GAGASANRIAU.COM, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyangkan sikap pemerintah yang tidak memberikan THR penuh kepada para ASN.
Demikian diungkapkan Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati, menanggapi keluarnya Nota Dinas Nomor ND-134/PB/2021 pada tanggal 28 April 2021 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pembayaran tunjangan hari raya tahun 2021 kepada aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun dan penerima tunjangan, serta tunjangan hari raya keagamaan tahun 2021 bagi pegawai non ASN.
Dimana, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa diantara komponen yang tidak dibayarkan adalah tunjangan kinerja. Padahal menurut Anis, tunjangan kinerja merupakan komponen yang nilainya cukup besar.
Dengan kondisi pandemi Covid seperti sekarang ini kata Anis, dikhawatirkan akan memengaruhi daya beli PNS. "Tunjangan kinerja yang diakumulasi dengan THR, idealnya berdampak pada lonjakan konsumsi rumah tangga. Total PNS di Indonesia itu ada sekitar 4 juta orang. Jumlah tersebut sangat besar dampaknya terhadap kekuatan konsumsi sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional," katanya dalam siaran pers, Minggu (2/5/2021).
Legislator asal Jakarta Timur menjelaskan, pada dasarnya pendapatan ASN terdiri dari pendapatan tetap (gaji pokok) dan pendapatan variabel (THR, tunjangan lainnya). Alokasi pendapatan tetap kata Dia, biasanya sudah terencana sedangkan pendapatan variabel biasanya untuk leisure. "Pada titik ini, keputusan memotong gaji tentu akan mengurangi belanja leisure," tandasnya.
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menyayangkan kebijakan pemerintah yang terkadang tidak bisa dilaksanakan secara optimal untuk mencapai tujuan yang salah satunya sebagai daya ungkit pertumbuhan.
"Terkadang satu kebijakan men trade off kebijakan lain. Sebagai contoh, Pemerintah sedang memberikan stimulus pada sektor industri properti dan kendaraan bermotor melalui insentif pajak (PPN dan PPnBM), di waktu yang bersamaan melakukan penghematan pengeluaran APBN dengan pemberian THR secara tidak full kepada PNS. Satu sisi berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat, namun sisi lain memberikan efek penurunan tingkat konsumsi karena pengurangan pendapatan," jelasnya.
"Terkadang, banyak hal yang tidak sesuai antara instruksi dengan kondisi di lapangan. Koordinasi inilah yang menjadi pekerjaan rumah di Indonesia," tegasnya.
Pada kasus THR ini, Anis menilai perlu koordinasi dilakukan agar momentum pertumbuhan ekonomi saat konsumsi tinggi dapat dimaksimalkan. Seharusnya kata Dia, Pemerintah dapat mengambil langkah konkrit untuk menggenjot pendapatan negara. "Semua amunisi ada di tangan pemerintah baik sebelum atau selama pandemi Covid-19," ujarnya.
Dulu sambungnya, tax amnesty juga digadang-gadang akan mampu menggenjot pendapatan negara. Tapi faktanya hingga sekarang masih belum terlihat bahkan shortfall perpajakan selalu terjadi.
Di saat pandemi, berbagai kebijakan dalam rangka pemulihan ekonomi dengan dana ratusan triliun sudah dilakukan. Bahkan berbagai kemudahan investasi dan fasilitas-fasilitas fantastis juga dikebut dengan UU Cipta Kerja.
Anis menekankan intinya adalah harus ada kebijakan yang “Adil". Tujuannya adalah untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. "Kita cukup melihat di depan mata bagaimana kasus Jiwasraya, Asabri, bahkan kasus korupsi dana bansos saat semua rakyat sedang susah. Semuanya terjadi dalam ranah "pelat merah"!yang seharusnya menjadi panutan dan tumpuan rakyat," pungkas Anis.