Yudhia Perdana Sikumbang
Oleh : Yudhia Perdana Sikumbang Member of APPI (Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia)
Banyaknya perkara korupsi itu rata-rata berawal dari bidang pengadaan barang/ jasa, hal ini terjadi karena proses pelaksanaan itu sendiri dan keterbatasan SDM, serta minimnya pengetahuan tenaga pengelola tentang aspek hukum, yang mana kemudian membuat ketakutan sendiri bagi pelaku pengadaan apakah itu pengelola ataupun penyedia Pengadaan barang/jasa sendiri.
Salah satu contoh adalah ketika kepala daerah takut dengan jeratan Tipikor ataupun takut di kriminalisasi karena dianggap salah melakukan tata kelola pengadaan disisi lain jika itu tidak dilakukan menjadikan serapan dana di daerah menjadi rendah hingga berujung pengendapan dana sehingga roda pemerintahan tidak berjalan dengan baik dikarenakan ketakutan hingga paranoid kepala daerah akan Tipikor itu sendiri.
Untuk diketahui bersama bahwa bidang hukum yang terkait dengan Pengadaan barang/jasa ada 4 bidang hukum diantaranya:
Hukum Adminitrasi Negara;
Hukum Perdata;
Hukum Pidana;
Hukum Persaingan Usaha;
Didalam proses pengadaan apakah itu pelelangan ataukah seleksi sampai dengan penetapan pemenang itu adalah murni ranah hukum Adminitrasi Negara yang mana hukum ini merupakan hukum yang menjalankan negara dalam keadaan bergerak, karena melayani proses-proses adminitrasi yang diajukan warga negara yang mana berkaitan dengan pelayanan masyarakat adapun yang merupakan subyek hukum adminitrasi negara ini adalah “pegawai negeri” jika dikaitkan dengan proses pelelangan dan seleksi pemenang tender yang menjadi subjek itu adalah tidak lain “Pokja ULP” serta PPK”, sebagai catatan apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang sifatnya “adminitrasi” dalam pelayanan tentang pengadaan dapat diselesaikan dengan pengaduan ke APIP (aparatur intern pemerintah) disana kita bisa mengajukan sanggahan, sanggah banding dan pengaduan lainnya, dan muara peradilannya adalah ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Berbeda dengan proses pelelangan dan seleksi, yang merupakan ranah hukum adminitrasi negara, proses penandatanganan kontrak, pelaksanaan pekerjaan hingga pekerjaan selesai merupakan ranah hukum Perdata, yang mana merupakan ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara individu satu terhadap individu lainnya atau hubungan antar warga negara, secara ringkasnya dalah hukum yang mengatur tentang kepentingan seseorang dengan orang ataupun dengan badan hukum, adapun yang menjadi subyek hukum disini adalah orang dan badan hukum.
Fakta yang sering terjadi didalam Praktek Pengadaan Pemerintah
Proses-demi proses seperti proses pelelangan dan seleksi hingga penentuan menang acapkali di giring kedalam ranah pidana, didalam proses yang seperti ini kerap kali yang menajdi sasaran adalah Pokja ULP yang mana disangkakan dengan bermacam tuduhan, apakah itu kesalahan evaluasi yang disengaja merekayasa atau lainnya yang bersifat keputusan adminitrasi yang dikeluarkan pokja, semua itu padahal bisa saja terjadi kesalahan, karena pokja merupakan manusia biasa, jikalau adapun tentang ketidakpuasan toh bisa membuat pengaduan ke APIP atau jika lebih tinggi persoalan mal adminitrasinya bisa menggugat ke PTUN, yang menjadi catatan adalah ketika ini semua dipaksakan dibawa ke ranah Pidana bahasa lainnya adalah “kriminalisasi” dipidanakan dengan tanpa dasar yang kuat dan hanya sekedar tuduhan, padahal sepanjang tidak ada rekayasa atau pemalsuan data, suap/gratifikasi, fiktif maka pilihan yang telah diambil disini belum tentu sebagai persoalan pidana.
Karena kemudian pada dasanya suatu kontrak dalam pengadaan pemerintah itu secara esensinya dalah hukum perdata karena dibuat secara sah mempnyai ikatan hukum yang penuh dan prinsip kontrak sesuai KuhPerdata apabila para pihak sama-sama mengiaktkan dirinya kepada suatu perjanjian/kontrak maka suatu kontrak/perjanjian tersebut berlaku seperti Undang-undang bagi para pihak (1338 KUH Perdata) adapun sanksi didalam hukum perdata sudah jelas meyoal ganti rugi, denda atau kompensasi.
Kontrak/perjanjian dapat menajdi pidana apabila didalam kontrak/perjanjian ersebut ada unsur-unsur paksaan, penipuan, penggelapan, penyuapan maka jika terdapat unsur ini barulah kemudian dapat digiring ke ranah hukum pidana, lalu sebagai tambahan sepanjang tidak ada mens area yang terbukti apakah itu suap, gratifikasi, dan pengaturan negatif atau pemaksaan tidak dapat ditipikorkan.
Jangan ada lagi kriminalisasi pengadaan
sesuai UU nomor 30 tahun 2014 tentang adminitrasi dalam pasal 20 ayat 1 dan 8 Perintah presiden joko widodo tanggal 19 juli 2016 yang dibacakan pada saat pidato didepan kepalakejaksaan tinggi dan kepala daerah seluruh ondonesia bahwa tidak perlu dipidinakan apabia terdapat kesilapan atau kesalahan adminitrasi.
Sejalan dengan itu kemudian setidaknya harapan pelaku pengadaan agar terhindar dari Paranoid dan bayang-bayang tipikor dalam melaksanakan tata kelola pengadaan sehingga dalam mengambil keijakan tidak merasa terancam. Meskipun demikian peran pendampingan hukum terkait ini semua sangat perlu apakah di Pokja ULP ataupun di penyedia nantinya tergantung kebutuhan, sehingga dari proses pelelangan/seleksi dan hingga penandatanganan kontrak sampai pekerjaan selesai masing-masingnya didampingi oleh pengacara terlebih khusus sepsifik pengacara yang mengerti tentang aspek hukum pengadaan. Sehingga dapat memberikan angin segara= terhadap pelaku pengadaan dengan adanya pendampingan hukum tersebut diharapapkan bisa menekan angka korupsi di indonesia. Mengutip sebuah kutipan dari mudjisantosa padahalama 63 yaitu “Carilah Kesalahannya bukan mencari-cari kesalahan prosedural, tegaknya keadilan bukan menegakkan semata-mata aturan, yang ternyata aturan pengadaan adalah aturan yang dinamis”.
Terakhir sebagai penutup selagi kita mempunyai payung hukum, agar kemudian tidak dipidinakan atau dikriminalisasikan tips yang kemudian diberikan adalah dengan tidak untuk memperkaya diri sendiri, tidak memberikan suap/gratifikasi dan lainnya janganlah takut untuk mengabil kebijakan jikalau ragu mintalah pendampingan kepada pengacara yang mengerti lebih jauh aspek hukum pengadaan.