gagasanriau.com ,Tulung Agung-Menulis gagasan secara baik, lengkap, dan bermakna merupakan bakat. Ketrampilan atau keahlian menulis adalah bakat menulis yang ditekuni.
Membutuhkan jiwa patriot untuk menongolkannya. Gigih mencoba dan mengasah, bersemboyan belajar sepanjang hayat. Meski kaya teori segunung, jika miskin keberanian untuk mengasah dan membudayakannya, bakat keren ini ogah nongol, setia terkubur menjadi bakat aneh bin ajaib.
Orang-orang cerdas pandai, belum tentu mahir menulis, belum tentu mampu mengarang karya sastra. Bahkan para guru bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, yang secara teori ketatabahasaan lebih mumpuni, tidak gampang menjadi penulis atau pengarang.
Mereka harus bersaksi bahwa sesungguhnya dunia kepenulisan banyak syarat atau tata aturan, memiliki kaidah-kaidah ketat, tidak asal mengeluarkannya segampang ngomong.
Mereka harus gigih melintasi rentetan pengalaman, belajar pantang gentar melalui pelatihan maupun otodidak. Sememangnya menulis itu tidak gampang. Apalagi menjadi penulis sekaligus pengarang. Lebih tidak gampang.
Kabar bagusnya, sebagaimana kegiatan lain, menulis juga bakal menjadi gampang jika dilakukan dengan cinta dan bahagia. Bahkan menulis kisah menyedihkan juga harus dilakukan penuh kebahagiaan.
Sebagaimana disampaikan Bunda Zakyzahra Tuga, pengasuh Pena Ananda Club Tulungagung, ketika diminta pendapatnya, apakah menulis itu gampang atau tidak.
“Ini bukan pesimis,” tegas perempuan energik yang kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya itu,“Melainkan ungkapan jujur jika saya sepakat bahwa menulis itu tidak gampang. Tetapi perkara yang pada awalnya tidak gampang, bakal menjadi sangat gampang, jika kita melakukannya dengan cinta dan gembira. Itulah yang kelak menggampangkan kita ketika menulis.
Percayalah, jika membenci kegiatan menulis, kita tidak akan mampu menuangkan ide gagasan dalam bentuk tulisan, meski itu tentang kisah cinta membahagiakan.”
Hanya memang limpahan cinta dan bahagia ketika menulis tidak tumbuh tiba-tiba seperti cinta pada pandangan pertama. Semuanya berangkat dari pembiasaan dan pembudayaan sejak dini.
“Jadikan menulis sebagai kebiasaan keseharian,” saran pembimbing ekstra kurikuler kepenulisan di beberapa sekolah. “Inilah kunci keberhasilan dalam menekuni dunia kepenulisan. Jadikan menulis sebagai kebutuhan hidup atau seperti makanan saban hari yang selalu kita cari untuk memenuhi rasa haus dan lapar.
Jika menulis bukan lagi sebagai beban, maka dengan sendirinya menumbuhkan rasa cinta dan bahagia pada kebiasaan keren ini. Ungkapan witing tresna jalaran saka kulina atau tumbuhnya rasa cinta lantaran kebiasaan, berlaku pula di dunia kepenulisan.
Bukankah kita selalu mencintai dan bahagia ketika melakukan kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan kita? Maka tidak ada cara lain untuk membangkitkan bakat menulis, kecuali lakukan dan budayakan.”
Selain itu seorang penulis atau pengarang juga harus memiliki rasa percaya diri dan keberanian bertarung dengan karya-karya orang lain. Menurut perempuan yang juga sebagai pendamping Jurnalis Warga Tulungagung ini, hal ini penting untuk mengukur sejauh mana tingkat kemampuan menulis.
Banyak penulis yang sesungguhnya memiliki bakat dan kemampuan bagus, tetapi kurang percaya diri menampilkan karya-karyanya. Ini bakal menjadi batu sandungan tersendiri ketika kelak menekuni dunia kepenulisan.
”Ada banyak jalan untuk menjajal kemampuan menulis,” ungkapnya,“Seperti mengikuti perlombaan kepenulisan yang sekarang marak digelar. Menulis di blog, catatan di media-media sosial, juga akan memperbesar peluang percepatan keberhasilannya.”
Bunda Zakyzahra Tuga suka sekali membangkitkan keberanian para penulis cilik bimbingannya melalui beberapa lomba menulis. Ia sendiri secara langsung memberi contoh dengan menyempatkan mengikuti beberapa lomba kepenulisan tingkat nasional, baik fiksi maupun nonfiksi.
Pegiat literasi Tulungagung yang sangat gigih ini, boleh dibilang penulis sekaligus pengarang, hidup di dua dunia, fiksi dan nonfiksi. Bukan pencapaian sepele. Seorang penulis belum tentu mampu jadi pengarang, demikian sebaliknya. Ia melakukannya dengan cinta dan gembira.
Menulis ilmiah dengan penelitian dan referensi njlimet oke, menulis karya sastra dengan imajinasi liar juga oke. Akhir tahun kemarin, sosok komplit ini berhasil menyabet juara 3 nasional lomba karya tulis ilmiah yang diselenggarakan Kemenpan-RB untuk kategori LSM dan juara 1 nasional lomba mengarang cerpen yang diselenggarakan Aruh Sastra Kalsel ke-IX.
Tetapi yang lebih membahagiakan adalah ketika berhasil mengantarkan 8 penulis cilik binaannya pada Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2012 kemarin.
Pada acara yang diselenggarakan Kemendikbud RI itu, cerpen berjudul “I Love My Mother, My Netbook” karya Cintyarinda ‘Cincin’ Budi Maharani, santriwati kelas V SDI Al Azhaar Tulungagung, meraih Juara II Menulis Cerpen tingkat Nasional. Penulis cilik berbakat ini salah satu santri di Klub Penulis Al Azhaar Tulungagung yang dibimbing Bunda Zakyzahra Tuga.
Nuraisah ‘Ais’ Maulida Adnani, santri kelas VI SDI Al Azhaar Tulungagung yang biasa dipanggil Ais, malah telah 2 kali terpilih sebagai peserta Konferensi Penulis Cilik Indonesia, tahun 2011 dan 2012. Dia juga salah satu santri di Klub Penulis Al Azhaar Tulungagung.
Bulan kemarin, Cinta Imtica Rahim, siswi kelas VI SDN 2 Gedangsewu Tulungagung, penggemar bacaan dan peserta didik Kelas Menulis di TBM Matahari yang dibimbing Bunda Zakyzahra Tuga, cerpen pertamanya berjudul “Tanaman Suci” siap dibukukan Penerbit Bentang bersama cerpen-cerpen karya penulis lain.
“Saya tentu bahagia ketika menjadi penulis produktif. Tetapi saya lebih bahagia ketika berhasil melahirkan penulis-penulis cilik berbakat. Apalagi di Tulungagung yang selama ini budaya menulis masih terbilang jauh ketinggalan ketimbang kota-kota besar. Tampilnya bibit-bibit penulis lokal Tulungagung ke pentas nasional, menurut saya layak mendapat apresiasi dan acungan jempol. Ini tentu terlihat biasa jika terjadi di kota besar yang memiliki budaya tulis tinggi.Tetapi di Tulungagung, pencapaian ini sangat istimewa.”
Bunda Zakyzahra Tuga mengakui bahwa sanggar PENA ANANDA CLUB lebih memfokuskan pembelajaran kepenulisan pada anak-anak atau pelajar. Menurutnya, mengenalkan dunia kepenulisan, tidak semudah ketika mengenalkan dunia baca. Tidak juga semudah menyanyi atau menggambar.
“Hampir setiap anak Indonesia dekat dengan dunia menyanyi dan menggambar, bahkan sejak bayi. Tetapi mereka sangat sedikit berkenalan dengan dunia bacaan apalagi dunia kepenulisan. Sanggar kepenulisan Pena Ananda Club giat mengenalkan bahwa dunia kepenulisan sejatinya sangat menyenangkan. Menulis dengan cinta dan gembira.
