[caption id="attachment_1922" align="alignleft" width="300"] Yando Zakaria, Pegiat Perkumpulan KARSA[/caption]
gagasanriau.com- Keterpurukan dunia perdesaan tak lepas dari sesat pikir pemerintah tentang desa. Pemerintah memandang desa sebagai satuan wilayah pemerintahan di bawah kecamatan.
Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b secara jelas disebutkan desa merupakan lembaga otonom yang harus diakui status dan hak-haknya secara khusus di luar kerangka sub-sistem pemerintahan daerah.
Demikian pendapat dari Yando Zakaria, pegiat Karsa yang ditulisnya dalam Forum Gerakan Desa Membangun. Baginya, sesat pikir itu tak lepas dari kebijakan masa lalu yang mengatur tentang desa, yaitu UU No 5 Tahun 1979. Padahal, undang-undang itu telah dihapus karena dianggap menyeragamkan pemerintahan desa, baik nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa.
Penyeragaman tidak sesuai dengan situasi di Indonesia yang sangat bhineka. UU No 5 tahun 1979 dianggap tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 yang mengakui dan menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa.
Pada UUD 1945 sudah dijelaskan negara Indonesia menjamin pengakuan atas hak asal-usul, hal-hal yang bersifat istimewa di hadapan (hak-hak) negara, dan keberagaman sosial dan budaya masing-masing susunan asli (baca desa atau disebut nama lainnya) yang ada.
Lebih lanjut, Zakaria berpendapat seharusnya ada perubahan mendasar dalam struktur pemerintahan di Indonesia, khususnya pemerintah desa. Baginya, pasal itu menyebutkan secara jelas keberadaan dan kedudukan entitas otonom di tingkat lokal, sebut saja desa (atau disebut dengan nama lain).
Perubahan struktur pemerintahan merupakan konsekuensi dari pengakuan (recognition) terhadap ?desa atau disebut dengan nama lain? sebagai lembaga otonom yang harus diakui status dan hak-haknya secara khusus.
Imbas dari sesat pikir di atas, masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang sah atas berbagai sumber kehidupan belum terlihat. Hal itu tampak pada sejumlah undang-undangan yang melanggar pasal 18b UUD 1945, seperti UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sayang gerakan rakyat masih terpecah-pecah dalam kanal sektoral dan belum memberikan perhatian pada substansi dan proses-proses politik yang terus bergulir saat ini.
Pengakuan konstitusi atas desa menegaskan konvensi hak asal-usul, yaitu: pengakuan terhadap susunan asli; pengakuan terhadap sistem norma/pranata sosial yang dimiliki dan berlaku; serta, pengakuan terhadap basis material, seperti ulayat dan aset-aset kekayaan desa (property right).
Seharusnya RUU Desa mengakomodasi ciri-ciri keberagaman sosial dan budaya masyarakat yang ada sehingga sistem penyelenggaraan pemerintahan juga harus lebih beragam dibanding sistem pemerintahan yang ada berlaku sekarang ini.
Sumber Informasi: Gerakan Desa Membangun