Patrianef: Stop Praktek Perpeloncoan yang Kejam Dalam Pendidikan Dokter Spesialis

Kamis, 04 Agustus 2016 - 19:55:31 wib | Dibaca: 20374 kali 
Patrianef: Stop Praktek Perpeloncoan yang Kejam Dalam Pendidikan Dokter Spesialis
Patrianef

GagasanRiau.Com Jakarta - Ternyata keagungan dunia dokter spesialis, tidaklah didapat dengan mudah dan gampang, selain soal kesempatan waktu dan uang, para calon dokter spesialis ini ternyata juga harus melewati masa perpeloncoan yang kejam dan kasar dari para seniornya dan ini telah terjadi dalam rentang waktu cukup lama.

"Sebenarnya saya juga masuk dalam lingkaran ini dan awalnya tidak peduli karena mencoba perbaikan scara internal, tapi ini sudah di atas batas ambang kesabaran, ketika saya melihat yunior mahasiswa dokter spesialis menangis oleh ulah seniornya," kata Patrianef, Staf Pengajar di Program Pendidikan Dokter Umum, Spesialis dan Subspesialis UI.

Sebagai contoh kesemena-menaan senior ini, seseorang yang baru masuk di pendidikan spesialis ini akan bertugas jaga setiap hari selama sebulan, jika berani bertanya maka akan ditambah jaganya selama 15 hari.

Dibagian lain, katanya, seorang peserta didik bisa menghabiskan uang banyak untuk membiayai makan makan seniornya selama 6 bulan pertama pendidikan.

"itu diluar pengetahuan staf pengajar, atau pura pura tidak tahu saya juga tidak tahu," kata Patrianef.

Menurutnya, ada yang salah dengan pendidikan dokter spesialis Indonesia, dalam konteks hubungan senior dan yunior, penderitaan dan kesengsaraan dianggap hal yang wajar. Kekasaran dan kebengisan senior dianggap bagian cara mendidik yunior sehingga lebih tahan menghadapi tekanan didunia nyata. Hal itu sering dimanfaatkan oleh residen senior sehingga pembullian yang mereka lakukan selalu ada pembenaran dan selalu ada alasan.

Patrianef bersuara karena sudah tak tahan, seperti hari ini, Kamis (4/8/2016) dia  menerima "screen capture" dari WA antara residen dalam salah satu bidang ilmu spesialis, dimana di sana percakapan berobah menjadi anjing, monyet dan binatang lainnya.

"Basah mata saya membacanya. Generasi muda dokter calon spesialis memiliki bahasa yang sangat kasar dan memalukan. Kita seolah berada didalam kebun binatang. Mohon maaf" screen shoot" nya tidak akan saya lampirkan dan tidak akan saya sebarkan. Karena juga ikut memalukan saya sebagai pendidik. Ini hanya potongan kecil dari sebuah potongan besar ditangan saya," kata Patrianef, yang juga menyatakan, sudah saatnya kita mengoreksi diri bersama

"Saya juga staf pengajar mulai dari S1, Profesi Dokter, Spesialis dan Subspesialis, selama proses pendidikan kepada murid murid saya, saya belajar untuk menggunakan bahasa yang santun, karena saya ingin mereka juga menggunakan bahasa yang santun," katanya.

Patrianef juga sadar, apa yang dikatakannya ini akan ada bantahan, tetapi dia hanya ingin memperbaiki keadaan, agar pendidikan spesialis di Indonesia menjadi pendidikan yang bermartabat dan manusiawi.

"Boleh saja kita berbantah bantahan, tetapi ini adalah fakta yang harus kita akui, sehingga seorang sejawat saya berhenti pendidikan spesialis karena kehabisan uang," katanya.

Memang hal ini bukan dilakukan institusi, tetapi pembiaran oleh institusi juga merupakan suatu kesalahan besar. Juga bukan dilakukan oleh semua senior, tetapi pembiaran oleh senior lain juga merupakan suatu kekeliruan besar.

"Batas antara bulli dengan disiplin memang susah. Tetapi menyuruh yunior jaga terus menerus adalah pembullian, menyuruh yunior membayarkan tiket pesawat adalah pembullian, menyuruh yunior membawa mobil dan mengantarkan istri ke pasar adalah pembullian. Memaksa yunior mengisi kulkas dan kamar jaga dengan makanan, adalah suatu pembullian, memaksa yunior membiayai makan senior jaga adalah pembullian," tukasnya.

Karena itu kata Patrianef, saatnya kita harus introspeksi sistem pendidikan kita, saatnya kita melihat kedalam. Saatnya kita bercermin, melihat muka sendiri, melihat bopeng sendiri, melihat borok sendiri.

"Saya tahu hal ini kontroversial, tetapi kalau tidak kita buka, akan terus berjatuhan korban korban pembullian bagi yunior kita. Saatnya kita menghargai dokter dokter yang ingin bersekolah dengan wajah ramah dan tangan terbuka. Kita hargai mereka sebagai sejawat yang ingin melanjutkan pendidikan. Kita sayangi mereka sebagai generasi penerus kita," ujarnya.**/nda
 


Loading...
BERITA LAINNYA