Tulisan (writing) itu sendiri dapat digolongkan pada dua kategori, yakni tulisan ilmiah dan tulisan ilmiah populer. Tulisan ilmiah banyak muncul di jurnal-jurnal ilmiah, sementara tulisan ilmiah populer disiarkan oleh media massa.
Persoalannya, masih banyak mahasiswa dan dosen di Indonesia yang merasa kesulitan untuk membuat tulisan ilmiah, apalagi tulisan ilmiah populer. Bahkan dosen yang sudah maraih gelar doktor dan menjadi guru besar yang tulisannya banyak dimuat di jurnal ilmiah pun masih menghadapi kesulitan untuk mengubah tulisan ilmiahnya menjadi tulisan ilmiah populer.
Akibatnya, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian terkesan seperti "Menara Gading". Karya besar mereka hanya bisa dibaca oleh kalangan Civitas Academica sendiri, sementara publik tidak mendapatkan manfaat dari karya tulis kalangan kampus itu.
Lain halnya kalau mereka juga bisa menulis di media massa, yakni dengan "mengubah" gaya karya tulis ilmiah mereka menjadi karya tulis ilmiah populer, sehingga masyarakat umum pun bisa mengambil manfaat dari buah pemikiran kalangan berpendidikan tinggi itu.
Dalam bahasa Inggris, "writing" itu sendiri pada hakekatnya merujuk kepada dua hal, yaitu sebagai kata benda (tulisan) dan sebagai kata kerja (menulis). Kegiatan menulis yang kemudian menghasilkan tulisan adalah proses pembentukan kata-kata pada sebuah media, sehingga lahirlah teks-teks.
"Writing" adalah representasi bahasa pada media tekstual dengan menggunakan beberapa tanda atau simbol. Pada masa milenium ke-4 sebelum masehi, kompleksitas perdagangan dan perkembangan administrasi membutuhkan kapasitas memori yang lumayan banyak, dan tulisan pada akhirnya menjadi salah satu metode perekaman terpercaya yang permanen.
Berdasarkan paparan tersebut, secara singkat dapat disimpulkan bahwa budaya menulis perlu dikembangkan, bukan hanya sejak seseorang masuk ke perguraun tinggi, melainkan secara ekstrim bahkan sedini mungkin, yakni sejak seorang anak mengerti tentang baca-tulis.
Budaya menulis dan membaca sangat membantu proses belajar dan mengajar di sekolah pada khususnya, dan di masyarakat pada umumnya. Kita belajar untuk menjadi pandai tidak lepas dari kegiatan membaca dan menulis, meskipun banyak metode lain yang juga bisa digunakan agar seseorang menjadi pandai dan cerdas.
Budaya menulis bahkan sangat membantu memperlancar hubungan dan interaksi sosial antar-individu dan kelompok masyarakat, sehingga akan dapat memperlancar hubungan kerjasama dalam menyelesaikan segala persoalan, termasuk bahkan menyelesaikan sengketa antar-bangsa.
Melalui tulisan lah kita bisa memberikan sumbangan kepada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan sebagainya demi peningkatan kesejahteran hidup masyarakat. Pada era teknologi informasi yang maju pesat dewasa ini pun tulisan tetap merupakan media komunikasi yang diandalkan.
Terkait soal Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mewajibkan mahasiswa S1, S2, dan S3 menulis makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan, ternyata kebijakan itu menimbulkan pro dan kontra. Pertanyaannya, apakah universitas sudah siap? Jawabannya, ternyata banyak yang tidak siap.
Dari banyak pemberitaan, tampak bahwa hanya perguruan tinggi yang sudah mapan saja yang relatif siap menerapkan persyaratan itu, seperti UNAIR, ITS, UNPAD, ITB, UI, IPB, UNDIP, UNHAS, dan UNSOED, sedangkan bagi perguruan tinggi yang kecil, kebijakan ini nampaknya masih menjadi masalah yang relatif pelik.
Sejatinya, masalahnya relatif sederhana serta tidak akan menjadi persoalan besar bagi perguruan tinggi manapun jika para mahasiswanya dibiasakan menulis sejak awal masa perkuliahan. Kita ambil contoh, mahasiswa harus terbiasa atau diwajibkan membuat paper dua kali dalam seminggu.
Karena sudah terbiasa menulis, seandainya seorang lulusan harus membuat ringkasan 10 halaman dari skripsinya yang kira-kira 100 halaman untuk dimuat di jurnal ilmiah, maka bagi yang bersangkutan kewajiban itu bukan merupakan hal yang sulit.
Namun hal yang paling penting dalam penerapan peraturan ini adalah perlunya pendekatan secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya kesejahteraan dosen yang harus diperbaiki, sementara di sisi lain kehadiran dosen harus lebih optimal serta kurikulum harus memungkinkan mahasiswa untuk terampil menulis.
Selain itu kepustakaannya juga harus ditambah, buku- bukunya terus diupdate, dan akses digital untuk para mahasiswa diperluas agar tulisan mereka juga bisa dimuat secara online.
Bernilai Ibadah
Dalam teks Al-Qur'an secara kontekstual juga dapat dipahami bahwa menulis merupakan "kewajiban" dengan adanya perintah kewajiban membaca. Tulisan, bagaimanapun, demikian berguna bagi kehidupan masyarakat secara luas.
Jika memang demikian halnya, maka menulis haruslah digalakkan. Tidak hanya bagi kalangan akademisi. Alangkah membanggakan kalau kalangan dunia usaha, penegak hukum, pejabat, bahkan ibu rumah tangga pandai menulis, sehingga dengan begitu buku-buku mengenai segala macam profesi akan bisa didapatkan dengan mudah.
Dalam kaitan ini pemikir Islam terkemuka Imam Ghazali menyatakan, "Manakala yang dicita-citakan itu baik serta mulia, maka pasti akan sulit ditempuh serta panjang jalannya".
Beliau pun pernah mengingatkan bahwa "Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun".
Tidak mudah memang. Perlu ketekunan dan kerja keras agar kita pandai menulis. Tetapi sejatinya kita pasti bisa! Karenanya perlu pula disadari bahwa menulis adalah ibadah dan menuangkan pikiran melalui tulisan adalah juga bernilai sedekah.
Oleh Aat Surya Safaat*
Penulis, Wartawan Senior Kantor Berita ANTARA