Potret Kemalasan, Bukan Kemiskinan

Senin, 13 Januari 2020 - 15:55:22 wib | Dibaca: 3234 kali 
Potret Kemalasan, Bukan Kemiskinan
Tiga orang bocah mengemis di Jalan Batang Tuaka, Kelurahan Tembilahan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, (Foto FB: Dany Firdaus)

Terlihat tiga orang bocah berdiri di persimpangan lampu merah Jalan Batang Tuaka, Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, mengemis dan meminta-minta kepada pengendara lewat.
 
Tampak wajahnya yang polos berpakaian lusuh dan kumal menenteng gelas plastik disodorkan kepada para pengguna jalan saat lampu merah, berharap belas kasih dan uang recehan.
 
Banyak yang menilai sebegitu miskinkah rakyat Indragiri Hilir. Bahkan ada yang mencaci maki ditujukan kepada pemerintah daerah dengan dalih 'orang miskin dan anak terlantar dipelihara negara'. Sampai-sampai anak tersebut tidak bersekolah terbiar dan terabaikan di negeri hamparan kelapa dunia.
 
Menelisik keberadaan bocah tersebut, ternyata sudah pernah disambangi oleh orsos yang bergiat di Inhil, serta dinas terkait. Namun orang tua bersangkutan menolak untuk menitipkan anaknya ke Panti Asuhan.
 
"Sudah sering kami dari MPI membujuk dan nasehati ortunya. Tapi sebentar saja nurutnya, besok lusa kembali lagi kejalanan," sebut Dany Firdaus pengurus Masyarakat Peduli Inhil (MPI)
 
Kesimpulan yang bisa kita ambil, bukan berarti pemerintah dan orsos lakukan pembiaran, akan tetapi inilah potret kemalasan, bukan kemiskinan. Pasalnya perhatian dari dinas terkait sudah melakukan pembinaan sesuai kemampuan orang tua bersangkutan.
 
Hal itu terjadi lantaran faktor psikologis orang tua yang melihat peluang bahwa anaknya bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Pencaharian mereka akan terganggu jika ditangani oleh instansi pemerintah, Dinsos. 
 
"Memang mereka sengaja memanfaatkan anak untuk mengemis 'pekerjaan jalanan' karena untuk mengurangi beban dari dia," tegas Dany menyimpulkan adanya pembiaran anak untuk mendapatkan hak pendidikan.
 
Sungguh ironis ketika orangtua menganggap dirinya berkuasa penuh terhadap kehidupan anak. Ujungnya, orang tua merasa berhak menyuruh anak untuk bekerja di lingkungan yang berbahaya, di jalanan dikwatirkan tertabrak sepeda motor.
 
Apa yang harus dilakukan pemerintah menyikapi keadaan ini. 
 
Menurut pandangan pengacara muda, Yudhia Perdana Sikumbang berpendapat, orang tua seharusnya berperan sebagai pelindung utama anak, bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
 
Jika anak tersebut tidak terpenuhi haknya, baik hak pendidikan dan hak tumbuh optimal, orang tua si anak diduga lakukan pembiaran terhadap perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, yang dinilai telah lakukan eksploitasi anak secara ekonomi. Memanfaatkan anak untuk mengemis untuk kebutuhannya.
 
Kasus ini harus cepat ditangani, apalagi pemerintahan mencanangkan program ‘Kota Layak Anak’ akan tercoreng jika kurang merespon dan memetakan secara baik persoalan keluarga ini.
 
Yudhi menghimbau kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) bekerjasama dengan OPD terkair serta lintas sektor penggiat sosial menindaklanjuti agar kasus eksploitasi anak secara ekonomi tertangani dengan baik, dalam rangka menyelamatkan hak anak tersebut.
 
Tertuang dalam Pasal 76 I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah.
 
“Jadi, jika terbukti, orang tua yang memaksa anaknya mengemis, bisa dituntut dengan pasal eksploitasi anak secara ekonomi, terancam pidana 10 tahun dan denda Rp200 juta,” tegas Yudhi
 
Loading...
BERITA LAINNYA