GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Dalam beberapa minggu terakhir, Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) menjadi sorotan publik di jagat maya karena aksinya yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga menahan ijazah karyawan.
Salah satu momen paling viral adalah inspeksi mendadak (sidak) Wamenaker ke sebuah perusahaan di Surabaya. Di Riau sendiri, sorotan mengarah pada sebuah perusahaan tour and travel di Kota Pekanbaru.
Penahanan ijazah oleh perusahaan terhadap karyawan merupakan isu klasik dalam dunia ketenagakerjaan. Padahal, ijazah adalah dokumen pribadi yang tidak boleh diambil atau dikuasai pihak lain tanpa izin pemiliknya.
Praktik ini dinilai melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan berbagai regulasi, seperti Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang melindungi hak pekerja untuk berpindah kerja serta mengakses pendidikan dan kesempatan lainnya.
Lebih jauh, hal ini juga bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan, dan hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang. Dari sudut hukum pidana, penahanan ijazah bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, seperti pemerasan (Pasal 368 KUHP), penggelapan (Pasal 372), dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 421).
Beberapa putusan pengadilan menguatkan hal tersebut, antara lain Putusan MA RI No. 158 K/Pid/2006, Putusan PN Ternate No.13/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Tte, Putusan PN Sidoarjo No.205/Pdt.G/2019/PN.SDA, dan Putusan MA RI No.583 K/Pdt.Sus/2020/PHI. Seluruh putusan ini menegaskan bahwa penahanan ijazah merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan pekerja.
Bolehkah Perusahaan Menahan Ijazah?
Menurut Pasal 95 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003, hubungan kerja tidak tertulis memiliki kekuatan hukum sama dengan yang tertulis. Namun, jika tidak ada klausul tertulis mengenai penyerahan ijazah sebagai jaminan kerja, maka penahanan tidak dapat dibenarkan.
Meskipun ada perjanjian tertulis sekalipun, perjanjian tersebut bisa dinilai cacat hukum jika dibuat dalam kondisi tidak setara. Hal ini mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan kesepakatan berdasarkan asas sukarela dan itikad baik, yang seringkali tidak terpenuhi dalam hubungan kerja karena posisi dominan perusahaan.
Dalam Keadaan Tertentu
Penahanan ijazah dapat dipahami dalam konteks khusus, misalnya ketika karyawan melakukan tindak pidana penggelapan yang merugikan perusahaan. Dalam hal ini, ijazah bisa digunakan sebagai jaminan, selama ada kesepakatan tertulis dan atas dasar itikad baik kedua belah pihak.
Namun demikian, pendekatan seperti ini pun tetap harus berhati-hati agar tidak melanggar hukum dan hak karyawan secara umum.
Tak Perlu Pergub, Cukup Permenaker
Melihat maraknya sorotan terhadap isu ini, sebagian pihak mendorong Gubernur Riau untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang larangan penahanan ijazah. Namun, menurut Teguh, seorang aktivis ketenagakerjaan di Pekanbaru, langkah tersebut sebaiknya tidak dilakukan.
"Lebih baik kita mendorong agar Wakil Menteri membisikkan kepada Menteri Tenaga Kerja agar segera menerbitkan Peraturan Menteri (Permenaker). Kalau Menteri yang mengeluarkan aturan, maka seluruh pekerja di Indonesia bisa merasakan perlindungan yang sama," ujarnya.
Ia juga menilai bahwa kasus penahanan ijazah lebih bersifat case by case dan sudah ada mekanisme penyelesaian melalui Dinas Tenaga Kerja. Karena itu, alih-alih menerbitkan Pergub, Gubernur Riau sebaiknya fokus pada pengawasan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan yang lebih mendasar, seperti pembayaran upah sesuai UMR/UMK, jam kerja, upah lembur, serta kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
"Gubernur cukup menginstruksikan dinas terkait untuk lebih aktif dan rutin melaporkan kepatuhan perusahaan terhadap aturan ketenagakerjaan. Ini lebih penting dan menyentuh aspek yang lebih luas dibanding sekadar menerbitkan Pergub karena efek viral," tutup Teguh.(*)