Parah Nih, Program Peremajaan Sawit di Riau Tahun 2022 Nol Persen 

Rabu, 04 Januari 2023 - 02:20:42 wib | Dibaca: 982 kali 
Parah Nih, Program Peremajaan Sawit di Riau Tahun 2022 Nol Persen 
Presiden Jokowi di depan petani kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, tahun 2017 saat meresmikan program pemerintah berupa peremejaan (replanting) kelapa sawit. (Foto: Setkab.go.id)

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Ternyata Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semakin sulit terjangkau oleh para petani sawit, termasuk di Riau. Pasalnya sejumlah persyaratan baru yang berliku harus dipenuhi petani membuat tahun 2022 ini realisasi program PSR di Riau nol persen alias tidak ada sama sekali, baik melalui jalur Kemitraan dan Jalur Disbun sebagaimana diatur dalam Permentan 03 tahun 2022.

Fakta tersebut disampaikannya Vera Virginia, Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Riau, dalam Diskusi Publik Problematika PSR di Riau yang ditaja oleh Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau, Selasa (27/12/2022).

"Tahun 2022 untuk pertama kalinya Riau tidak mendapatkan realisasi. Ini karena petani harus mengikuti persyaratan cukup banyak, berliku dan menyulitkan," kata Vera.

Kata dia dalam penjelasannya, program PSR yang sudah digulirkan sejak tahun 2016 belum dilakukan maksimal di Riau. Rata-rata realisasi luasan yang di-replanting hanya sekitar 30 persen dari alokasi setiap tahunnya yang ditargetkan Kementan seluas 20.000 hektar untuk Riau.

Terlebih lagi kata dia, sejak diberlakukannya aturan PSR yang baru melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, pengurusan PSR menjadi lebih rumit dan cenderung menghambat. 

Salah satu kesulitan ini karena menurut Vera syarat yang harus diurus melewati lintas kementerian seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK dan instansi lainnya.

"Syarat terbaru yang harus dipenuhi petani adalah adanya surat keterangan bebas kawasan lindung gambut. Ini tentu semakin berat dipenuhi karena 60 persen lahan perkebunan sawit di Riau memang berada di kawasan gambut dari Ditjend PPKL," ungkap Vera.

"Menurut saya peraturan bebas gambut di Permentan tersebut keterlaluan, tidak melihat Indonesia seutuhnya", lanjutnya.

Selama ini, sambungnya, untuk memenuhi syarat sebelumnya yakni bebas kawasan  hutan saja, itupun masih banyak petani sawit yang jungkir balik dan terganjal karena berdasarkan RT/RW Riau banyak perkebunan sawit rakyat masuk kawasan hutan, padahal sudah puluhan tahun lalu berdiri kebun sawitnya dan sudah perkampungan.

Vera menilai, sulitnya akses terhadap PSR ini menambah deretan "luka Riau" dan luka itu Berkelanjutan. Sebagai produsen hampir 34 persen CPO nasional, Riau malah tak didukung Kementerian Pertanian untuk memperbanyak serapan dana BPDPKS. Hal yang sama juga di alami oleh Provinsi sawit lainnya.

Ia mengatakan kucuran dana yang didapat Riau lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sangat minim akibat ribet nya peryaratan dan prosedur di Permentan 03 tahun 2022 tadi.

"Perkebunan yang sangat luas di Riau, tapi uang kita tidak kembali ke Riau dan tersimpan di pusat. Hanya sekitar 1,6 persen saja yang kita peroleh ke daerah yang angkanya sekitar Rp 1 triliunan, sementara dana di BPDPKS itu Rp 116 triliun" ujar Vera.

"Dampak kerusakan infrastruktur jalan sangat terasa dialami Riau, semua hancur karena beban tonasi truk. Tapi, kita tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki itu semua. Karena kita tidak punya dana. Saya melihat korporasi harus berjuang lebih kuat lagi dan lebih menunjukkan peran, jangan hanya petani sawit yang dibiarkan meraung-raung "Pak Gubernur Riau sudah dengan sekuat tenaga untuk keadilan dana sawit", kita semua stakeholder sawit harus satu gerbong " tutup Vera.

Senada dengan Vera, Sekjen DPP Apkasindo Dr. (Can) Rino Afrino, ST, MT, dalam pemaparannnya, juga menyoroti sejumlah regulasi yang semakin menyulitkan petani sawit se Indonesia, termasuk di Riau untuk dapat mengikuti program PSR.

"Ada sejumlah aturan yang menurut saya aneh bin ajaib. Bukannya mempermudah petani mendapat akses ke program PSR, tapi malah mempersulit. Padahal dananya ada dan dana itu bukan APBN tapi dana pungutan dari ekspor yang dibebankan ke petani rerata Rp240/kg TBS, untuk apa dibiarkan begitu saja," ujarnya.

Menurutnya harus ada solusi berupa revisi peraturan terkait PSR ini agar perkebunan sawit yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian sejumlah daerah, seperti Riau, dapat terus berjalan.

"Ini tantangan perkebunan sawit rakyat di Riau di masa mendatang. Produksi bakal terus menurun karena usia pohon sawit yang sudah tidak produktif dan harus direplanting, belum lagi jika kita melihat harga pupuk yang naik 300 persen setahun terakhir. Ini yang harus kita perjuangkan bersama karena kalau sawit di Riau anjlok, multiflier efeknya juga akan dirasakan sebagian besar masyarakat," katanya.

BPDPKS juga harus bekerja keras dan kreatif mencari resolusi untuk meningkatkan serapan dana yang terkait ke petani.

"Jangan hanya berlindung dengan alasan Permentan 03 tahun 2022 yang memberatkan serapan dana BPDPKS", tegas Rino.

Rino juga menjelaskan bahwa capaian PSR yang sangat buruk di 2022 khususnya. Realisasi program peremajaan sawit rakyat ditahun 2022 mencapai titik yang terendah dibanding tahun tahun sebelumnya.

Berdasarkan tabulasi sekretariat DPP APKASINDO, tercatat usulan PSR tahun di 2022 yang mendapatkan rekomtek dari Ditjenbun sekitar 17.908 ha (9,48%) dari total target tahun 2022 seluas 180.000 ha, itupun didominasi oleh PSR jalur kemitraan.

“Malah beberapa Provinsi gagal atau realisasi Nol Persen mengikuti PSR, yaitu Provinsi Riau, Bengkulu, Banten, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, Papua dan Provinsi sawit lainnya " tutupnya.


Loading...
BERITA LAINNYA