Itulah semangat yang selama ini kami dengungkan,” paparnya perempuan pegiat Tulungagung Membaca, yang saban Minggu pagi dapat ditemui di Cangkruk Baca dan Kreasi, alun-alun Tulungagung.
Selain membuka Kelas Menulis Kreatif untuk anak-anak sekolah, Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB juga membuka kelas menulis kreatif untuk orang tua, guru dan pustakawan.
Dibukanya kelas khusus untuk orang dewasa dan profesional ini, dengan harapan budaya menulis semakin menyebar di keluarga dan lingkungan mereka.
Selain kelas-kelas model pembelajaran rutin, Pena Ananda Club juga membuka pelatihan-pelatihan bersifat insidental. Sudah barang tentu acara diskusi terkait dunia kepenulisan dan sastra berlangsung saban hari di sanggar kepenulisan yang terletak tepat di selatan Pasar Pujasera Bangoan Tulungagung ini.
Selain mengisi pelatihan di sekolah-sekolah, Bunda Zakyzahra Tuga bersama Pena Ananda Club juga kerap menyebarkan virus menulis ke beberapa instansi dan lembaga pemerintah maupun swasta, serta beberapa lembaga swadaya masyarakat, utamanya di Tulungagung dan sekitarnya.
Belum lama ini, Juni 27-28, ia berkesempatan ke Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, menjadi narasumber Kelas Menulis Kreatif Anak Kepulauan selama 2 hari atas undangan Kantor Bahasa Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Sejarah berdirinya Pena Ananda Klub Tulungagung sesungguhnya sangat sederhana. Berangkat dari dorongan hati untuk menularkan kegemaran membaca dan menulis kepada anak-anak di kota Tulungagung.
“Ketika itu budaya menulis masih tergolong langka di Tulungagung. Sebagian besar pendidik masih mengategorikan sebagai aktivitas pembelajaran yang sulit diikuti pelajar.
Sementara di kota-kota besar, komunitas penulis cilik, dan pembelajaran kepenulisan untuk anak-anak, sudah mulai bermunculan, bahkan sudah ada yang berkembang baik.
Bahkan secara nasional, saat itu, telah ada Konferensi Penulis Cilik Indonesia. Ini sebuah tantangan besar yang sangat menarik. Maka dengan berbekal tekad, Bunda meninggalkan dunia kewartawanan lalu mendirikan dan merintis Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, tepatnya tanggal 1 Agustus 2008,” ungkapnya.
Di usianya lima tahun ini, Pena Ananda Club yang memiliki unit penerbitan indie juga telah menerbitkan 5 buku. Dua buku keren berjudul ‘The Pair Of Book And Friends’ dan ‘Rainbow In Love’ merupakan kumpulan novelet dan cerpen karya para pengarang muda Tulungagung. Demi mengapresiasi bibit-bibit muda Tulungagung, Bunda Zakyzahra Tuga berani merogoh kantong pribadi untuk membiayai penerbitan dua buku itu yang dicetak 2000 eksemplar.
Keberanian itu karena sudah mendapat jaminan dari dinas pendidikan untuk membantu pendistribusian dua buku itu ke sekolah-sekolah di Tulungagung. Sayang, hal itu tidak berjalan sesuai rencana.
Secara mendadak dan sepihak, Dinas Pendidikan Tulungagung batal mengapresiasi karya-karya penulis lokal berbakat. Sudah barang tentu ini menjadi pukulan bagi Bunda Zakyzahra Tuga dan Pena Ananda Club.
”Tetapi itulah perjuangan. Pena Ananda Tulungagung tetap maju gigih menyebarkan virus membaca dan menulis, membantu mengangkat bibit-bibit lokal ke tingkat nasional. Saya adalah penulis.
Selain menulis, hal membahagiakan adalah membangkitkan penulis-penulis baru,” tegas pengarang buku Jejak-Jejak Cahaya dan beberapa buku antologi ini.
Selamat ulang tahun ke-5 untuk Pena Ananda Klub Tulungagung. Semoga senantiasa gigih menyebarkan virus membaca dan menulis, kepada siapapun, di manapun.
(Siwi Sang — Jurnalis Warga Tulungagung)