Daerah

Lalai Pengawasan, PT RAPP dan PT Arara Abadi Lenggang Kangkung Tak Bayar Ratusan Milyar PSDH

Gagasanriau.com Pekanbaru - PT Riau Anadalan Pulp and Paper (PT RAPP) dan PT Arara Abadi dan perusahaan kehutanan lainnya akan dipanggil kembali oleh Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau untuk meminta penjelasan terkait pasokan bahan baku kayu, untuk mengetahui apakah benar pengawasan pemerintah lemah sehingga merugikan negara ratusan miliar Rupiah untuk sektor Provisi Sumber Daya Hutan.

"Dalam waktu dekat kita akan kembali memanggil perusahaan kehutanan untuk membuka secara detail terkait bahan baku mereka. Ada kelemahan pengawasan yang diduga disebabkan aturan kehutanan dirancang oleh perusahaan dan disahkan oleh pemerintah. Setelah reses kita panggil," kata Ketua Pansus, Suhardiman Amby dihubungi dari Pekanbaru, Rabu (29/4/2015).

Menurut dia, aturan yang membuat lemahnya pengawasan tersebut harus segera dirombak. Dia mengatakan hal ini akan disampaikan kepada Presiden dan Kementrian Kehutanan dalam bentuk rekomendasi hasil pansus.

Hal tersebut, lanjut dia, dimana PSDH rendah berpengaruh juga pada bagi hasil pemerintah pusat dan daerah. Dalam aturannya pembagian adalah 20 pusat dan 80 daerah yang didalamnya 16 persen untuk provinsi dan selebihnya untuk kabupaten penghasil.

Sebelumnya, Pansus telah memanggil sejumlah 58 Perusahaan Kehutanan dari 61 total yang beroperasi di Riau. Namun pemanggilan kembali direncanakan setelah melakukan tinjauan langsung ke lapangan yang menemukan lemahnya pengawasan oleh petugas negara terkait lalu lintas kayu dari tempatnya ke pabrik sehingga tidak diketahui apakah kayu itu ilegal atau tidak.

Dalam tinjauannya saat itu, tidak ada petugas syahbandar, bea cukai, dan kehutanan mengawasai lalu lintas kayu di Sungai Siak menuju pabrik dua perusahaan kehutanan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Hal ini menandakan adanya "Loss Control" dari pemerintah sehingga tidak diketahui kayu yang masuk itu ilegal atau tidak.

Dia menjelaskan bahwa sebaiknya mekanisme tersebut setelah disahkan Rencana Kerja Tahunan dan kayu telah tumbang harus dihitung jumlah potensi yang harus dibayarkan ke negara. Ini disebut dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

"Yang melakukan ini adalah Petugas Pejabat Laporan Hasil Produksi (P2LHP) dari Kementrian Kehutanan. P2LHP harus memeriksa dan menghitungnya dulu dan setelah itu barulah bisa masuk kapal," ungkap Politisi Hanura ini.

Kemudian setelah masuk kapal tentu harus ada juga pengawasan dari Bea Cukai. Tapi, kata dia, pada saat meninjau beberapa waktu lalu tidak ada petugas di kantor, kosong semua.

Selanjutnya setelah kayu tiba di pabrik, harus diperiksa oleh Pejabat Pembuat Pengesah Kayu Bulat (P3KB) dengan berkoordinasi dengan P2LHP. Sebelum disahkan, harus diperiksa dulu berapa yang diambil dan berapa yang sudah dibayarkan apakah itu kayu alam atau pun hutan tanaman (akasia).

"Di lapangan tidak ada kontrol seperti itu. Maka kami menduga ada potensi kerugian negara ratusan miliar dalam waktu lima tahun saja dari sektor PSDH. Kalau perusahaan perlu 12 juta ton per tahun, jadi kerugian kita setengah dari bahan baku (kayu) yang masuk,"sebutnya.

Editor Brury MP sumber antarariau


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar