Riau

KPK Lawak-lawak, Tetapkan TSK Dua Kepala Daerah di Riau Tapi Tak Ditahan

Dedi Harianto Lubis SH
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Dedi Harianto Lubis SH, praktisi hukum menilai KPK seperti membuat lelucon dengan mempermainkan hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pasalnya dua kepala daerah di Riau yang sudah berbulan-bulan ditetapkan Tersangka hingga kini tak kunjung dijebloskan ke penjara.
 
Bahkan sampai saat ini kedua kepala daerah tersebut masih leluasa menjabat dan mengendalikan pemerintahan daerah di wilayahnya masing-masing dengan status Tersangka Korupsi.
 
"Lucu dan menggelitik melihat kinerja KPK periode ini, antara benar mau berantas korupsi tapi meragukan, dibilang tegas OTT jalan terus, tapi sesudah itu terluntang-lantung nggak jelas penyelesaian kasusnya. Termasuk dua kepala daerah di Riau saat ini" ungkap Dedi Harianto Lubis SH, Rabu (9/10/2019).
 
Padahal katanya lagi, KPK sudah acap kali melakukan pemeriksaan terhadap dua kepala daerah tersebut, namun tegasnya, hingga kini tidak jelas nasib kedua kepala daerah itu apakah dijebloskan ke penjara atau dicabut statusnya sebagai Tersangka karena tidak terbukti seperti yang dituduhkan kepada mereka.
 
"KPK Nggak jelas kerjanya apa, pokoknya periksa, periksa, sementara status melekat Tersangka Korupsi" tegas Dedi.
 
 
KPK ditegaskan Dedi makin lama mulai kelihatan wataknya sebagai lembaga sarat kepentingan kelompok dan cenderung tidak profesional dalam menjalankan fungsinya.
 
Sepekan yang lalu, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Zulkifli AS, Wali Kota (Wako) Dumai, Jumat (4/10). Pemanggilan orang nomor satu di Kota Dumai itu dalam rangka pemeriksaan untuk penyidikan dugaan korupsi suap kepada mantan pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan dugaan menerima gratifikasi.
 
Zulkifli AS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua dugaan korupsi tersebut.
 
 
Zulkifli AS sudah pernah diperiksa oleh penyidik KPK atas statusnya sebagai tersangka. Yang mana, dalam pemeriksaan awal itu, Zulkifli diperiksa terkait tugas dan wewenangnya dalam jabatannya sebagai Wako Dumai, dan juga meminta laporan kekayaannya.
 
Penetapan tersangka terhadap Wako Dumai itu setelah KPK melakukan penyidikan dan penggeledahan di rumah dinas dan kantor Wako Dumai. Zulkifli diduga memberikan uang sebanyak Rp550 juta kepada pejabat Kemenkeu, Yaya Purnomo, untuk mengurus anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai, APBN-P tahun 2017 dan APBN tahun 2018.
 
Sedangkan perkara gratifikasinya, Kader Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu, diduga menerima uang sebanyak Rp50 juta dan fasilitas hotel di Jakarta.
 
Untuk perkara pertama yaitu suap, Zulkifli diduga memberikan Rp 550 juta ke Yaya untuk mengurus anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) APBN-P tahun 2017 dan APBN tahun 2018 Kota Dumai.
 
Kemudian untuk perkara kedua yaitu gratifikasi, Zulkifli diduga menerima gratifikasi berupa uang Rp 50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta.
 
Untuk perkara pertama, Zulkifli disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan untuk perkara kedua, Zulkifli dijerat dengan Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
 
Dan dalam kasus Bupati Bengkalis, KPK menetapkan Amril Mukminin sebagai tersangka dalam perkara dugaan penerimaan suap atau gratifikasi terkait proyek multiyears pembangunan Jalan Duri-Sei Pakning, Kabupaten Bengkalis. Hal itu dikatakan oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/5/2019).
 
Amril kata KPK, diduga menerima uang dengan nilai total sekitar Rp 5,6 miliar terkait kepengurusan proyek tersebut.
 
Pemberian uang itu diduga berasal dari pihak PT CGA selaku pihak yang akan menggarap proyek tersebut.
 
Duit itu diterima Amril agar bisa memuluskan proyek tahun jamak pembangunan Jalan Duri-Sei Pakning Tahun 2017-2019.
 
Dalam kasus dugaan suap itu, Amril disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau hurut b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  

 


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar