gagasanriau.com ,Pekanbaru-Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan (JIKALAHARI) Riau Muslim Rasyid minta Polda Riau agar membuka kembali Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pembalakan liar 14 perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI) di Riau, akibat merugikan negara sebesar Rp1.900 triliun.
"Kerugian negara sebesar itu akibat penebangan pohon sehingga mengakibatkan berkurangnya areal tutupan hutan yang berdampak terjadinya kerusakan lingkungan," kata Muslim Rasyid
di Pekanbaru, Sabtu (28/12/2013).
Menurut dia, JIKALAHARI sudah menyampaikan tuntutan yang kelima sejak 2011 agar Polda Riau kembali membuka SP3 pembalakan liar yang melibatkan 14 perusahaan HTI karena ditemukan banyak kejanggalan dan SP3 yang dikeluarkan itu cacat hukum.
Tuntutan agar Polri membuka kembali SP3 pembalakan liar tersebut berkaitan dengan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH bentukan SBY, red) yang berkunjung ke Pekanbaru pada 7-8 Juni 2011.
Selain menggelar seminar, ketika itu agenda utama Satgas PMH adalah berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan terkait SP3 penyidikan terhadap kasus pembalakan liar terhadap 14 perusahaan di Riau itu.
"Jadi JIKALAHARI mengajukan tuntutan dibuka kembali SP3 tersebut berdasarkan empat alasan seperti disampaikan Satgas PMH," ujar Muslim Rasyid.
Empat alasan SP3 tersebut dibuka kembali adalah pertama penerbitan SP3 menimbulkan keraguan dan ketidakpastian karena terdapat kejanggalan terkait materi pembuktian maupun penunjukan ahli.
"Penunjukan ahli dari Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Riau yang terdapat potensi konflik kepentingan justru dijadikan dasar untuk menilai sah atau tidaknya izin yang dikeluarkan," katanya.
Padahal berdasarkan keterangan terhukum Asman Jaafar (yang sudah dipidana-red) justru mengatakan izin terhadap 14 perusahaan tersebut illegal.
Kedua, adanya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan pada tingkat Kasasi dengan terdakwa H Tengku Azmun Jaafar, S.H. Memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah.
Ketiga, terhadap keterangan para ahli dari Kementerian Kehutanan (BS dan BW) yang dijadikan dasar pertimbangan penerbitan SP3 PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukoro menjadi tidak bernilai karena bertentangan dengan Putusan MA No. 736K/Pid.Sus/2009.
Sehingga terhadap SP3-SP3 lainnya yang menggunakan keterangan para ahli tersebut secara hukum dapat dianggap tidak lagi mempunyai nilai pembuktian.
Ke-empat, Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 menunjukkan proses penerbitan IUPHHK-HT dalam perkara in casu merupakan perbuatan tindak pidana korupsi, patut diduga penerbitan izin IUPHHK-HT terhadap 14 perusahaan yang dihentikan penyidikannya, tidak menutup kemungkinan terdapat indikasi tindak pidana korupsi.
"Kasus tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan tahun 2001-2006 dibongkar habis-habisan saat Kapolda Riau dijabat Sutjiptadi pada Desember 2006. Juni 2007 Polisi Riau mulai melakukan penyidikan," katanya.
antarariau