[caption id="attachment_2323" align="alignleft" width="385"] Wikana.jpg[/caption]
gagasanriau.com- Tahukah anda, ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, yang banyak berjasa adalah orang-orang kiri. Tak sedikit diantara mereka adalah kader-kader komunis. Mereka juga turut membentuk Republik Indonesia ini.
Salah satu diantara kader-kader komunis itu adalah Wikana. Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-Orang Kiri Di Persimpangan Kiri Jalan, berkesimpulan bahwa terdapat sejumlah kader komunis yang bekerja keras sekali untuk melincinkan jalannya Proklamasi. “Tanpa Wikana dan juga Mr Subardjo jalannya proklamasi kemerdekaan tidaklah akan begitu berjalan lancar,” kata Gie.
Sayang, sejarah resmi Indonesia mengabaikan fakta ini. Kita tidak perlu heran, jangankan orang-orang komunis, Soekarno pun pernah dihapus perannya di sekitar Proklamasi Kemerdekaan[1]. Memang, seperti dikatakan George Orwell, “cara paling efektif untuk menghancurkan rakyat adalah dengan mengingkari serta menghapuskan pemahaman mereka atas sejarahnya sendiri.”
Anak Priayi Berpikiran Revolusioner
Wikana lahir tanggal 16 Oktober 1914 di Sumedang, Jawa Barat. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, adalah seorang priayi dari Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan anak keempatbelas dari enambelas bersaudara.
Salah seorang kakaknya, Winanta, adalah salah satu tokoh pemimpin PKI di tahun 1920-an. Namun, akibat pemberontakan PKI yang gagal tahun 1926/1927, Winanta turut dibuang ke Boven Digul. Wikana banyak belajar politik dari kakaknya itu.
Wikana mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan dan MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di sekolah, Wikana dikenal sebagai anak yang cerdas. Tahun 1932, Wikana lulus dari MULO. Tahun itu juga ia terjun ke gelanggang politik. Ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo).
Benedict Anderson melalui bukunya, Revoloesi pemoeda: pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa 1944-1946, menceritakan bahwa Wikana sempat menjadi anak didik Bung Karno. Wikana juga sering menulis di koran yang diasuh oleh Bung Karno, Fikiran Rakjat.
Pada tahun 1937, beberapa pentolan Partindo dan aktivis komunis berkolaborasi membentuk organisasi bernama Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Partai ini sangat anti-fasis dan berhalua kiri. Wikana segera bergabung pula dengan organisasi ini. Ia dipercaya sebagai Ketua Barisan Pemuda Gerindo.
Saat itu, seperti diyakini oleh Soe Hok Gie, Wikana sudah menjadi kader komunis di Gerindo. Namun, karena aktivis komunis masih dikejar-kejar oleh Belanda, PKI bergerak ilegal. Namun, supaya propaganda PKI tetap hidup, mreka menerbitkan koran “Menara Merah”.
Wikana menjadi agen penyebaran “Menara Merah” di Jawa Barat. Ia di bawah koordinasi tokoh PKI bernama Pamoedji. Bulan Juni 1940, koran gelap tersebut tercium Belanda. Satu juta eksemplar disita oleh pemerintah kolonial. Sejumlah aktivis ditangkap karena dianggap penyebar koran terlarang ini. Diantaranya: Wikana, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna. Ia baru keluar penjara setelah Jepang menduduki Indonesia tahun 1942.
Pelakon Di Seputar Proklamasi
Di bawah pendudukan Jepang, Wikana bekerja di grup Kaigun (angkatan laut Jepang). Di grup Kaigun ini juga ada Ahmad Subardjo, pentolan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda.
Menurut penuturan Sidik Kertapati dalam “Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945”, aktivitas Wikana di Kaigun mendapat restu dari PKI. “Di dalam pekerjaannya itu, Wikana biasanya membicarakan segala sesuatunya dengan Aidit,” kata Sidik Kertapati. Supaya aktivitasnya tidak terendus, Wikana menggunakan nama samaran “Raden Sunoto”.
Untuk menyaingi Rikugun (Angkatan Darat Jepang) dengan Institut politiknya yang bernama “Angkatan Baru Indonesia”, Kaigun juga membentuk Institut politik bernama “Indonesia Merdeka”. Pimpinannya dipegang oleh Wikana. Institut ini rajin menggelar pendidikan politik bagi pemuda-pemudi. Bung Karno dan Bung Hatta sering diundang sebagai pengajar di Institut ini.
Di bulan Agustus 1945, kekuatan fasisme Jepang mulai berada di bibir kehancuran. Tanggal 11 dan 12 Agustus 1945, mahasiswa-mahasiswa di Ikadaigaku mulai mendengar kabar kekahalan Jepang dari kaum pekerja Indonesia di radio militer Jepang.
Tanggal 14 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang mulai tersiarkan luas. Sehari kemudian, di Asrama Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia), di Tjikini 71, terjadi pertemuan atas inisiatif Aidit. Usai pertempuan itu, Aidit menghubungi Wikana untuk hadir dalam pertemuan yang lebih besar di belakang Institut Bakteriologi Pegangsaan.
Wikana menghadiri pertemuan itu. Hadir pula pemuda lainnya, seperti Chaerul Saleh, Aidit, Djohar Nur, Pardjono, Armansjah, Subadio, Suroto Kunto, Sudewo, dan lain-lain. Pertemuan inilah yang melahirkan keputusan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan.
Pertemuan itu kemudian mengutus Wikana, Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto untuk menemui Bung Karno. Wikana tampil sebagai juru-bicaranya. Kepada Bung Karno, Wikana menyampaikan hasil rapat, bahwa Bung Karno harus segera mengumumukan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.
Menanggapi permintaan pemuda, Bung Karno mengaku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ia meminta diberi kesempatan untuk merundingkan hal itu dengan pemimpin lainnya, termasuk Bung Hatta.
Sayang, hasil perundingan tokoh itu cukup mengecewakan. Para tokoh itu menolak keinginan para pemuda. Bung Hatta, yang mewakili tokoh itu, mengaku tidak bisa melangkahi Jepang.
Wikana dan Aidit kemudian pulang tanpa hasil. Keduanya segera melaporkan hal itu ke grup pemuda di Tjikini 71. Pertemuan yang lebih luas kembali digelar. Para pemuda bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan tetap harus dilakukan. Namun, kali ini tidak menunggu para tokoh, termasuk Bung Karno, melainkan langsung oleh “Rakyat Indonesia”.
Namun, untuk mencegah reaksi Jepang, pemuda bersepakat untuk mengungsikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Daerah itu merupakan pusat gerakan anti-fasis. Itulah yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”.
Wikana sendiri tidak ikut dalam rombongan yang membawa Bung Karno ke Rengasdengklok. Di rumahnya, di Jalan Garuda 60, Wikana menggelar pertemuan dengan sejumlah pemuda, seperti AM Hanafie, Aidit, Pardjono, Djohar Nur, dan lain-lain, untuk persiapan kemerdekaan.
Namun, rupanya, para pemuda berhasil mencapai kesepakatan dengan Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok. Akhirnya, Proklamasi kemerdekaan bisa dilangsungkan tanggal 17 Agustus 1945.
Berakhir Tragis
Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada keinginan membentuk Partai Negara sebagai alat pemersatu bangsa. Partai itu mengambil nama Partai Nasionalis Indonesia. Tanggal 27 Agustus 1945, nama Wikana tercantum dalam kepengurusan PNI. Tetapi, usia PNI tidak lama karena ide partai negara ditolak banyak pihak.
Tanggal 1 September 1945, bertempat di markas Menteng 31, para pemuda sepakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Wikana ditunjuk sebagai Ketuanya. API memainkan peranan penting dalam aksi-aksi perebutan perusahaan Belanda di masa awal Revolusi. Diantaranya, aksi perebutan Perusahaan Jawatan Kereta Api.
Pada 10-11 November 1945, di Jogjakarta, berlangsung Kongres Pemuda Indonesia. 29 organisasi pemuda ikut dalam Kongres itu, termasuk API. Wikana menjadi delegasi API. Dalam pertemuan itu, 7 organisasi pemuda sepakat melebur membentuk Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua.
Pada bulan Maret 1946, Kabinet Sjahrir yang kedua dibentuk. Saat itu, Wikana mendapat posisi sebagai Menteri Negara. Pada Oktober 1946, di kabinet ke-III Sjahrir, Wikana kembali mendapat posisi Menteri Negara. Kabinet inilah yang melakukan perundingan dengan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat.
Bulan Juni 1947, Kabinet Sjahrir jatuh akibat mosi tidak percaya dari sayap kiri. Bung Karno kemudian menunjuk Amir Sjarifuddin, seorang tokoh PKI, membentuk Kabinetnya. Saat itu, Wikana kembali mendapat posisi sebagai Menteri Negara. Namun, di Kabinet Amir yang ke-II, Wikana menduduki posisi Menteri pemuda.
Namun, kabinet Amir pun jatuh karena perjanjian renville dan manuver sayap kanan. Kejatuhan Amir sekaligus menandai berakhirnya “pemerintahan sayap kiri” di Indonesia. Hatta kemudian membentuk Kabinet Baru tanpa menyertakan kaum kiri. Sementara itu, kaum kiri yang sudah bernaung di bawah Front Demokrati Rakyat (FDR) makin mengambil posisi berjarak dengan pemerintah.
Pada akhir Februari 1948, Bung Hatta memulai pukulannya terhadap kaum kiri. Saat itu keluarkan Penetapan Presiden No. 9 tahun 1948, yang di dalamnya mengatur soal reorganisasi tentara. Disusul Penetapan Presiden No.14 tahun 1948 tentang rasionalisasi tentara.
Kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi (Rera) Bung Hatta itu dianggap oleh kaum kiri sebagai “red drive proposal”-nya imperialisme AS. Pada kenyataannya, Rera ini memang melucuti laskar-laskar rakyat, terutama laskar kiri. Peristiwa inilah yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. Ribuan kader PKI dibunuh saat itu.
Wikana sempat menghilang pasca peristiwa Madiun. “Kita nggak ketemu dua tahun,” ujar Lenina Soewarti, anak Wikana, kepada majalah Historia. Tahun 1953, Wikana sempat menjadi anggota Konstituante. Pada kongres PKI ke-4 tahun 1954, Wikana masuk CC-PKI. Wikana juga sempat menjadi anggota DPA pada 1963. Lalu, pada 1965, ia menjadi anggota MPRS.
Menjelang peristiwa G.30/S, Wikana berserta beberapa delegasi PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Ia kembali ke tanah air 10 Oktober 1965. Tiba di bandara Kemayoran, Wikana langsung ‘diambil’ tentara.
Namun, Wikana masih sempat dilepas. Namun, Juni 1966, Wikana kembali diambil lagi oleh tentara. Sejak itulah Wikana tidak kembali lagi. Keluarganya pun tidak tahu di mana rimbanya. Wikana “dihilangkan” oleh militer pendukung orde baru.
Aditya Thamrin ([email protected])