GagasanRiau.Com Pekanbaru - Kabupaten Kepulauan Meranti punya cerita menyedihkan. Suku asli dari daerah setempat menjadi budak kepentingan pemilik modal. Sementara produk yang mereka hasilkan diganti merk menjadi produk milik negara tetangga Singapura.
Dilansir dari hallloriau, produksi arang di Kepulauan Meranti merupakan produk arang terbaik dan masuk sebagai produk kualitas ekspor. Namun, arang yang tadinya asli hasil produksi Kabupaten Meranti, Indonesia malah dipacking menggunakan bungkusan produk Singapura.
Setelah dijual dan diekspor ke Singapura, Singapura akan mengekspor lagi ke negara lainnya seperti ke Eropa, Amerika, juga Jepang, serta negara lainya. Namun, arang itu akan dikenal sebagai "made in Singapore" dan dijual dengan nilai mata uang dollar Singapura.
Namun di balik itu semua, kayu bakau Mangrove (bahan baku arang) yang diambil dari hutan bakau Meranti hanya dibeli dengan harga Rp150 perkilogram dan pekerjanya hanya di gaji Rp13 ribu perhari. Pekerjanya rata-rata merupakan suku asli daerah Meranti, suku Akit.
Padahal hutan bakau dikenal mampu menjaga keindahan pantai dari ganasnya hempasan ombak laut dan mampu menjaga terjadinya abrasi pantai. Kendatipun fungsinya begitu besar,tidak mengurungkan niat tangan-tangan "mafia" serakah untuk memusnahkan keberadaan tumbuhan yang dilindungi itu, demi keuntungan berlipat.
Anggota komisi E DPRD Propinsi Riau, H M Adil mengatakan aktifitas dapur arang di Kepulauan Meranti ini perlu menjadi perhatian bersama dan perlu dilakukan penindakan.
"Inilah yang mengakibatkan semua hutan Mangrove rusak, ini perlu perhatian khusus oleh pemerintah sebelum Kepulauan Meranti mengalami musibah. Untuk mengatasi rusaknya hutan Mangrove akibat ulah orang yang tidak bertanggungjawab dibutuhkan penanaman kembali dan membutuhkan waktu yang cukup lama serta membutuhkan dana yang cukup besar," kata Adil, Selasa (24/5/2016).
Menyikapi permasalahan ini dipandang perlu untuk segera dibuat regulasi hukum yang mengatur pengelolaan hutan Mangrove di Kepulauan Meranti. Perangkat hukum yang dibuat dapat berupa penetapan harga patokan bagi pengusaha panglong arang dalam membeli hasil hutan seperti kayu Mangrove dari para penebang.
"Regulasi ini yang akan mengatur bagaimana mekanisme pemanfaatan hasil hutan, termasuk harga jualnya. Dengan begitu ekonomi masyarakat akan dapat ditingkatkan," ujar Adil.
Ibarat dua sisi mata uang, pemerintah pun seperti tutup mata dengan aksi penebangan hutan bakau (Mangrove) sebagai bahan baku utama arang. Bakau yang menjadi penjaga ekosistem pun harus direlakan, ditebang kemudian dijadikan arang untuk kemudian diekspor ke Singapura. Para pengusaha panglong pun seperti mendapat angin segar, dapur-dapur arang mereka terus berasap berubah menjadi pundi-pundi dolar.
Sangat disayangkan memang jika bakau-bakau yang dikorbankan pemerintah untuk menjaga periuk nasi masyarakatnya, malah dimanfaatkan oleh mafia arang yang terus memperbudak masyarakat Suku Akit sebagai pekerja.
Ibrahim (45), misalnya, ia sudah belasan tahun menggantungkan hidup keluarga dari ayunan kapaknya di tengah-tengah hutan Mangrove. Setiap hari ia mendayung sampan berkilo-kilo meter ke dalam anak-anak sungai untuk mencari kayu jenis bakau maupun nyirih untuk ditukarkan menjadi rupiah di panglong arang sekitar Sungai Terus Kecamatan Pulau Merbau.
Dalam satu hari Ibrahim mampu mengumpulkan 700 Kg hingga 1 Ton kayu Mangrove. Untuk jenis Bakau yang menjadi bahan utama arang biasanya dihargai Rp 120 hingga Rp 150 perkilogramnya. Sedangkan jenis kayu Nyirih hanya Rp 100 perkilogram, jenis ini dijadikan bahan bakar untuk dapur memasak arang.
"Harga belinya murah tidak naik-naik, sedangkan kayu makin susah dicari. Tapi mau bagaimana lagi, tidak punya pilihan lain selain bekerja sebagai penebang bakau, daripada mencuri," keluh Ibrahim.
Ibrahim hanya satu dari ratusan bahkan mungkin ribuan masyarakat Kepulauan Meranti yang menggantungkan hidup pada Mangrove dan arang. Dalam satu hari, baik penebang maupun pekerja lepas di industri arang hanya mampu mengantongi Rp 40 Ribu hingga Rp 100 Ribu saja.
Begitu juga dengan pekerja yang bertugas memasak kayu bakau menjadi arang. Dari hasil penelusuran, para pekerja panglong arang lainnya, yang juga banyak dibawah umur juga merasakan hal yang sama. Entah karena memang merasa cukup, atau karena SDM yang kurang. Setiap pekerja dengan tugas lain yang berbeda, hanya diupah sebesar Rp 13 Ribu perhari.
Selain itu setiap bulan ada pihak yang memungut Rp1 juta perpanglong sebagai kompensasi kayu mangrove yang dipakai.
Noh, salah satu warga suku Akit yang bekerja di salah satu panglong arang. Tugasnya menjaga api dapur arang yang harus terus menyala, hingga proses memasak kayu menjadi arang selesai. Dua dapur yang ia jaga memakan waktu tiga bulan untuk selesai dan bongkar muat sebelum diekspor.
"Api tidak boleh padam, jadi harus dijaga terus. Tidak peduli siang ataupun malam, kayu bakar harus terus disiapkan. Saya baru bisa pulang ke rumah setelah dapur bongkar, tiga bulan sekali," ucap Noh.
Editor Arif Wahyudi
sumber halloriau