Bank Riau Kepri Ternyata Bermasalah Dan Menyimpan Borok Di Hari Jadinya

Sabtu, 31 Mei 2014 - 17:08:00 wib | Dibaca: 3335 kali 

Gagasanriau.com Pekanbaru-Bank Riau Kepulauan Riau benar-benar ditelanjangi oleh Wakil ketua Umum Kadin Riau Viator Butar-butar pasalnya ia membuka aib busuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Riau dalam tulisan yang dimuat oleh amanahnegeri.com pada awal April tahun ini, inilah catatan lengkap yang dimuat ulang oleh Gagasanriau.com:

Tahniah BRK! Genap sudah 48 tahun usia Bank Riau, sebelumnya bernama Bank Pembangunan Daerah Riau, lalu belakangan dinamakan Bank Riaukepri (BRK).

Bank plat merah daerah ini dalam perjalanannya pernah berperan semacam kas daerah, kemudian meningkatkan peran intermediasi antara masyarakat deposan dengan masyarakat debitur.

Pernah juga berkeinginan berperan menjadi agent of development tetapi terbukti tidak terlalu berhasil. Namun demikian, apapun penilaian orang, berbagai perkembangan dan capaian telah ditorehkan dalam usia 48 tahun.

Setidaknya aset Bank Riaukepri telah melesat mencapai hampir Rp20 triliun per 31 Desember 2012, walau mengalami penurunan pada 2013 menjadi Rp19,46 triliun.

Tahun 2012 membukukan laba bersih sekitar Rp318 miliar dan mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp423 miliar. Dari sisi pelayanan terlihat jangkauan layanan yang semakin luas dan produk perbankan yang semakin terdiversifikasi.

Tulisan ringkas berikut ini lebih merupakan catatan kritis saya atas perkembangan terakhir BRK dan tidak dimaksudkan sebagai evaluasi analitis atas kinerja bank secara keseluruhan.

Saya juga tidak bermaksud meniadakan atau mengecilkan torehan prestasi yang sudah dicapai. Saya hanya ingin menguak sebagian faktor yang mempengaruhi kesehatan bank yang perlu diperbaiki oleh manajemen BRK dan yang perlu segera dibenahi oleh para pemegang saham.

Saya sengaja menggunakan istilah ”kudis”, karena apa yang terjadi pada BRK sangat mirip dengan kudis pada manusia, tidak langsung mematikan, tetapi sangat mengganggu dan kalau tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi borok yang bukan hanya berbau tetapi melumpuhkan dan bukan tidak mungkin mematikan.

Kudis 1 : Risiko Likuiditas karena Ketergantungan atas Dana Pemda

Kalau hanya memperhatikan laporan keuangan tahunan BRK dengan berbagai ratio yang lazim digunakan di dunia perbankan, akan terlihat bahwa BRK nampaknya sangat sehat.

Capital Adequacy Ratio (CAR) mencapai 19,06 persen (jauh melampaui CAR minimum 8 persen). Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai 87.6 persen tetapi belum dianggap mengganggu terhadap likuiditas, atau sering disebut masih manageable.

Kalau dari sisi kinerja, Return on Asset (ROA) meningkat sedikit dari 2,95 persen pada tahun 2012 menjadi 3.10 persen per Desember 2013. Return on Equity (ROE) juga mengalami peningkatan, dari 19,91 persen pada tahun 2012 menjadi 23,56 persen sesuai laporan keuangan BRK pada akhir 2013.

Tetapi kalau kita mendalami tingkat kesehatan BRK dengan pendekatan risk management akan terlihat bahwa BRK cenderung tidak mengalami kemajuan berarti khususnya setahun terakhir.

Sumber penyediaan dana di BRK adalah giro dan deposito berjangka. Kontribusi tabungan dan dana investasi hanya sekitar 25 persen.

Parahnya, tidak terlihat adanya perubahan mendasar dalam deposan inti, masih terus didominasi oleh pemerintah daerah.

Setidaknya terdapat dua hal sensitif terkait dominasi pemerintah daerah sebagai sumber DPK. Pertama, BRK akan selalu berada pada posisi inferior menghadapi para kepala daerah dan suka tidak suka harus melakukan semua cara untuk ”memelihara hubungan” agar jangan sampai pemda dimaksud memindahkan dana mereka dari BRK.

Kedua, dengan semakin ketatnya pengawasan dan meningkatnya standar pengelolaan APBD, sangat mungkin terjadi bahwa jumlah dana dan masa pengendapan dana pemda di BRK akan semakin menurun.

Kalau transaksi APBD hanya dalam bentuk pemindah-bukuan antarrek
ening di BRK, persoalan likuiditas tidak akan terlalu terpengaruh. Faktanya, BRK bukanlah bank pilihan utama bagi masyarakat dan dunia usaha di Riau.

