Wali Kota Pekanbaru, Firdaus (foto internet)
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Bilboard atau papan reklame ilegal yang marak di Kota Pekanbaru meskipun ada undang-undang dan aturannya sebagai landasan hukumnya, seakan tak mampu dikendalikan oleh Pemerintah Kota (Pemko). Bahkan Wali Kota Pekanbaru, Firdaus yang sebelumnya mengeluarkan Peraturan Wali Kota Pekanbaru (Perwako) Nomor 24 tahun 2013 dinilai tidak konsisten dengan aturan yang dibuatnya tersebut.
Menyikapi kondisi tersebut, Alfred Kusuma Ziliwu SH, Koordinator Jaringan Kedaulatan Rakyat (Jangkar) menyatakan bahwa Firdaus selaku Wako Pekanbaru bisa digugat oleh warga kota jika ada yang merasa keberatan dan muak dengan sikap pemerintah kota yang bisa diatur-atur oleh pengusaha hitam tanpa memperdulikan keselamatan masyarakat.
"Hadirnya pemerintah kan untuk melindungi rakyat, warga dalam skala kecilnya, namun kalau rakyat merasa terancam keselamatannya nggak ada lagi peran pemerintah, ya hilanglah sudah pengakuan rakyat kepada pemerintahnya" kata Alfred kepada
Gagasan Rabu siang (26/2/2020).
Dalam hal ini, terang Alfred, masyarakat dapat melakukan gugatan kepada pemko karena gagal memberikan rasa aman kepada warga. Dikatakan Alfred, terutama masalah bangunan bilboard atau papan reklame itu, jika ada warga merasa itu terganggu dan dinilai merusak lingkungan bisa digugat.
"Sementara Wali Kota sendiri yang sejatinya harus melindungi warganya dari ancaman bahaya bangunan bilboard yang membahayakan pengguna jalan dengan membuat peraturan, kenyatannya aturan yang dibuatnya itu dilanggar, dari situ dapat dipastikan bahwa pemerintahannya dinilai tidak profesional alias amatir, tidak punya wibawa sebagai lembaga negara, dan otomatis warga atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintahnya dong" papar Alfred.
Firdaus, terang Alfred bisa diduga telah mengingkari sendiri aturan yang dibuatnya, dan hal tersebut tegas dia menjadi contoh yang tidak baik kepada warganya maupun masyarakat seluruh Indonesia. Karena tegas dia lagi, Firdaus pemimpin yang inkonsistensi dalam menegakkan aturan.
Untuk itu, terang Alfred, Jangkar atas nama perwakilan warga sedang menyiapkan gugatan kepada Wali Kota Pekanbaru terkait tidak tegas dan terjadi pelanggaran diduga dilakukan Firdaus dalam menegakkan aturan.
"Kami tidak ingin aturan atau undang-undang itu hanya diberlakukan kepada rakyat kecil saja, namun ketika dihadapkan pada pengusaha malah kisut-kisut aturan itu tak punya kekuatan lagi, apalagi disertai dengan dugaan suap kepada pemegang kekuasaan. Sementara kepada rakyat kecil aturan tajam mencincang kaum lemah" tukasnya.
Untuk diketahui, sebenarnya pelanggaran soal papan reklame ilegal tersebut mulai dari yang tidak memiliki izin, atau posisi bangunannya berada di atas median jalan bahkan yang berada diatas trotoar. Selain itu papan reklame jenis bando yang melintang diatas permukaan jalan.
Kemudian juga ada bangunan papan reklame ini, meskipun memiliki izin hampir semua menyalahi aturan yang ditetapkan oleh Peraturan Wali Kota (Perwako) Nomor 24 Tahun 2013. Para pengusaha papan reklame ini membangun diluar ketentuan titik koordinat yang dikeluarkan oleh pihak Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru.
Bahkan ada rangkaian besi yang digunakan untuk papan reklame dibangun diatas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) diluar ketentuan sesuai aturan Perwako No 24 Tahun 2013 tersebut. Pasalnya bangunan rangkaian besi itu ketinggiannya melebihi lebih dari 1 meter sesuai Perwako. Jenis papan reklame tersebut tersebar di beberapa ruas jalan Kota Pekanbaru.
Terkait papan reklame jenis bando itu, pihak Dinas Perhubungan, melalui Kabid Keselamatan Teknik Sarana dan Prasarana, T Ardi Dwisasti kepada Gagasan Rabu siang, 26 Februari 2020 menjelaskan bahwa dari dahulu pihaknya tidak pernah memberikan rekomendasi maupun izin kepada pengusaha untuk pendirian alat peraga iklan ruang terbuka tersebut diatas permukaan jalan.
Karena kata dia sesuai UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan, bangunan papan reklame jenis bando itu dilarang keras berdiri. Apalagi bangunan bando tersebut berdiri diatas jalan yang dimiliki pemerintah pusat kewenangannya.
Dan kata Ardi hingga kini pihaknya masih menunggu balasan surat yang mereka ajukan kepada Wali Kota Pekanbaru, Firdaus, soal bangunan papan reklame ilegal tersebut.
Sebelumnya juga Ardi sempat menyampaikan bahwa mestinya pihak DPMPTSP yang harus dipertanyakan kenapa bangunan bilboard itu berdiri. "Ya keluarkan izin kan mereka (DPMPTSP) kan harus ada izin IMB juga, kalau Dishub cuma keselamatan jalan, karena ini kan membahayakan pengguna keselamatan jalan" terang dia.
Artinya Dishub sendiri kata dia tak mungkin memberikan rekomendasi pembangunan billboard jenis bando tersebut karena jelas ada aturan tentang keselamatan pengguna jalan.
Berdasarkan keterangan dari Kasatpol PP Pekanbaru sebelumnya bilboard jenis bando ini ada 7 bangunan. Dan sampai saat ini pihaknya masih menunggu rekomendasi dari Dishub untuk dilakukan penebangan bangunan ilegal tersebut.
Bahkan kata Agus pihaknya sudah memasang stiker bertanda ilegal pada bilboard jenis bando ilegal tersebut.
Selain itu kata Agus, pihaknya sudah meminta agar Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pekanbaru untuk melarang bilboard jenis bando tersebut dipasang iklan.
Namun anehnya bangunan bando tersebut masih saja berdiri kokoh dan menempelkan nomor telepon kepada pemesan jasa iklan di ruang terbuka tersebut. Bahkan ada yang terangan-terangan terpasang iklan produk merek Mitra Bangunan di Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru.
Sebenarnya aturan dan larangan pendirian papan reklame ini sudah jelas ada perangkat hukumnya. Namun aneh semua UU maupun peraturan itu tidak digubris.
Aturan dan larangan soal pendirian bangunan bilboard ini sebenarnya selain UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan. Ada juga Peraturan Menteri (Permen) PU No. 20/PRT/M/2010 tertanggal 29 Desember 2010.
Tidak hanya itu, Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Peraturan Wali Kota (Perwako) Pekanbaru Nomor 24 tahun 2013 juga membuat aturan untuk menertibkan agar para pengusaha papan reklame agar tidak semena-mena menguasai ruang publik dan merugikan warga.