GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Jikalahari, ICEL, TuK INDONESIA, Walhi dan beberapa tokoh nasional secara tegas meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut izin konsesi HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP, APRIL Grup).
Anak perusahaan milik Sukanto Tanoto ini melakukan pembangkangan terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk perlindungan gambut bekas terbakar dengan alasan bisnis semata.
TuK INDONESIA telah memeriksa data keuangan secara saksama dan menduga kuat bahwa alasan utama PT RAPP menolak mematuhi revisi Rencana Kerja Usaha (RKU)—untuk mengubah fungsi gambut dalam areal kerjanya menjadi lindung—adalah lantaran 60% landbank-nya memang berada di kawasan gambut. Sepanjang 2010 – 2016, PT RAPP melalui perusahaan induknya, APRIL Group, mendapatkan pinjaman sebesar USD5,8 miliar atau setara dengan Rp 79 triliun dari 43 bank dan lembaga jasa keuangan. Beberapa pinjaman ini akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
“Jika RKU PT RAPP direvisi dan areal gambut dijadikan fungsi lindung, maka kapasitas produksi dan nilai asetnya akan turun drastis. Ujung-ujungnya, hal ini akan membuat PT RAPP kesulitan membayar utangnya. Landbank yang faktanya adalah lahan gambut akan menjadi stranded assets, artinya nilai total asetnya akan merosot tajam,” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.
“Kreditor APRIL dapat mengajukan tuntutan atas aset perusahaan dan anak perusahaannya – termasuk RAPP-- bila APRIL tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pelanggannya. Saat hal ini terjadi, maka kreditor bisa mengklaim asetnya,” tambah Rahmawati.
Melalui pemetaan struktur kepemilikan APRIL Group (induk PT RAPP), jelas APRIL Group adalah perusahaan asing, basisnya bukan di Indonesia. Sumber pinjamannya mayoritas adalah dana asing: 50% dari bank China dan 32% berasal dari bank Taiwan. Sisanya berasal dari Eropa, Arab Saudi dan hanya sebagian kecil dari Indonesia.
Dengan fakta yang demikian, patut diduga bahwa bank-bank asing penyandang dana APRIL berada di belakang pembangkangan ini, mengingat besarnya kepentingan mereka atas kelancaran pengembalian dana yang telah dikucurkan sebelumnya.
Massifnya peran bank asing membiayai praktik korporasi yang dampaknya sangat buruk di negara kita dan yang akan terus merisikokan hutan Indonesia, tentu memerlukan campur tangan Negara untuk memperbaikinya.
“Kebijakan negara yang menegaskan pilihan dan sikap keadilan lingkungan dan sosial sudah tercermin dalam regulasi yang diterbitkan, sehingga mutlak untuk ditegakkan. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan bisnis PT RAPP,” kata Wiwin, sapaan Direktur Eksekutif TuK INDONESIA itu.
Lebih lanjut, melihat kompleksitas struktur perusahaan yang didirikan di negara-negara surga pajak, disarankan juga Negara menyelidiki adanya potensi tindak pidana pencucian uang, korupsi dan keterlibatan politically exposed persons (PEPs) dalam praktik korporasi tersebut.
Secara regulasi, kebijakan penolakan KLHK terhadap RKU PT RAPP yang tidak tunduk pada kepentingan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut merupakan putusan yang tepat.
Henry Subagyo, Direktur ICEL menyebutkan seharusnya PT RAPP mengajukan perbaikan RKU yang mengakomodasi berbagai regulasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang merujuk pada PP 71/ 2014 jo. PP 57/ 2016.
“Seharusnya RAPP memperbaiki RKU, bukan malah melakukan gugatan. Memperbaiki RKU akan memperlihatkan RAPP berkomitmen melindungi ekosistem gambut, namun dengan menggugat kebijakan pemerintah, terbukti RAPP tidak memiliki kepedulian sama sekali,” kata Henry.
Made Ali, Wakil Kordinator Jikalahari menyebutkan bukti ketidakpedulian PT RAPP terhadap perlindungan ekologis dapat dilihat dari turut andilnya PT RAPP dalam laju kerusahan hutan dan ekosistem gambut di Riau. Investigasi Jikalahari pada Januari 2017 menemukan PT RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, yang izinnya tengah dihentikan sementara merencanakan pembukaan kanal baru di area bekas terbakar yang merupakan kawasan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter.
Dalam catatan Jikalahari, PT RAPP terlibat dalam perkara korupsi kehutanan dan kebakaran hutan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelusuran putusan pengadilan terkait kasus korupsi penerbitan izin kehutanan di Riau, untuk produksi pulp and paper, PT RAPP menerima pasokan dari 15 perusahaan yang terlibat dalam korupsi kehutanan yang juga melibatkan 2 Bupati, 3 Kepala Dinas Kehutanan serta Gubernur Riau.
“Dalam dokumen dakwaan dan pertimbangan putusan disebutkan bahwa salah satu pengurus PT RAPP, Ir. Rosman, terlibat dalam proses suap menyuap penerbitan izin tersebut dan PT RAPP memperoleh keuntungan Rp939.294.134.388,29 dari penebangan hutan alam tersebut,” kata Made.
Menurut Even Sembiring, Manager Kajian Kebijakan Walhi, isu PHK—yang dijadikan PT RAPP sebagai dasar penolakan terhadap kebijakan merevisi RKU dan menjadikan ekosistem gambut dalam area kerjanya menjadi fungsi lindung—seharusnya bisa diselesaikan dengan baik. Ada mekanisme perhutanan sosial yang bisa mengakomodasi kepentingan buruh.
“Setelah pencabutan izin, distribusi eks-wilayah konsesi bisa disebar kepada buruh dan rakyat lainnya yang sudah mengalami konflik panjang dengan PT RAPP. Mengenai tata kelolanya tentu harus diatur tidak monokultur dan sesuai dengan kesesuaian ekosistem gambut,” kata Even Sembiring.
Tindakan PT RAPP yang berani menentang kebijakan pemerintah dengan menggugat keputusan MenLHK ke PTUN adalah bukti bahwa PT RAPP hingga saat ini belum menunjukkan langkah-langkah yang konkret untuk menjalankan kewajiban hukumnya dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan serta melindungi ekosistem di Riau.
"PT RAPP dan April Grup berkontribusi besar atas meninggalnya lima warga Riau pada 2015 akibat polusi asap pembakaran hutan. Berapa lagi nyawa warga Riau akan dibunuh oleh polusi asap korporasi?"
Untuk itu kami merekomendasikan agar:
1. Menteri LHK memberikan sanksi atas ketidaktaatan PT RAPP dalam menjalankan kewajibannya dengan mencabut IUPHHKHTI.
2. Menteri LHK mencabut seluruh izin IUPHHKHT PT RAPP di atas lahan gambut
3. Majelis Hakim PTUN menolak gugatan PT RAPP dan menyatakan Surat Keputusan MenLHK yang memerintahkan PT RAPP harus merevisi RKU sesuai dengan ketentuan dan harus ditaati.
Narahubung;
Edi Sutrisno, TuK Indonesia, 08128748726
Henri Subagyo, ICEL, 081585741001
Boy Sembiring, Walhi, 08117677255
Made Ali, Jikalahari, 081275311009
Editor Arif Wahyudi