Karenanya yang cenderung terjadi adalah continuous net outflow dari BRK ke bank lain atau dalam bentuk tunai. Kecenderungan seperti ini pasti akan membahayakan posisi likuiditas BRK.

Kudis sumber dana ini telah terjadi sejak lama tetapi entah kenapa manajemen BRK belum juga berhasil mengobatinya. Saya khawatir kudis ini akan berkembang menjadi borok yang pada gilirannya nanti akan membahayakan kesehatan BRK.

Upaya-upaya peningkatan reputasi dan image BRK demi meraih kepercayaan masyarakat luas menyimpan dananya di BRK perlu digesa dan dikembangkan dengan kreativitas tinggi.

Saya sangat menyesalkan kegagalan manajemen BRK menyelesaikan urusan menara BRK tepat waktu dan capaian realisasi pembukaan jaringan baru berupa ATM/KCP/kedai yang hanya 56,5 persen hingga akhir tahun 2013.

Seyogyanya menara BRK dan perluasan jaringan dapat meningkatkan citra dan reputasi dan kinerja BRK. Sebelum masuk ke “kudis kedua” saya perlu tekankan bahwa sebaiknya manajemen BRK memahami bahwa data penurunan tajam dana giro dan deposito berjangka di BRK pada periode 2012-2013, dari Rp11,5 triliun menjadi Rp8,7 triliun sangatlah alarming.

Kudis 2 : Resiko Konsentrasi Kredit

Menurut data dalam laporan keuangan BRK 2013, terjadi peningkatan signifikan dalam penyaluran kredit, meningkat lebih dari Rp1,5 triliun dibanding tahun 2012. Sekilas angka ini sangat menggembirakan dan menjadi prestasi manajemen BRK.

Tetapi pada placement dan promotion, sisi primordial masih sangat kental. Kendati tata kelola operasional telah diupayakan perbaiki khususnya dalam lima tahun terakhir, ternyata kecenderungan internal fraud memburuk.

Setidaknya tercatat enam cabang mengalami internal fraud yang mengakibatkan kerugian bagi BRK. Sistem reward and punisment yang disusun ternyata juga belum berjalan efektif.

Khusus setahun lebih belakangan, faktor GCG ini telah semakin memburuk karena kegagalan pemilik saham mengangkat direktur utama menggantikan Erzon.

Kendatipun RUPS BRK telah menunjuk Rafjon Yahya sebagai Dirut dan telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia per tanggal 3 Juni 2013, hingga saat ini posisi Dirut BRK ternyata masih kosong.

Kekosongan ini telah memperlambat proses pengelolaan dan pengambilan keputusan bank. Dengan kondisi seperti dialami BRK belakangan ini, banyak keputusan terpaksa diambil dengan metode sirkulasi atau lewat mekanisme rapat dewan direksi. Konsekwensinya, sulit mengharapkan timely decision.

Kalau keadaan ini dibiarkan berkepanjangan, akan sangat mungkin kinerja BRK memburuk ke depan, beragam kekurangan dan kelemahan yang dikemukakan sebelumnya bukannya teratasi, melainkan akan memburuk.

Keberadaan dewan komisaris dengan personalia seperti yang ada saat ini diyakini tidak akan mampu memberikan outcome optimal bagi BRK.

Komposisi dan personalia dewan komisaris seyogyanya mendukung dewan direksi mengoptimalkan capaian kinerja BRK sekaligus mengobati ”kudis-kudis” disebutkan di atas. Keberadaan komite teknis seperti komite audit, komite pemantau risiko, komite remunerasi dan nominasi seyogyanya direvitalisasi sehingga mampu menjadi organ organisasi demi optimalisasi dan sustainability kinerja BRK.

Penutup

Sesungguhnya masih terdapat masalah-masalah lain di Bank Riaukepri, seperti persoalan strategic management, legal risk, faktor permodalan dan rentabilitas, masalah internal dana pensiun dan remunerasi serta produktivitas pekerja, tetapi yang tergolong critically strategic adalah tiga poin disebut di atas.

Dari sisi manajerial, pengurus BRK seyogyanya memberikan perhatian lebih terhadap persoalan sumber dana dan peningkatan kualitas kredit.

Pemilik saham, khususnya Pemprov Riau sebagai pemegang saham terbesar, 43.79 persen, perlu sesegera mungkin memanggil RUPS LB untuk menuntaskan pengisian Dirut BRK dan penyempurnaan Dewan Komisaris dengan mengedepankan aspek-aspek profesionalisme dibanding aspek kedekatan dan primordial.

Dalam setiap penundaan terkandung biaya yang harus ditanggung BRK dan pemilik saham. Karena itu, lebih baik, lebih cepat.
Redaksi


Loading...
BERITA LAINNYA