Hukum

Dilaporkan ke Polda Riau & Balai Gakkum, PT Indogreen Jaya Abadi, PT Citra Palma Kencana dan PT Setia Agrindo Mandiri

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau melaporkan 4 perusahaan perkebunan di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) karena diduga proses penerbitan izinnya bermasalah dengan hukum.
 
Keempat  perusahaan tersebut adalah PT Indrawan Perkasa atau Alona serta 3 Perusahaan afiliasi First Resources. Walhi melaporkan ke empat perusahaan tersebut ke Polda Riau dan Kantor Seksi Wilayah II Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera pada 17 November 2017 lalu.
 
 
Adapun 3 perusahaan afiliasi First Resources tersebut adalah PT Indogreen Jaya Abadi, PT Citra Palma Kencana dan PT Setia Agrindo Mandiri yang diduga kuat dalam proses penerbitan izin serta aktifitasnya menabrak sejumlah aturan terkait dengan perlindungan ekosistem gambut dan dampak buruknya terhadap kelestarian alam serta konflik sosial yang ditimbulkan.  
 
Walhi Riau yang diwakili Suryadi, Devi Indriani dan Ali Mahmuda memaparkan sejumlah temuan pelanggaran yang dilakukan ketiga korporasi sawit tersebut.
 
"Pelanggaran yang dilakukan oleh afiliasi First Resources bukanlah hal yang baru. Mengingat perusahaan-perusahaan tersebut sebelumnya telah masuk dalam daftar perusahaan yang dievaluasi izinnya dalam Rapat Gabungan Komisi I dan II DPRD Inhil dan Pemerintah Kabupaten Inhil karena bermasalah dengan lingkungan dan masyarakat. Dalam IUP nya PT Indrawan Perkasa/Alona memiliki luas lahan sekitar 2000 hektare, PT Indogreen Jaya Abadi dengan luas lahan sekitar 17.000 hektare, PT Citra Palma Kencana dengan luas lahan sekitar 4000 hektare dan PT Setia Agrindo Mandiri denngan luas lahan sekitar 12.550 hektare." sebut Ali Kamis (7/12/2017) kepada GAGASANRIAU.COM melalui surat eletroniknya.
 
Sebagai tambahan dasar dugaan kejahatan lingkungan hidup ini, PT. Indrawan Perkasa/ Alona melakukan aktivitas ilegal tanpa pelepasan kawasan hutan yang didasarkan pada hasil temuan tim yang dibentuk oleh Pemkab Inhil yang terdiri dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Inhil Bagian Pemerintahan, Kantor Pertanahan serta Camat Keritang menyatakan bahwa berdasarkan Peta Tata Batas Kawasan Hutan Provinsi Riau areal kegiatan usaha perkebunannya merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
 
Devi menambahkan, bahwa temuan Walhi Riau sangat relevan dengan pembahasan rapat gabungan tersebut. Salah satu perusahaan ini bahkan 30 persen dari areal konsesinya berada di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter, dan hal tersebut tidak serta merta membuat perusahaan sawit ini sadar akan tanggungjawabnya dan tergambar dari riwayat kebakaran yang terjadi. Keempat perusahaan tersebut dalam aktivitasnya diduga mengakibatkan kerusakan gambut.
 
"Selain afiliasi First Resources, PT Indrawan Perkasa/Alona terindikasi kuat melakukan berbagai tindak pidana khususnya penyerobotan lahan, menduduki lahan tanpa izin serta melakukan aktifitas perkebunan tanpa izin serta melakukan aktifitas perkebunan tanpa izin di Kabupaten Indragiri Hilir, kami melampirkan bukti-bukti dan hasil kajian WALHI Riau guna mendukung, mempermudah dan mempercepat proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Polda Riau dan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan.
 
Selain itu, PP nomor 57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut mengamanatkan bahwa gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter merupakan gambut dengan kriteria lindung" imbuhnya. 
 
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Riko Kurniawan mengungkapkan bahwa laporan ini harus segera ditindaklanjuti mengingat kerusakan lingkungan hidup, ekosistem gambut dan konflik yang akan terus berlangsung jika laporan ini menguap begitu saja.
 
"Sampai hari ini, keempat perusahaan tersebut masih melakukan pembukaan hingga pendalaman kanal, seperti PT. Indrawan Perkasa/ Alona dengan kedalaman 2 sampai 4 meter serta PT Setia Agrindo Mandiri yang memiliki riwayat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2012-2015 dengan luas 25-30 persen dari luas areal konsesinya dimana luasan tersebut juga terindikasi merupakan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter. 
 
Melalui laporan ini, kami ingin mengingatkan kepada negara dan aparat penegak hukum bahwa rakyat Riau tidak lupa bencana kabut asap yang pernah terjadi, rakyat juga tidak lupa SP3 15 perusahaan penyumbang kabut asap pada 2015 yang lalu.
 
Hari ini 6 juta rakyat menanti keberanian Kapolda Riau dan jajarannya untuk menindak 4 perusahaan nakal di Kabupaten Indragiri Hilir yang sudah kami laporkan," imbuh Riko.
 
Dewan Daerah Walhi Riau yang diwakili Suryadi mengingatkan bahwa menurunnya intensitas kabut asap di Riau tidak serta merta menjadi refleksi perbaikan pengelolaan dan perlindungan negara terhadap ekosistem gambut yang sebagian besarnya juga menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.
 
 "Tujuan laporan beberapa waktu yang lalu jelas, agar Polda Riau segera melakukan tindakan hukum serta Kantor Seksi Wilayah II Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera mengambil tindakan sesuai dengan kewenangannya dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta diharapkan penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian atas laporan ini berjalan dengan transparan dan profesional” imbuhnya.
 
Suryadi menegaskan dengan meningkatnya indikasi kejahatan lingkungan hidup di Indonesia dan di Riau khususnya secara massif, menandakan bahwa pemerintah harus serius dan segera membentuk lembaga peradilan khusus lingkungan hidup.
 
Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar