GAGASANRIAU.COM, JAKARTA - SETARA Institute menyampaikan kritik tajam terhadap rencana pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Darat. Dalam siaran persnya, lembaga pemantau hak asasi manusia dan sektor keamanan itu menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk distorsi fungsi pertahanan yang seharusnya menjadi mandat utama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Wacana pembentukan batalyon non-tempur ini pertama kali disampaikan Menteri Pertahanan pada November 2024 lalu. Meski menuai kritik dari berbagai kalangan, kebijakan tersebut kini semakin mendekati tahap implementasi, dengan rekrutmen besar-besaran sebanyak 24.000 tamtama yang diproyeksikan untuk ditempatkan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Para prajurit tersebut disebut akan ditugaskan untuk mendukung sektor pertanian, peternakan, perikanan, hingga pelayanan kesehatan.
"Militerisme Gaya Lama"
SETARA Institute menilai langkah ini sebagai kebangkitan militerisme gaya lama dengan wajah baru—yakni membungkus peran militer dalam agenda pembangunan dan kesejahteraan. "Ini adalah bentuk ekspansi militer ke ruang sipil yang mengingatkan pada masa Orde Baru," ujar Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA.
Lembaga ini juga menyoroti bahwa retorika pembangunan yang digunakan pemerintah tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa TNI tengah memperluas perannya ke wilayah non-pertahanan, yang seharusnya menjadi ranah otoritas sipil.
"Gejala Arus Balik Reformasi TNI"
Lebih lanjut, SETARA menilai kebijakan ini sebagai bentuk deviasi dari amanat reformasi 1998 yang menuntut pemisahan tegas antara militer dan urusan sipil. Menurut SETARA, pembentukan batalyon-batalyon non-tempur ini juga menabrak ketentuan dalam Undang-Undang TNI terkait ruang lingkup dan dasar pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Dalam catatannya, SETARA juga mengkritik alokasi sumber daya pertahanan yang dinilai tidak tepat sasaran. Ketika negara-negara lain memperkuat postur militer berbasis teknologi dan logistik strategis, Indonesia justru menambah ribuan prajurit untuk menjalankan tugas-tugas sipil.
Ketimpangan Antarmatrawi dan Beban Anggaran
SETARA juga memperingatkan dampak anggaran dari rekrutmen besar-besaran ini, mulai dari gaji, pembinaan, hingga pembangunan infrastruktur penunjang. “Fokus anggaran seharusnya diarahkan pada penguatan alutsista dan peningkatan kesejahteraan prajurit,” tulis SETARA dalam pernyataannya.
Kritik juga diarahkan pada kecenderungan pemerintah yang terus memperkuat TNI Angkatan Darat (AD), sementara matra laut dan udara justru terabaikan. Padahal, menurut SETARA, situasi geopolitik saat ini menuntut penguatan di wilayah maritim dan udara—terutama terkait ketegangan di Laut Natuna Utara dan Laut Cina Selatan.
Seruan Evaluasi dan Penghentian Program
Sebagai penutup, SETARA Institute mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengevaluasi rekrutmen massal tersebut dan menghentikan pembentukan batalyon-batalyon pembangunan yang dinilai melanggar prinsip demokrasi dan mundur dari cita-cita reformasi sektor pertahanan.(*)