karena tidak adanya payung hukum yang mengaturnya. Penyebabnya secara spesifik dalam salah satu pasal menyebutkan komoditas perkebunan tidak termasuk yang bisa menerapkan DBH. Tanpa revisi itu, DBH dari CPO bakal sulit karena tidak bisa menggunakan UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai agar daerah penghasil tembakau bisa mendapatkan DBH. Ia mengatakan Kementerian Pertanian telah mengusulkan ada revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan pada 2013. Namun, Almasdi mendapatkan informasi bahwa parlemen tidak juga meloloskan komponen DBH CPO. "Salah satu kesalahan Riau dan daerah lainnya adalah tidak mengawal proses revisi di DPR. Ketika pemerintah sekarang berganti, maka ini peluang bagi Riau untuk memperjuangkannya lagi," ujarnya. Menurut dia, tim ahli sudah menghitung bahwa ada sekitar Rp25 triliun dana BK CPO dari Riau sejak 2010, yang paling tidak sekitar 20 persen diantaranya bisa dikembalikan ke daerah untuk mendorong pembangunan sektor perkebunan. Provinsi Riau memiliki luas perkebunan kelapa sawit lebih dari 3 juta ha, dengan produksi CPO 8 juta ton per tahun atau 30 persen dari total produksi nasional. "Perjuangan untuk mendapatkan DBH itu bukan tanpa alasan, karena pemerintah daerah bisa menggunakannya untuk meningkatkan kapasitas petani sawit swadaya berupa perbaikan jalan di perkebunan rakyat. Bahkan, dana itu bisa digunakan untuk pencegahan kebakaran lahan," ujarnya.


Loading...
BERITA LAINNYA